Rabu, 24 Desember 2008

Tragedi Bohorok dan Potret Buram Hutan Kita*

Tragedi Bohorok dan Potret Buram Hutan Kita*
Oleh dr Robert Valentino Tarigan SPd
Pimpinan BT/BS Bima

Mayat-mayat Bergelimpangan
Bulu kuduk siapa yang tak meremang menyaksikan 152 mayat bergelimpangan dan 100 orang hilang, 400 rumah, penginapan serta cottage dan lainnya porak-poranda. Ini adalah bencana nasional akibat ulah manusia yang serakah. Senin (3 November 2003) siang itu, saya dan rombongan – di samping memberi bantuan ala kadarnya – juga ingin membuktikan bahwa benar banjir bandang ini adalah akibat perambahan hutan di Gunung Leuser. Diduga keras, banjir ini berasal dari Tanah Karo, Aceh Tenggara dan Langkat.
Sebab, tiga kawasan itulah yang paling dekat dan paling mungkin mengirimkan air bah ke Bukit Lawang ini. Dan, memang puluhan ribu hektar hutan Gunung Leuser di tiga kawasan tersebut, telah dibabat oleh perampok kayu.
Dari masyarakat Karo didapat informasi, pada Minggu (2 November) malam pukul 20.00 itu, hujan deras melanda Tanah Karo, termasuk Kutakendit – Kawasan Ekosistem Leuser – yang hutannya juga dirambah dengan alasan pembukaan kebun jeruk seluas 10.000 hektar. Peresmian pembukaan lahan jeruk milik PT MSS itu dilakukan oleh Prof Dr Bungaran Saragih di Brastagi.
Pelaku perambahan hutan di Kutakendit ini telah ditangkap oleh Poldasu pada 19 September 2003 atas pengaduan saya. Uniknya, proses hukumnya hingga sekarang, tidak diketahui. Anehnya lagi, hutan di Kutakendit yang termasuk Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) tersebut telah habis, sementara investor jeruk tersebut melarikan diri.
Yang pasti – ketika bencana tiba – di kawasan Bukit Lawang terdapat ribuan meter kubik kayu log hasil tebangan liar. Jadi, kalau ada pihak-pihak yang menyatakan, banjir tersebut hanya karena bencana alam semata, mungkin hatinya sudah beku akibat melihat sesuatu dengan mata duit, bukan dengan mata hati.
Tak seorang pun mengira, Minggu (2 November) malam itu, kilat yang menyambar-nyambar di antara gelapnya awan di puncak Gunung Leuser akan membawa malapetaka bagi manusia yang menghuni kawasan bagian hilir (Bukit Lawang).
Semuanya sangat cepat. Cuma 20 menit, demikian warga Desa Bukit Lawang, Langkat Sumatera Utara, sambil berlinang air mata, menceritakan kepada saya. Banjir berawal sekitar pukul 19.00.
Tepat pukul 22.00, suara gemuruh, langsung menghantam apa saja yang berada di sepanjang daerah aliran sungai Bohorok. Pusaran air yang begitu kuat menyebabkan Budi – salah seorang warga yang bercerita pada saya – tidak mampu menyelamatkan istri dan ketiga anaknya. Di tengah gemuruh air dan derak kayu yang menerobos perkampungan, Budi masih mendengar jeritan-jeritan minta tolong. Akan tetapi seperti warga lainnya, dia hanya mampu menyelamatkan diri sendiri.
Hanya dalam waktu 20 menit, desa itu sudah rata dengan tanah. Tidak ada yang tersisa. Yang nampak dalam peninjauan kami itu, gunungan kayu gelondongan tanpa kulit dan kedua ujungnya bekas potongan sinso. Hanya sebagian kecil kayu-kayu bersama akarnya, tersebar di beberapa titik di kampung wisata itu. Kayu-kayu itu terdiri dari merbau, meranti batu, dan kayu-kayu hutan primer lainnya. Tak sedikit dari kayu-kayu itu berdiameter mencapai dua meter dengan panjang sedikitnya 30 meter. Juga terlihat rumah-rumah, penginapan, cottage dan lainnya yang porak-poranda.

Akar Bagian yang Paling Kuat
Menurut Dr Majid Damanik ahli kehutanan Universitas Sumatera Utara, bagian yang paling kuat dari pohon kayu adalah akar. Jadi, jika batang pohon kayu yang dijumpai di Bukit Lawang – tumbang akibat longsor – seharusnya seluruh kayu tersebut lengkap dengan akarnya. Kalaupun terjadi benturan kayu dengan bebatuan dan tebing batu di sepanjang sungai, maka yang hancur bukan akarnya tetapi dominan dari yang paling lunak yaitu ranting selanjutnya batang dan terakhir akarnya. Di Bukit Lawang akar pohon kayu sangat minim dijumpai, yang dominan adalah batangan kayu gelondongan dengan kedua sisinya dipotong.
Terlihat juga lima mobil pribadi dan dua bus berbadan besar yang sedang berada di areal parkir tidak luput dari terjangan banjir. Satu bus besar bermerek Pembangunan Semesta – yang biasa melayani trayek Bukit Lawang-Medan bernomor polisi BK 7020 LB – ikut terjungkal bersama satu jip Daiahtsu Taft Rocky. Sisanya terjepit di antara balok-balok kayu yang berukuran besar.
Dari kondisi yang kami lihat itu, tak dapat dipungkiri, bencana nasional ini akibat.ulah manusia. Makanya diperlukan tindakan tegas untuk menjerat para pencuri kayu. Jika sudah lari, kejar ke mana pun, tangkap, lalu hukum seberat-beratnya. Kalau tidak, mereka tidak akan jera. Akibatnya, sangat mungkin – cepat atau lambat – Medan, Sunggal, Belawan, Percut, Binjai, Stabat, Tanjung Pura, Tebing Tinggi dan Perbaungan, terancam akan tenggelam, serta Bandar Baru, Sumbul dan Sidikalang akan tertimbun longsor. Jika sudah begitu, kita tak mungkin berbuat apa-apa lagi.
Dalam bencana Bukit Lawang ini kita bukan mau mencari kambing hitam semata, namun marilah melihat prinsip keholistikan lingkungan tersebut. Lingkungan berkaitan satu dengan yang lainnya. Satu kerusakan di hulu pasti akan membawa dampak bagi lingkungan di hulu sampai dengan hilir. Maka, kerusakan hutan di hulu Sungai Bohorok akan menuai bencana di daerah tujuan wisata Bukit Lawang tersebut secara keseluruhan.

Setiap Malam Kayu Dihanyutkan
Dalam kunjungan ke Aula RSU Djoelham Jumat (7/11) sore, korban-korban yang dirawat juga mengatakan bahwa kayu-kayu yang dirambah dihanyutkan dari hulu pada malam hari. Setiap malam sedikitnya sepuluh balak dihanyutkan, tutur Hendrik Cs kepada kami.
Seorang saksi hidup tragedi Bukit Lawang yang berusia 24 tahun ini, menerangkan, waktu ia mengantar turis, terdengar suara sinso meraung-raung di tengah belantara Leuser. Tetapi karena daerah tersebut dikatakan oleh Dinas Kehutanan Langkat adalah daerah terlarang, mereka tak berani masuk. Karena Polisi Khusus (Polsus) alias ranger dari Dinas Kehutanan terlihat malang-melintang dan bebas berkeliaran di daerah itu, ungkap Hendrik.
Menurut Hendrik, aksi itu sudah barlangsung selama sekitar satu tahun. Sayangnya aparat penegak hukum tidak berani bertindak.
Lebih jauh, mahasiswa D3 Jurusan Informatika di IBI (Institut Bisnis Indonesia) Medan ini, mengatakan, mereka mendiamkan aksi perambahan hutan tersebut, karena takut diteror. “Jika melarang, bisa-bisa masa depan kami untuk tinggal lama di kawasan Bukit Lawang hanya impian. Bahkan ancaman dan teror akan kami rasakan bila terlalu mengurusi aksi liar itu,” tegas Hendrik yang orangtuanya jadi korban dalam musibah itu.

Malapetaka Terbesar
Menurut catatan, kejadian Bohorok merupakan malapetaka terbesar akibat perusakan hutan dilakukan pencuri kayu yang lazim disebut Illegal Logging di Indonesia. Kejadian itu, menelan korban 152 orang dan 100 orang hilang, 400 rumah dan cottage porak-poranda yang diperkirakan kerugian material sebesar Rp 200 miliar.
Mengenai illegal logging di Indonesia, terutama pulau Sumatera, Jawa dan Kalimantan di bulan Juni 2003 lalu sudah menjadi masalah internasional. Karena, kelompok pecinta lingkungan kelas tingkat dunia “Greenpeace” di Inggris mengekspos kepada media elektronik dan pers mengenai hasil investigasinya di Indonesia terhadap 30 sampel, yaitu Sumatera, Jawa dan Kalimantan. Disebutkan, 70% - 80% produksi kayu Indonesia berasal dari kegiatan illegal logging yang melibatkan militer dan merampas hak-hak penduduk sekitar hutan, sehingga penyusutan hutan di Indonesia merupakan yang tertinggi di dunia (Majalah Gatra, 28 Juni 2003).
Tentang kondisi hutan di Indonesia secara menyeluruh disebutkan mengalami penyusutan 1,6 huta hektar setiap tahun. Sedangkan khusus Pulau Jawa, hutan kritis telah mencapai 375.000 hektar. Hal ini diungkapkan Ir Marsono, Direktur Utama Perum Perhutani pada acara Workashop Nasional Kehutanan yang diselengarakan Sumber Daya Alam Watch di Kota Tegal, Selasa (3 Februari 2004).
Data Dephut 2003 mencatat, luas hutan yang rusak atau tak dapat berfungsi optimal mencapai 43 juta hektar dari total 120,35 juta hektar. Sedangkan laju degradasi dalam tiga tahun terakhir mencapai 2,1 juta hektar per tahun.
Laporan lain menyebut 1,6 sampai 2,4 juta hektar hutan Indonesia hilang setiap tahun. Bisa dikalkulasikan, setiap menit lahan hutan Indonesia yang hilang setara dengan enam kali luas lapangan sepak bola.
Jika percepatan degradasi dan kerusakan hutan tersebut dibiarkan berlanjut, Bank Dunia memprediksi, hutan daratan rendah di Sumatera musnah pada 2003, Kalimantan 2005 dan Sulawesi 2010.
Dalam pertemuan dengan lembaga donor Consultative Group on Indonesia (CGI) Januari 2003, Indonesia mengaku mengalami kerugian 679 juta dolar AS per tahun akibat aktivitas penebangan kayu secara liar.

Di Tanah Karo
Khusus di Tanah Karo, menurut Bujur Sitepu (SIB 14 Agustus 2003), luas hutan di Tanah Karo sebelum merdeka 1/3 luas daerah produksi. Tetapi sekarang, luas itu hanya tinggal 1/7 saja. Nah, kalau dibiarkan, tidak mustahil Tanah Karo akan gundul dan Medan sekitarnya pun akan senantiasa mendapat banjir bandang (kiriman).
Dalam pada itu, Yayasan Wana Lestari (Walet) membuktikan kebenaran informasi adanya aktivitas pencurian kayu di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) di Besitang, Kabupaten Langkat. Investigasi yang dilakukan bersama Unit Manajemen Leuser (UML) pada Desember 2003 hingga Januari 2004, ditemukan ribuan hektar kerusakan hutan dkawasan itu.
Firmansyah Putra SE, Kordinator Operasional Walet dalam keterangan persnya, Kamis (5/2) mengatakan, kerusakan hutan diduga kuat sebagai ekses dari penebangan liar yang berlangsung cukup lama. “Buktinya, dalam hitungan kami, hutan yang gundul meliputi kawasan seluas 3.000-4.000 hektar,” katanya.
Dengan demikian, jelas bagi kita semua rakyat Indonesia, bahwa pencurian kayu atau illegal logging di hutan lindung di Indonesia, sudah terencana dengan rapi dan professional. Kegiatan ini, melibatkan aparat kehutanan, kepolisian, militer, bea cukai dan kepala daerah.

Tim Investigasi
Untuk membuktikan dugaan bahwa bencana Bohorok, saya menurunkan tim investigasi yang menyusuri tepian sungai sekitarnya dari hilir sampai ke hulu. Hasilnya, merupakan hadiah Tahun Baru 2004 yang telah diedarkan lewat CD (Compact Disc). Tak dapat disangkal, banjir Bukit Lawang menegaskan adanya illegal logging bukan bencana alam semata. Di samping CD, masalah ini pun saya sebarluaskan melalui website www.jungle-robertvalentino.com.
Dari investigasi tim – dilakukan berulang kali – terbukti bahwa banjir bandang yang menewaskan ratusan warga dan memporakporandakan ratusan hektar persawahan di kawasan Wisata Bukit Lawang itu – sekali lagi – bukan bencana alam murni, melainkan karena ulah tangan manusia. Hutan di sekitar DAS (Daerah Aliran Sungai) Bohorok porakporanda. Kayu-kayu hasil tebangan tersebut, ditumpuk, kemudian dihanyutkan lewat sungai dan ditampung di Pantai Pisang, selatan Bukit Lawang.
Akibat perambahan hutan itu, daerah pegunungan di sepanjang aliran sungai tanahnya menjadi retak dan gampang longsor. Pasalnya akar-akar kayu yang besar sebagai resapan air dan penyangga pori-pori tanah agar tetap stabil – tak mudah longsor – habis dibabat. Kayu-kayu besar, punah di tebang para maling kayu untuk dijadikan papan maupun broti yang dihanyutkan melalui sungai itu.
Ternyata – setelah melalui proses yang tak gampang – diketemukan, penebangan kayu secara liar, hanya sekitar ratusan bahkan puluhan meter saja dari atas bukit ke aliran Sungai Bohorok. Kayu-kayu tersebut – setelah ditebang – dijatuhkan melalui jurang ke sungai untuk dihanyutkan menuju lokasi pengolahan guna dijadikan papan atau beroti. Adanya bekas jalan untuk menjatuhkan kayu ini – apabila hari hujan – air akan mengalir dari sana, maka terjadilah longsor.
Di lokasi hutan TNGL (Taman Nasional Gunung Leuser) dan hutan lindung tersebut, tidak terlihat lagi kayu-kayu besar. Yang ditemui tim dalam tiap kali investigasi hanyalah kayu kecil-kecil. Manalah mungkin hutan lindung yang berumur ratusan tahun tidak memiliki kayu besar. Ke mana perginya kayu-kayu besar, kalau bukan dibabat habis.
Jadi, tidak salah kalau masyarakat sekitar daerah tujuan Wisata Bukit Lawang setiap malam melihat ada balok yang hanyut, meski mereka tidak mengetahui siapa pemiliknya. Guna mengatisipasi longsor, masyarakat yang mendiami DAS Bohorok – khususnya masyarakat yang ada di daerah Wisata Bukit Lawang – membuat surat undangan rapat. Ternyata, sebelum diadakan rapat, banjir bandang terlebih dahulu datang. Sangat tiba-tiba sekali, dalam hitungan menit, bencana itu meluluhlantakkan Bukit Lawang. Kasihan nasib para saudara kita yang ada di sana.

Kenapa Petugas Tak Melihatnya?
Nah yang menjadi pertanyan, apakah para Polhut atau petugas kehutanan lainnya di daerah itu tidak melihatnya ? Kita khawatirkan dalam kegiatan pencurian kayu ini ada kerja sama yang baik antara Polhut dengan para maling yang beroperasi di daerah ini. Kalau kita tanyakan kepada warga di sana, mereka enggan berbicara tentang pencurian kayu. Kenapa? Kemungkinan mereka mendapat intimidasi dari orang tertentu sehingga takut berbuat bahkan berbicara. Untuk membuktikan hal ini, tidak ada jalan lain, selain kita harus turun ke lapangan.
Makanya saya, melihat secara langsung apa yang terjadi di atas Daerah Aliran Sungai Bohorok itu. Ternyata yang kami temui bersama dengan tim saya, di sepanjang aliran sungai itu ada kegiatan illegal logging secara besar-besaran. Anehnya, para pejabat pemerintah kita mengatakan kejadian banjir bandang dikarenakan bencana alam murni. Karena itulah saya edarkan CD ini sebagai hadiah Tahun Baru.
Kalau hal ini dibiarkan berlarut-larut tanpa penanganan serius, kita khawatir, hutan di Sumatera Utara ini akan habis dalam waktu relatif singkat. Lihat saja hutan lindung di daerah Tanah Karo, misalnya, tanpa ada tindakan dari instansi terkait maka penebangan hutan berlanjut terus, meskipun saat ini dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Demikian juga hutan di Dairi, Samosir, Taput, Simalungun, Tapteng dan Tapsel telah hancur.
Saya juga tidak sudi kasus Bohorok ini, seperti kasus Banjir Sunggal pada 2002 yang merenggut 13 jiwa. Kejadian ini juga sudah jelas akibat perambahan hutan lindung yang ada di daerah Lau Si Gedang Tanah Karo-Langkat, tapi disebut hanya bencana alam biasa.

Hutan Sumut akan Habis
Jika demikian terus-menerus, maka Sumatera Utara akan berubah seperti Riau, Jambi dan Jawa. Apakah ini yang kita ingini? Dulu ketika hutan masih lebat dan asri, Riau, Jambi dan Jawa merupakan daerah subur dan rakyatnya sangat makmur. Setelah hutannya habis dirambah para maling kayu maka daerah ini menjadi gersang. Masyarakat di sana makin lama makin memprihatinkan. Beberapa daerah di Jawa yang dulunya di kenal dengan lumbung padi, namun saat ini untuk mendapatkan air saja harus menjual harta bendanya. Kalau masih ada yang tidak percaya, silahkan lihat website www.jungle-robertvalentino.com, atau mari sama-sama turun ke lapangan.
Pada saat saya dengan gencarnya menyoroti masalah perambahan hutan di Kab Karo, banyak orang yang tidak percaya dengan temuan itu. Karena itulah saya meminta Kadis Kehutanan Sumatera Utara Ir Prie Supriady MM dan Komisi II DPRD Sumut untuk turun. Setelah sampai di lapangan, mereka melihat porakporandanya hutan Karo termasuk Siosar, Kacinambun dan Kuta Kendit. Mereka spontan berucap “wah… biadab sekali maling kayu ini”.
Setelah diketahui perambahan hutan Siosar didalangi Sudarto (mendapat izin seluas 100 hektar dari Pemkab) , maka Ketua Komisi II DPRD Sumut Victor Simamora ketika itu mengatakan “tangkap Sudarto”. Tapi nyatanya sampai saat ini Sudarto masih bebas berkeliaran. Kalau begini terus, maka bagi para penebang hutan secara liar atau illegal logging tetap akan beroperasi seperti biasa. Akibatnya, para petani kita akan semakin sengsara karena tanaman mereka tidak akan bisa tumbuh subur lagi. Masyarakat petani yang dimiskinkan itu, kelak dengan terpaksa pula akan menjual ladangnya kepada para pengusaha dengan harga murah.
Selain itu, sebahagian daerah Sumatera Utara yang berdekatan dengan DAS akan kerap terancam banjir. Sehingga bagi saudara-saudara kita yang bermukim di daerah aliran sungai itu, akan merasa tidak nyaman bila hari mendung. Apakah ini yang kita ingini? Kalau jawabannya “tidak!”, kenapa kita tidak melawan para maling kayu yang hanya memikirkan kepentingan pribadi dan kelompoknya saja? Kalau kita terus-menerus diam, maka maling-maling tersebut akan berbuat sesuka hatinya tanpa memikirkan akibatnya kepada masyarakat luas.
***

*Disampaikan pada Seminar “Pertangungjawaban Hukum dan Kemanusiaan Kasus Bohorok” Sabtu 21 Februari 2004 di Hotel Dirga Surya.

Tidak ada komentar: