Hutan di Tanah Karo dan Sikap Kita*
Oleh: dr Robert Valentino Tarigan SPd**
Oleh: dr Robert Valentino Tarigan SPd**
Harian Analisa (Jumat 15/2) pada hardline memberitakan tentang kondisi Sumatera Utara yang terancam kriris air bersih pada 5-7 tahun mendatang. Hal itu akibat kerusakan hutan, pengambilan humus hutan dan pencemaran air sepanjang daerah aliran sungai (DAS) dengan kondisi sangat buruk dari hulu hingga hilir.
Jika tak segera ditanggulangi dengan sistem manajemen pengelolaan, pada 2015 krisis air bersih di Sumut tak akan terelakkan. Dengan mengutip keterangan Ir Jaya Arjuna MSc disebutkan, krisis air bersih tersebut bukan hanya dialami masyarakat pedesaan tapi juga warga perkotaan. Fungsi hutan sebagai tatanan air dan humus sudah habis.
Bahkan jika saja curah hujan mencapai 110 meter kubik, Medan terancam banjir. Buktinya Juli lalu tercatat 10 kabupaten/kota terendam banjir. Soalnya kerusakan hutan di hulu sungai tak mampu dicegah.
“Saat ini harus kita pikirkan ketersediaan air bersih dan ancaman banjir. Justru itu, semua pihak yang punya kewenangan dan tanggung jawab dengan ketersediaan air harus memiliki niat baik,” ujar Jaya.
Hal senada dilontarkan Jimny Panjaitan dari Dewan Walhi Sumut. Katanya, 60% rakyat Indonesia terutama masyarakat desa tidak dapat mengakses air bersih.
Sebagai contoh tumbuh maraknya depot air di mana-mana pertanda mulai terjadi kriris air bersih. “Untuk mendapat air bersih kita harus membeli. Bagaimana jika ke depan air bersih tidak mampu dibeli lagi,” kata Jimny.
Tak heran petani jeruk di Tanah Karo membeli air untuk menyiram tanamannya. Persoalan lain, katanya, PDAM di tanah air bekerja sama dengan pihak swasta mengelola air. Padahal perusahaan daerah ini milik publik untuk mengakses air dan tak menyerahkan ke swasta.
“Ini menggambarkan tanggung jawab megara terhadap pengelolaan air makin kecil sebagai hak fundamental. Kriris air bukan disebabkan kelangkaan air tetapi lebih dari kriris manajemen pengelolaan air,” ucap Jimny.
Inti masalah ada di hutan. Jadi jika tidak ingin apa yang dicemaskan – kriris air – terjadi, maka harus dilakukan gerakan moratorium dan reboisasi. Khusus hutan di Tanah Karo sudah sama kita ketahui, keadaannya pun memprihatinkan.
Di Tanah Karo
Menurut Bujur Sitepu (SIB 14 Agustus 2003), luas hutan di Tanah Karo pada sebelum merdeka 1/3 luas daerah produksi. Tetapi sekarang, luas itu hanya tinggal 1/7 saja. Nah, kalau dibiarkan, tidak mustahil Tanah Karo akan gundul dan Medan pun akan senantiasa mendapat banjir bandang (kiriman) dari Tanah Karo. Ini sudah kita rasakan, pada tahun 2001, Sunggal mengalami kebanjiran yang menewaskan 13 jiwa serta harta yang tak sedikit. Juga banjir-banir lain seperti di Lubuk Pakam, Binjai, Belawan dan lain sebagainya. Mungkin – jika tak dicegah – Medan pun akan tenggelam. Mengerikan, ya, sangat mengerikan.
Tragedi yang sangat dahsyat terjadi di Bahorok 2 November 2003 malam. Tragedi Bohorok tersebut sesungguhnya merupakan catatan buram tentang hutan kita. Senin (3/11-2003) sore saya dan tim, menuju Bahorok yang di samping memberi bantuan ala kadarnya, juga ingin membuktikan bahwa benar banjir bandang ini adalah akibat perambahan hutan di Gunung Leuser. Terlihat ratusan nyawa, rumah dan kotage hancur.
Diduga keras, banjir Bahorok ini berasal dari Tanah Karo, Kota Cane dan Langkat. Sebab, tiga kawasan itulah yang paling dekat dan paling mungkin mengirmkan bah ke Bukit Lawang ini. Dan, memang hutan Gunung Leuser di tiga kawasan tersebut telah dibabat oleh perampok kayu.
Saudara-saudara Pemuda Pelindung Hutan & Lingkungan Hidup Tanah Karo, saya mulai terlibat atau melibatkan diri dalam perjuangan menyelematkan hutan yang ada di Tanah Karo berawal dari 17 Agustus 2002. Ketika itu saya pulang ke Desa Juhar Kecamatan Juhar. Betapa pedih hatinya saat hendak mandi, sungai telah kering. Masyarakat pun terpaksa berkilo-kilo meter mengambil air ke lembah-lembah.
Siapa yang tak sedih melihat kenyatan itu? Ini benar-benar sebuah proses pemiskinan masyarakat Karo. Mengapa tidak, orang Karo tak kan mungkin hidup tanpa hutan. Dengan dirambahnya hutan, pastilah ekosistem terganggu. Padahal, masyarakat Karo mayoritas hidup dengan pertanian.
Banyak Jalan Merusak Hutan
Hadirin yang mulia, dari hasil pengamatan dan survei di lapangan, ada banyak jalan yang menuju areal hutan lindung. Taman Hutan Raya Bukit Barisan dan Kawasan Ekosistem Leuser di Kabupaten Karo, bertujuan hanya untuk merambah hutan secara semena-mena sehingga rusak dan porak-poranda.
Pertama, kerusakan hutan di Lau Gedang yang merupakan daerah segitiga antara Kabupaten Deli Serdang, Langkat dan Karo, di kaki Gunung Sibayak. Di sini, 1000 hektar hutan dirambah atas rekomendasi DPRD Karo Nomor 172/371/2001 Tanggal 27 April yang ditandatangi oleh Bastanta Surbakti, Wakil Ketua DPRD Karo Periode 1999-2004.
Kedua, kerusakan terjadi di hutan lindung Simpang Doulu, seluas 6 hektar dirambah. Ini pun atas rekomendasi pimpinan DPRD Kabupaten Karo Nomor 174/168/2002 Tanggal 28 Februari 2002 yang ditandatangani oleh Ketua DPRD Karo, Bon Purba.
Ketiga, hutan lindung Sibuaten (Register 3/K) yang terletak di Kecamatan Juhar Kabupaten Karo. Perusakan berawal dari pembukaan jalan antara beberapa desa sesuai Surat Keputusan (SK) Bupati Karo Nomor 522/193/2001 Tanggal 13 Oktober 2001, memberi HPHH seluas 40 hektar, yang merupakan pinjam pakai antara Kanwil Kehutanan Sumatera Utara dengan Bupati Karo Nomor 4/15/II/KUT-5/1989 dan kemudian direvisi dengan surat Nomor 59/79/KUL/672/2000.
Selanjutnya Bupati Karo mengeluarkan surat Nomor 620/0034 Tanggal 30 Desember 2000, Kilang Papan Nangga Lutu milik Acong diberi izin pemanfaatan kayu. Kemudian, dengan surat Tanggal 20 Februari 2001 Nomor 522.21/1252/3-A, memberikan Izin Penebangan Kayu (IPK) atas nama IPKH Nangga Lutu milik Acong.
Di Juhar, jalan dibuat berkelok-kelok ke arah kayu besar, 40 hektar lebih kawasan hutan porak-poranda. Akibatnya, Desa Juhar – kampung Valentino sendiri – jadi kering. Kejadian inilah awalnya, mendorong Valentino untuk peduli hutan.
Keempat, hutan lindung Deleng Cengkeh, seluas 51 hektar rusak dirambah 57 warga sekitar. Para pelakunya telah dapat diidentifikasi oleh Dinas Kehutanan Kabupaten Karo, akan tetapi proses hukumnya sama sekali tidak dijalankan. Malahan, dinas kehutanan membuat perdamaian dengan perambah hutan tersebut.
Kelima, kerusakan hutan di Kuta Kendit berawal dari program Pemkab Karo yang membuka hutan sebagai areal transmigrasi untuk suku terasing yang diprakarsai Dinas Sosial Sumatera Utara. Padahal, kita tahu, tidak ada suku terasing di Kabupaten Karo. Rupanya, ‘suku terasing’ itu adalah orang-orang yang melarikan diri dari Riau karena mencuri kayu, takut rerjerat hukum.
Dengan alasan pembukaan hutan itulah, hutan Kuta Kendit dirambah. Pada tahun 2004 ada sekitar 120 KK menghuni hutan Kuta Kendit tersebut.
Karena hutan-hutan yang telah dibuka, tidak habis dikerjakan oleh penduduk tersebut, maka diberikan pula izin kepada PT Praja yang berkantor di Kantor Bupati Kepala Daerah Kabupaten Karo. Dengan demikian Pemkab Karo terlibat dalam masalah ini. Dapat diduga – pemberian izin kepada PT Praja itu – ada udang di balik batu.
Keenam, kerusakan terjadi akibat jalan tembus Kabupaten Langkat-Karo. Di sini, Pemprovsu ikut pula merambah hutan tanpa izin. Pembukaan jalan antara Desa Kuta Rakyat (Karo) dengan Desa Pamahsimelir (Langkat), membelah hutan lindung dan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL).
Ketujuh, hutan lindung Siosar yang dirusak oleh PT Kastil milik Sudarto. Kerusakan berawal dari rekomendasi bupati seluas 100 hektar. Yang diusulkan mereka kepda Manteri Kehutanan 2600 hektar. Meski tidak ada izin Menteri Kehutanan, mereka merambah terus, karenanya kerusakan hutan mencapai 600 hektar. Padahal, yang 100 hektar itu pun sebenarnya harus izin Menteri Kehutanan, bukan rekomendasi bupati. Karena, itu adalah hutan konversi, bukan hutan rakyat.
Saya dan tim masuk ke Siosar pada 8 Agustus 2003, kawasan tersebut dikawal aparat. Kalau saya tidak masuk, boleh jadi hutan di sana sudah habis. Padahal, dua aliran sungai yang menuju Danau Toba, berasal dari sini. Maka, bila hujan deras di Siosar, air Danau Toba akan meluap, membanjiri persawahan serta perladangan masyarakat. Begitu air mereda, terlihatlah sedimentasi pasir yang mengakibatkan kerusakan di sawah dan ladang petani itu. Siapa yang bertangung jawab? Atau kita memang tak peduli dengan saudara-saudara kita?
Di tengah hutan ini juga telah dibuka jalan tanpa izin Menteri Kehutanan, yang katanya untuk areal agropolitan. Beberapa waktu berselang, Dinas Kehutanan Sumatera Utara, telah menginstruksikan kepada Dinas Kehutanan Kabupaten Karo untuk menghentikan pembukaan hutan tersebut, tetapi tidak diindahkan.
Kedelapan, Coporate Farming Tambar Malem, dibuka Bupati Karo dengan keluarga dan kerabatnya, seperti istri, anak, ipar dan saudaranya serta Ketua DPRD Karo. Di belakangnya terjadi pencurian kayu. Valentino sudah adukan ke Polres Tanah Karo. Namun, ketika diadukan namanya Anthony Ginting, sementara di BAP namanya berubah menjadi Toni Ginting,
Ketika berdialog dengan Anthony Ginting, ia mengatakan menebang kayu atas perintah Bupati Karo Sinar Peranginangin. Yang paling aneh, Anthony Ginting masuk DPO (Daftar Pencarian Orang). Padahal ia ada di kampungnya ketika itu. Apakah ini yang kita mau.
Seharusnya, pembukaan corporate farming, mendapat izin dari Menteri Kehutanan, tetapi sama sekali tidak ada. Sebab itu pula, Dinas Kehutanan Sumatera Utara memerintahkan kepada Dinas Kehutanan Kabupaten Karo untuk menutup corporate farming tersebut. Ironisnya, di sini, terjadi kematian pohon-pohon pinus secara meluas, yang diduga akibat disuntik dengan zat kimia tertentu.
Kesembilan, kerusakan hutan juga terjadi di Rimo Bunga di Deleng Leweh. Kerusakan di sini, karena Pemkab Karo membiarkan koloni masyarakat pendatang, mendirikan perkampungan baru di tengah hutan lindung. Padahal hanya 5 KK yang menghuni hutan ini, tetapi perlu dibuat jalan yang mulus.
Sementara itu, di perkampungan lain – karena tidak ada hutannya – jalan-jalan dibiarkan porak-poranda. Kebijakan membiarkan perambahan hutan ini juga kita lihat terjadi di sekitar Kuta Pengkih yang termasuk dalam kawasan Ekosistem Leuser. Perambahan juga terjadi di Desa Pernantin, meski pelakunya sudah ditangkap namun dilepas kembali oleh polisi.
Dewasa ini, dengan alasan hutan rakyat, pohon-pohon ditebang. Padahal, jika itu hutan rakyat, seyogianya tidak boleh menggunakan alat-alat berat. Sedangkan dari hasil investigasi kami sekitar enam bulan yang lalu, di Cingkes – perbatasan Tanah Karo dengan Simalungun – pohon-pohon tersebut ditebang di areal DAS dengan kemiringan di atas 30 derajat Celsius dan menggunakan alat berat.
Lawan Perambah Hutan
Melihat kondisi alam Tanah Karo yang rusak, saya mengimbau agar warga bersatu teguh, membulatkan tekad: lawan siapa pun perambah hutan.
Persoalannya, apakah kita semua siap menghadapi teror yang dilakukan lewat iming-iming uang, jabatan maupun ancaman seperti penodongan, dan lain sebagainya? Saya sendiri pada 15 Juli 2003, ditodong Sudarto dengan pistol ke arah perut kanan di teras Kantor Bupati Karo.
Selanjutnya, penodongan itu diadukan ke Polres Tanah Karo. Karena kurang mendapat respon, saya kembali mengadu ke Poldasu. Karena locus de licty-nya di Tanah Karo, maka pengaduan dilimpahkan kembali ke Polres Tanah Karo. Dalam pada itu Sudarto pun mengadukan saya (Valentino) atas dasar pencemaran nama baik. Maka perkara split ini disidangkan bersamaan antara Sudarto sebagai terdakwa dan Valentino sebagai terdakwa.
Perkara pidana Regno: 274/Pid.B/2003/PN Kabanjahe tersebut, mulai disidangkan sekitar September 2003 dan pembacaan vonis 14 April 2004, dengan hasil bebas murni untuk saya dan bebas murni pula untuk Sudarto.
Oleh Kejaksaan Negeri Kabanjahe selanjutnya dilakukan kasasi. Putusan Mahkamah Agung bebas murni buat Valentino. Sementara info yang didapatkan, Sudarto divonis satu tahun, tetapi keputusan MA tetang Sudarto tidak jelas juntrungannya. Ketika ditanyakan ke PN Kabanjahe, dikatakan mareka belum menerima putusan MA tersebut.
Teror Terus Menimpa
Tidak hanya sampai di situ. Teror terus menimpa saya. Sejak 29 Agutus 2007 hingga 48 hari saya ditahan di RTP (Rumah Tahanan Polisi) Poldasu atas sangkaan yang tidak saya lakukan bahkan sama sekali tidak saya ketahui.
Uniknya, pelaku utamanya sama sekali tidak pernah ditahan di Poldasu dan tidak ada orang (korban) yang mengadu bahwa dirinya telah ter atau ditipu. Saya pun sama sekali tidak pernah memerintahkan ataupun menganjurkan untuk mencantumkan logo – yang dianggap milik Poldasu – di brosur BT/BS BIMA yang jadi masalah tersebut.
Logo itulah alasan petugas Poldasu menahan saya selama 48 hari. Menurut saya, ini merupakan rangkaian teror yang telah dilakukan sejak tahun 2003 dengan cara mengikuti-ikuti setiap gerak-gerik saya. Mengapa tidak, pencetakan brosur berlogo Poldasu tersebut – menurut data-data yang kami himpun – bukan di percetakan milik BIMA.
Jadi, kalau ingin hutan-hutan tetap lestari, kita harus menanamkan tekad di dalam hati, lebih baik sebuah nyawa melayang ketimbang sebatang pohon ditebang. Karena penebangan pohon/hutan secara membabi buta, apalagi di DAS (daerah aliran sungai) dan kemiringan di atas 30 derajat, pastilah menyebabkan bencana banjir, longsor, serta merosotnya ketersediaan air, dan lain-lain.
Begitu juga suhu udara, setiap kenaikan empat derajat Celcius mengakibatkan perubahan pola tanam. Kini – sama kita lihat dan rasakan –di Tanah Karo sering terjadi hujan es (batu) dan udaranya sudah panas. Jelas kerusakan hutan menyebabkan kemiskinan secara massif bagi masyarakat. Pertanyaannya, siapkah kita menghentikannya?
Sebab di hutan (rimba) memang kerap tejadi hukum rimba: siapa yang kuat dia yang menang, bukan siap yang benar dia yang kuat. Apalagi ketika para penguasa adalah predator seperti singa atau harimau, maka siapa pun disantapnya.
Syahdan, ketika peguasa rimba (singa) mengundang penghuni rimba untuk memberi tanggapan terhadap aroma kandangnya, maka yang selamat hanya makhluk yang pilek saja. Ketika kerbau yang dungu ditanyakan bagaimana aroma kandang singa, dijawab spontan: “rumah baginda sangat bau amis darah.” Singa pun mengatakan ini sebuah penghinaan terhadap penguasa, maka kerbau harus dijagal dan dagingnya diberikan pada singa untuk disantap.
Lalu, ketika giliran kuda ditanya – karena takut mengatakan yang sebenarnya – dijawab: “kandang baginda sangat wangi”. Mendengar jawaban itu, singa marah besar. “Ini kebohongan publik. Mana mungkin kandang (rumah)-ku wangi,” tegas singa. Karena berbohong, kuda pun harus dijagal, dagingnya diserahkan pada singa untuk disantap.
Selanjutnya, giliran kancil. Saat ditanya, kancil tak memberikan jawaban apa pun. “Kenapa kau tak memberi penilaian terhadap kandangku?” tanya singa. “Mohon maaf baginda, saya tak dapat mengendus apa pun karena sedang pilek. Kancil pun selamatlah.
Demikianlah, di tengah penguasa rimba, kalau kita ingin selamat, haruslah bersikap seperti kancil: tidak memberikan tanggapan apa-apa. Yang saya bingung, untuk apa kita sekolah, mengadakan reformasi kalau hanya untuk pilek. Karena memang maling-maling kayu, berikut para pelindung dan pesuruhnya tak ingin ada orang-orang cerdas yang berani bersikap. ***
*Disampaikan Sabtu, 16 Februari 2008
di Gedung Politeknik MBP Lantai I
**Direktur LSM Pelindung Bumimu
Dan Pimpinan BT/BS BIMA Indonesia
1 komentar:
Infatuation casinos? estimate this latest [url=http://www.realcazinoz.com]casino[/url] enchiridion and accentuate online casino games like slots, blackjack, roulette, baccarat and more at www.realcazinoz.com .
you can also dilly-dallying our untrained [url=http://freecasinogames2010.webs.com]casino[/url] check at http://freecasinogames2010.webs.com and capture proprietor spondulix !
another authentic [url=http://www.ttittancasino.com]casino spiele[/url] in the sector of is www.ttittancasino.com , in lieu of of german gamblers, position manumitted online casino bonus.
Posting Komentar