Rabu, 24 Desember 2008

Tak Satu Jalan Merambah Hutan

Tak Satu Jalan Merambah Hutan
Oleh dr. Robert Valentino Tarigan S.Pd.
Pimpinan BT/BS Bima


Warga Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) yang terhormat dalam kasih Jesus Kristus sang Penebus, saya mulai terlibat atau melibatkan diri dalam perjuangan menyelematkan hutan yang ada di Tanah Karo berawal dari 17 Agustus 2002. Ketika itu saya pulang ke Desa Juhar Kecamatan Juhar. Betapa pedih hati saya saat hendak mandi, sungai telah kering. Masyarakat pun terpaksa berkilo-kilo meter mengambil air ke lembah-lembah.
Siapa yang tak sedih melihat kenyatan itu? Ini benar-benar sebuah proses pemiskinan masyarakat Karo. Mengapa tidak, orang Karo tak kan mungkin hidup tanpa hutan. Dengan dirambahnya hutan, pastilah ekosistem terganggu. Padahal, masyarakat Karo mayoritas hidup dengan pertanian.

Banyak Jalan Merusak Hutan
Hadirin yang mulia dan dalam kasih Jesus Kristus, pengamatan dan survei di lapangan, ada banyak jalan yang menuju areal hutan lindung. Taman Hutan Raya Bukit Barisan dan Kawasan Ekosistem Leuser di Kabupaten Karo, bertujuan hanya untuk merambah hutan secara semena-mena sehingga rusak dan porak-poranda.
Pertama, kerusakan hutan di Lau Gedang yang merupakan daerah segitiga antara Kabupaten Deli Serdang, Langkat dan Karo, di kaki Gunung Sibayak. Di sini, 1000 hektar hutan dirambah atas rekomendasi DPRD Karo Nomor 172/371/2001 Tanggal 27 April yang ditandatangi oleh Bastanta Surbakti, Wakil Ketua DPRD Karo Periode 1999-1994.
Kedua, kerusakan terjadi di hutan lindung Simpang Doulu, seluas 6 hektar dirambah. Ini pun atas rekomendasi pimpinan DPRD Kabupaten Karo Nomor 174/168/2002 Tanggal 28 Februari 2002 yang ditandatangani oleh Ketua DPRD Karo, Bon Purba.
Ketiga, hutan lindung Sibuaten (Register 3/K) yang terletak di Kecamatan Juhar Kabupaten Karo. Perusakan berawal dari pembukaan jalan antara beberapa desa sesuai Surat Keputusan (SK) Bupati Karo Nomor 522/193/2001 Tanggal 13 Oktober 2001, memberi HPHH seluas 40 hektar, yang merupakan pinjam pakai antara Kanwil Kehutanan Sumatera Utara dengan Bupati Karo Nomor 4/15/II/KUT-5/1989 dan kemudian direvisi dengan surat Nomor 59/79/KUL/672/2000.
Selanjutnya Bupati Karo mengeluarkan surat Nomor 620/0034 Tanggal 30 Desember 2000, Kilang Papan Nangga Lutu milik Acong diberi izin pemanfaatan kayu. Kemudian, dengan surat Tanggal 20 Februari 2001 Nomor 522.21/1252/3-A, memberikan Izin Penebangan Kayu (IPK) atas nama IPKH Nangga Lutu milik Acong.
Di Juhar ini, jalan dibuat berkelok-kelok ke arah kayu besar, 40 hektar lebih kawasan hutan porak-poranda. Akibatnya, Desa Juhar – kampung saya sendiri – jadi kering. Kejadian inilah awalnya, mendorong saya untuk peduli hutan.
Keempat, hutan lindung Deleng Cengkeh, seluas 51 hektar rusak dirambah 57 warga sekitar. Para pelakunya telah dapat diidentifikasi oleh Dinas Kehutanan Kabupaten Karo, akan tetapi proses hukumnya sama sekali tidak dijalankan. Malahan, dinas kehutanan membuat perdamaian dengan perambah hutan tersebut.
Kelima, kerusakan hutan di Kuta Kendit berawal dari program Pemkab Karo yang membuka hutan sebagai areal transmigrasi untuk suku terasing yang diprakarsai Dinas Sosial Sumatera Utara. Padahal, kita tahu, tidak ada suku terasing di Kabupaten Karo. Rupanya, ‘suku terasing’ itu adalah orang-orang yang melarikan diri dari Riau karena mencuri kayu, takut rerjerat hukum.
Dengan alasan pembukaan hutan itulah, hutan Kuta Kendit dirambah. Kini, sekitar 120 KK menghuni hutan Kuta Kendit tersebut.
Karena hutan-hutan yang telah dibuka, tidak habis dikerjakan oleh penduduk tersebut, maka diberikan pula izin kepada PT Praja yang berkantor di Kantor Bupati Kepala Daerah Kabupaten Karo. Dengan demikian Pemkab Karo terlibat dalam masalah ini. Dapat diduga – pemberian izin kepada PT Praja itu – ada udang di balik batu.
Keenam, kerusakan terjadi akibat jalan tembus Kabupaten Langkat-Karo. Di sini, Pemprovsu ikut pula merambah hutan tanpa izin. Pembukaan jalan antara Desa Kuta Rakyat (Karo) dengan Desa Pamahsimelir (Langkat), membelah hutan lindung dan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL).
Ketujuh, hutan lindung Siosar yang dirusak oleh PT Kastil milik Sudarto. Kerusakan berawal dari rekomendasi bupati seluas 100 hektar. Yang diusulkan mereka kepda Manteri Kehutanan 2600 hektar. Meski tidak ada izin Menteri Kehutanan, mereka merambah terus, karenanya kerusakan hutan mencapai 600 hektar. Padahal, yang 100 hektar itu pun sebenarnya harus izin Menteri Kehutanan, bukan rekomendasi bupati. Karena, itu adalah hutan konversi, bukan hutan rakyat.
Saya masuk ke Siosar pada 8 Agustus 2003, kawasan tersebut dikawal aparat. Kalau saya tidak masuk, hutan itu pasti habis. Padahal, dua aliran sungai yang menuju Danau Toba, berasal dari sini. Maka, bila hujan deras di sini, air Danau Toba akan meluap, membanjiri persawahan serta perladangan masyarakat. Begitu air mereda, terlihatlah sedimentasi pasir yang mengakibatkan kerusakan di sawah dan ladang petani itu. Siapa yang bertangung jawab? Atau kita memang tak peduli dengan saudara-saudara kita?
Di tengah hutan ini juga telah dibuka jalan tanpa izin Menteri Kehutanan, yang katanya untuk areal agropolitan. Belum lama ini, Dinas Kehutanan Sumatera Utara, telah menginstruksikan kepada Dinas Kehutanan Kabupaten Karo untuk menghentikan pembukaan hutan tersebut, tetapi sampai sekarang, tidak diindahkan.
Kedelapan, Coporate Farming Tambar Malem, dibuka Bupati Karo dengan keluarga dan kerabatnya, seperti istri, anak, ipar dan saudaranya serta Ketua DPRD Karo. Di belakangnya terjadi pencurian kayu. Saya sudah adukan ke Polres Tanah Karo. Namun, ketika diadukan namanya Anthony Ginting, sementara di BAP namanya berubah menjadi Toni Ginting,
Ketika berdialog dengan Anthony Ginting, ia mengatakan menebang kayu atas perinta Bupati Karo Sinar Peranginangin. Bukti untuk itu ada di CD.
Yang paling aneh, Anthony Ginting masuk DPO (Daftar Pencarian Orang). Padahal ia ada di kampungnya. Apakah ini yang kita mau.
Saya ingat waktu jalan-jalan ke Jambi dan Benkulu, karena hutannya habis, rakyat tidak bisa bertani, maka menjual tanahnya murah-murah yang dibeli bandit-bandit ini. Apakah kita mau terlibat kalau nanti rakyat tak punya tanah dan air. Kita tinggal punya bangsa. Apakah yang bisa kita harap, kalau bangsa tak punya tanah air. Silahkan warga GBKP merenungkannya.
Seharusnya, pembukaan corporate farming, mendapat izin dari Menteri Kehutanan, tetapi sama sekali tidak ada. Sebab itu pula, Dinas Kehutanan Sumatera Utara memerintahkan kepada Dinas Kehutanan Kabupaten Karo untuk menutup corporate farming tersebut. Kenyataannya, hingga sekarang, tidak juga dilaksanakan. Ironisnya, di sini, terjadi kematian pohon-pohon pinus secara meluas, yang diduga akibat disuntik dengan zat kimia tertentu.
Kesembilan, kerusakan hutan juga terjadi di Rimo Bunga di Deleng Leweh. Kerusakan di sini, karena Pemkab Karo membiarkan koloni masyarakat pendatang, mendirikan perkampungan baru di tengah hutan lindung. Padahal hanya 5 KK yang menghuni hutan ini, tetapi perlu dibuat jalan yang mulus. Padahal, di perkampungan lain – karena tidak ada hutannya – jalan-jalan dibiarkan porak-poranda. Kebijakan membiarkan perambahan hutan ini juga kita lihat terjadi di sekitar Kuta Pengkih yang termasuk dalam kawasan Ekosistem Leuser. Perambahan terakhir terjadi di Desa Pernantin, meski pelakunya sudah ditangkap namun dilepas kembali oleh polisi.
Melihat kondisi alam Tanah Karo yang rusak, saya mengimbau agar warga GBKP bersatu teguh, membulatkan tekad: lawan siapa pun perambah hutan. ***

Tidak ada komentar: