Hutan, Uang dan Pistol
Oleh Hidayat Banjar*
Oleh Hidayat Banjar*
Pendahuluan
Hutan – siapa pun tahu – adalah penyangga bumi dari kehancuran. Hutan pun merupakan paru-paru dunia. Kalau air dikatakan sumber kehidupan, hutan dapat dikatakan penyangganya. Mengapa tidak, akar-akar kayu yang ada di hutan berfungsi di samping menyerap juga menyimpan air. Singkatnya, hutan merupakan ‘mesin’ sirkulasi air paling canggih yang tak dapat digantikan dengan apa pun.
Lalu, pertanyaannya, apa kaitan hutan dengan uang serta pistol. Jawabnya sederhana saja, dari hutan manusia akan memperoleh uang yang sangat banyak. Cuma ada segelintir orang yang ingin merusaknya karena kebutuhan sesaat. Kemudian, karena ada yang merusak, ada pula yang ingin mempertahankan (melestarikan). Muncullah perlawanan. Seiring dengan itu muncul pula pistol yang di dalamnya berkonspirasi antara kekuasaan, kekuatan dan uang.
Dua Kutub
Membicarakan kelestarian hutan – mau tidak mau – akan berhadapan dengan dua kutub yang saling tarik-menarik kepentingan. Kutub pertama, pembela lingkungan – yang meskipun jadi martir – akan terus berjuang agar satu batang pohon pun jangan ditebang. Sementara, kutub berikutnya adalah pihak (kaum) industrialis.
Dengan seperangkat teknologi maju yang gagah perkasa, langkah kaum industrilialis tegap-tegap dan tak jarangan dengan kekejaman. Jelas saja, kenapa mereka menomorduakan hal lain di luar perhitungan laba rugi. Mereka mengejar pengembalian investasi dan keuntungan yang sebesar-besarnya. Ya, sesungguhnyalah, teknologi maju demikian bersahabat dengan modal, ‘padat modal’ istilahnya.
Ironisnya, janji-janji kemewahan materi bagi yang terlibat di dalamnya, sekonyong-konyong menyihir manusia untuk membabat semena-mena lingkungan hanya demi mengejar janji itu. Teknologi dan invesatasi yang gagah perkasa serta meniupkan janji kepuasan materi telah diagung-agungkan sebagai ‘sang dewata’.
Mengapa tidak, dewasa ini, satu ton kayu log yang belum diolah Rp 3 juta. Satu batang pohon saja, bisa mencapai 10 – 30 ton lebih. Bayangkan, kalau di satu kawasan hutan ada puluhan ribu batang kayu, berapakah uangnya? Sungguh banyak sekali.
Uang, inilah motiv dari orang-orang yang terlibat dalam ‘permainan’ kayu, baik legal maupun ilegal. Maka, dengan cara maupun jalan apa pun, hutan harus dirambah. Karena, hanya di hutanlah bersemayam kayu-kayu besar yang berumur ratusan tahun.
Jumlah yang Rusak
Menurut Forest Watch Indonesia, laju degradasi hutan di Indonesia mencapai sejuta hektar per tahun dan pada 1990, naik menjadi 1,7 juta hektar. Data Dephut 2003 mencatat, luas hutan yang rusak atau tak dapat berfungsi optimal mencapai 43 juta hektar dari total 120,35 juta hektar. Sedangkan laju degradasi dalam tiga tahun terakhir mencapai 2,1 juta hektar per tahun.
Laporan lain menyebut 1,6 juta sampai 2,4 juta hektar hutan Indonesia hilang setiap tahun. Bisa dikalkulasikan, setiap menit lahan hutan Indonesia yang hilang setara dengan enamkali luas lapangan sepakbola.
Jika percepatan degradasi dan kerusakan hutan tersebut dibiarkan berlanjut, Bank Dunia memprediksi, hutan daratan rendah di Sumatera musnah pada 2003, Kalimantan 2005 dan Sulawesi pada 2010.
Peneliti Indonesia Center for Environmental Law (ICEL) Indro Sugiarto mengatakan, kegiatan yang memberi kontribusi terbesar pada kerusakan hutan adalah maraknya penebangan kayu liar (ilegal loging). “Diperkirakan saat ini 75 persen kayu yang beredar di Indonesia adalah hasil dari kegiatan ilegal loging,” katanya baru-baru ini.
Dalam pertemuan dengan lembaga donor Consultative on Indonesia (CGI) Januari 2003, Indonesia mengakui mengalami kerugian 679 juta dolar AS per tahun akibat aktivitas penebangan kayu secara liar.
Di Tanah Karo
Menurut Bujur Sitepu (SIB 14 Agustus 2003), luas hutan di Tanah Karo pada sebelum merdeka 1/3 luas daerah produksi. Tetapi sekarang, luas itu hanya tinggal 1/7 saja. Nah, kalau dibiarkan, tidak mustahil Tanah Karo akan gundul dan Medan pun akan senantiasa mendapat banjir bandang (kiriman) dari Tanah Karo. Ini sudah kita rasakan, beberapa waktu lalu Sunggal mengalami kebanjiran yang menewaskan 13 jiwa serta harta yang tak sedikit. Juga banjir-banir lain seperti di Lubuk Pakam, Binjai, Belawan dan lain sebagainya. Mungkin-mungkin – jika tak dicegah -- Medan pun akan tenggelam. Mengerikan, ya, sangat mengerikan.
Dampak yang Ditimbulkan
Nah, tidakkah mereka (pencuri kayu) memikirkan dampak dari punahnya hutan di permukaan bumi ini? Jika hutan gundul, seluruh permukaan bumi akan jadi gurun pasir yang tandus dan kering kerontang. Maka, saat itulah kiamat tiba seperti yang diwahyukan dlam kitab-kitab suci. Lalu, apakah kita tak berusaha mencegah atau menghambatnya?
Sekarang saja sudah kita rasakan dampak dari penebangan hutan. Keseimbangan yang diperlukan bahan-bahan kimia secara normal antara bumi dan atmosfir yang begitu vital bagi kehidupan bumi telah terganggu. Salah satu sebabnya adalah penggundulan hutan-hutan yang menyediakan oksigen bagi kita. Bersamaan dengan itu, obat-obat semprot dan pupuk pertanian telah menyerap ke dalam air dan tanah. Hal ini menyebabkan pencemaran air dan rusaknya tanah.
Sementara itu, karbondioksida dan gas metan, produk buangan dari potreleum, batubara dan bahan fosil lainnya telah meninggikan tempratur bumi. Sedangkan sulfurdioksida telah mengakibatkan hujan asam yang mengancam flora bumi.
Kini, produk buangan industri seperti gas CFC sedang merusak laposan ozon yang melindungi kehidupan di bumi dari sinar ultraviolet yang membahayakan dipancarkan oleh matahari.
Jika tempratur bumi terus meninggi tak terkendali, niscaya es di kutub utara dan selatan akan mencair. Permukaan laut pun akan meninggi, yang tak mustahil akan menenggelamkan pulau-pulau serta benua. Mengerikan! Ya, memang mengerikan! Sesungguhnyalah kerusakan lingkungan lebih mengerikan dari perang.
Hal inilah yang mendasari gerakan para aktivis lingkungan. Seyogianya, gerakan penyelamatan hutan dan lingkungsan harus didukung semua pihak. Karena, tujuan akhir dari perjuangan juga untuk keselamatan serta kemaslahatan kita semua.
Hutan memang dapat diumpamakan ayam bertelur emas. Jika dikelola dengan sabar, setiap hari ayam tersebut akan memberikan sebutir telur emas kepada kita. Tetapi, jika ayam itu disembelih, niscaya berhentilah ia bertelur.
Begitulah hutan, jika ditebangi terus, ia memang dapat memberikan seseorang atau sekelompok orang kemewahan sesaat. Tetapi dampaknya akan mencelakakan kita semua.
Agustus 2002
Maka, adalah wajar, kalau gerakan pembelaan terhadap hutan menjadi perhatian banyak orang, termasuk dr Robert Valentino Tarigan SPd Pimpinan BT/BS Bima Medan. Robert sang guru ikut dalam gerakan penyelamatan hutan – menurut kesaksiannya di surat-surat kabar -- sejak Agustus 2002 lampau. Saat itu ia berkungjung ke kampung halaman, Kecamatan Juhar Tanah Karo. Betapa sang guru menangis lahir dan batin menyaksikan desa-desa tempat orangtuanya lahir dan dibesarkan kering kerontang. Beberapa mata air mati. Orang-orang desa pun terpaksa mengambil air ke lembah-lembah yang jaraknya berkilo-kilo meter.
Sebabnya tak lain adalah perambahan hutan. Pohon-pohon kayu yang menyerap dan menyimpan air, tidak ada lagi. Ketika hujan turun, air tak dapat diserap ke dalam tanah karena akar-akar pohon besar tidak ada lagi. Nah, begitu dua atau tiga hari saja tidak hujan, maka Kecamatan Juhar pun kesulitan air.
Maka adalah wajar pula ketika orang-orang Kecamatan Barusjahe yang terdiri dari Desa Sukajulu, Sukanalu, Tigajumpa, Kubucolia, dan Barusjahe datang mengadukan nasib, yang tak jauh beda dengan orang-orang Juhar, sang guru concern. Bersama warga Kecamatan Barusjahe, Robert mengadvokasi hutan yang dirambah dengan alasan pembukaan jalan Desa Pertumbuken-Serdang.
Semula jalan direncanakan 3 km tetapi belakangan bertambah menjadi 9 km. Ironisnya, jalan itu melalui hutan lindung Tahura (Taman Hutan Raya) Bukit Barisan yang terdapat kayu-kayu besar. Apalagi tujuannya, kalau bukan untuk merambah hutan.
Cara-cara dari Riau
Cara-cara pencurian kayu di Tanah Karo yang telah terjadi di sembilan titik (termasuk Barujahe) ini nampaknya mengadopsi pencurian kayu dari Riau. Hutan lindung Kabupaten Bengkalis dan Kampar Kabupaten Indragiri Hulu, dan Indragiri Hilir Riau, porakporanda dirambah pencuri kayu, sehingga baru-baru ini terjadi banjir bandang yang menelan beberapa jiwa dan kerugian harta ratusan milyar rupiah. Cara-cara seperti ini -- dengan alasan membuka jalan -- diterapkan pula di Tanah Karo (lebih lengkap baca tulisan Robert yang berjudul “Modus Pencurian Kayu di Riau Berpindah ke Tanah Karo” SIB 15 Agustus 2003 halaman satu).
Warga Barusjahe dan Robert bergerak lewat demo di Kantor Bupati dan DPRD Tanah Karo. Pertemuan-pertemuan dengan petinggi Tanah Karo pun dilakukan. Hasilnya masih belum jelas. Bupati Tanah Karo Sinar Peranginangin hanya mengumbar janji.
Anehnya, gerakan yang dimulai masyarakat Barusjahe sejak Mei 2003 ini ditentang oleh orang-orang yang merasa investasinya terganggu. Padahal permintaan masyarakat sederhana saja. Pertama, reboisasi kembali (bibit dan penanaman disediakan serta dilakukan oleh masyarakat), kedua tutup jalan yang 9 km dan kembalikan kepada rencana awal, 3 km.. Permintaan ini belum (tidak) terwujud, malah pertentangan yang datang.
Perlawanan itu dilakukan lewat penawaran uang, proyek dan jabatan kepada kepada Pemuda Pelopor Sumut Tahun 2000, yang mereka anggap dapat ‘mendiamkan’ masyarakat. Mereka lupa, ini gerakan masyarakat bukan Valentino unsigh. Jika ingin ‘berdamai’, ya, penuhi saja tuntutan masyarakat. Selesai.
Dihadang Pistol
Merasa tawaran -- yang disampaikan lewat preman, pejabat sampai keluarga dekat itu -- tak berhasil, Robert dan kawan-kawan dihadang pistol pada 15 Juli 2003 di teras kantor Bupati Tanah Karo. Penghadangan dengan pistol ini telah diadukan ke Poldasu. Bagaimana kelanjutannya, kita serahkan saja kepada pihak yang berkompeten.
Dari peristiwa ini, teringatlah penulis pepatah orang bijak bahwa setumpuk kekuasaan akan lebih berarti daripada sekeranjang kebenaran. Jika kekuasaan dikedapankan maka yang kita saksikan pun bukan kebenaranlah yang kuat, tetapi yang kuatlah yang benar. Pada titik ini berlakulah jungle of law. Di rimba memang hanya orang-orang kuatlah yang akan menang. Karenanya, hutan uang dan pistol memang ‘tunangan’ orang-orang rimba alias pencuri kayu. Kita hanya dapat berserah diri pada Tuhan, semoga Ia membuka jalan kebenaran yang sebenar-benarnya. Amin.
*Penyair Tinggal di Medan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar