Rabu, 24 Desember 2008

Benarkah Sungai-sungai Itu ‘Marah’

Benarkah Sungai-sungai Itu ‘Marah’
Oleh: dr Robert Valentino Tarigan SPd*

Orang-orang yang punya hubungan emosional dan historis dengan sungai-sungai, harusnya kecewa melihat pembangunan yang tak bersahabat dengan alam sehingga merusak keberadaan sungai. Bahkan, dalam dua dasawarsa ini – jika di hulu musim penghujan – penduduk yang ada di pinggiran sungai bagian ilir, merasa sungai-sungai jadi ancaman menakutkan. Marahkah sungai-sungai itu?
Menurut Dosen Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara, Jaya Arjuna, mestinya Medan bisa bebas dari banjir. Selain secara geografis berada rata-rata 25 meter di atas permukaan air laut, di Medan terdapat lima sungai bisa menampung semua air mengair baik dari hulu maupun dari Medan sendiri. Jaya mempertanyakan mengapa sampai terjadi banjir. Salah satu kemungkinan, kata dia, Pemkot Medan kita tidak mampu lagi mengelola air.
“Yang terjadi sekarang adanya ego sektoral, pemerintah saling menuding dan menyalahkan. Sementara masyarakat Medan terus mengalami banjir di tengah polemik siapa yang bersalah karena banjir,” katanya. (KOMPAS, SABTU, 14 OKTOBER 2006 hal 26).

Perubahan Drastis
Hanya berkisar 35-40 tahun saja terjadi perubahan drastis. Ketika itu – sekitar 35-40 tahun lalu – orang-orang yang bermukim di sekitar 500 meter kurang lebih dari bibir sungai pastilah berakrab-ria dengan sungai. Suasana permukiman sangat kental dengan aroma desa.
Tapi, zaman bergerak kawan. Desa-desa – yang tiga atau empat puluh tahun lalu – tempat kita dilahirkan, dalam keniscayaan sejarah, berubah jadi kota-kota yang padat. Alam yang dulu masih 'berbaik hati' memberi bangsa manusia dengan gizi, kini pergi, dilindas keserakahan kota.
Masih dengan jelas terpatri di ingatan – dulu – di samping atau belakang rumah kita bertaburan makanan pemberi gizi seperti jamur yang tumbuh di batang-batang pohon tumbang, kemumu, keladi dan umbi-umbian lainnya. Pisang-pisang dan buah-buahan pun berserak begitu rupa. “Tongkat kayu dan batu jadi tanaman”, sebagaimana dilantunkan Koes Plus dalam lagunya, kini tenggelam dalam rawa-rawa sejarah. Ketika itu, kita tinggal menggerakkan kaki dan tangan untuk mengutip gizi-gizi tersebut.
Rawa-rawa di samping atau belakang rumah juga memberi gizi seperti ikan-ikan berbagai jenis. Sungai-sungai apalagi. Seperti di Sungai Deli, Babura, Denai, Belumai, dan Batang Serangan dulu: ada udang-udang kecil, ciput (sea food), remis, dari ikan timah, cencen, lemeduk, baung, sepat, sampai ikan-ikan besar lainnya tersaji buat kita.
Remis dan ciput, berserak di pasir-pasir sungai, tinggal menjulurkan tangan dan membawa wadah, maka semuanya dapat menjadi tambahan gizi. Tapi kini, sungai-sungai kita di kota (dulu kebanggaan warga), yang ada tinggal ikan sapu kaca dengan daging yang nyaris tak ada dan tulang begitu keras. Aduh!

Kebanggaan
Sungai Deli, Sungai Babura dan tiga sungai lainnya: Sungai Batang Serangan, Denai dan Belumai yang melintasi Kota Medan merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa, tetapi kini kondisinya tentu sangat jauh beda. Dahulu kapal ukuran besar dapat leluasa berlayar di sungai-sungai tersebut karena tidak ada jembatan yang menghalanginya. Masa sekarang alurnya bertambah kecil, banyak jembatan di atasnya dan tempat-tempat yang telah menjadi dangkal. Ironisnya, air sungai-sungai yang dulunya jernih, kini relatif keruh dan mirip air comberan. Jika musim hujan, sungai-sungai jadi menakutkan karena kelihatan ganas.
Orang boleh saja menyebut banjir merupakan ‘keganasan’ atau luapan ‘marah’ sungai-sungai. Tapi, benarkah sungai-sungai itu ‘marah’? Di balik keganasan dan kemarahan sungai-sungai itu, tidakkah ini berawal dari ‘keganasan’ manusia memperlakukan alam.
Sungai-sungai yang alurnya sudah dibentuk oleh Tuhan sedemikian rupa, dirombak sesuka hati. Alur yang diciptakan Tuhan berkelok-kelok – hanya untuk kepentingan bisnis – diluruskan. Akibatnya, air yang turun dari hulu, tumpah blek dan meluap sedemikian rupa. Coba bayangkan, jika jalan dari Berastagi ke Medan yang dibangun oleh Belanda berkelok-kelok, diluruskan, siapakah yang berani menuruninya? Demikian pulalah perlajanan alur air tersebut, dengan berkelok-kelok, sebagaimana jalan Berastagi-Medan, air tidak tumpah ruang dengan kecepatan yang sangat tinggi menghantam apa saja dan mengakibatkan banjir serta erosi. Dalam pada itu, kayu-kayu sebagai penyagga alam pun dibabat. Apa lacur, alam pun – dalam hal ini sungai-sungai – memperlihatkan pula keperkasaannya lewat erosi dan banjir dengan kecepatan tinggi, membawa serta menghantam apa saja yang dilalui airnya.

Sungai Babura Meluap
Sungai Babura yang membelah Kota Medan kembali meluap, mengakibatkan 447 rumah yang dihuni 447 Kepala Keluarga (KK) khusunya di Daerah Aliran Sungai (DAS) sejumlah kelurahan di Kecamatan Medan Polonia dan Medan Baru tergenang, Selasa (31/10).
Camat Medan Polonia Aldi Agustian SSos MM dan Camat Medan Baru Drs Ebenezer Karokaro SH MAP didampingi Kabag Humas Pemko Medan Drs H Arlan Nst MAP di Balaikota menjelaskan kepada wartawan, ke-447 rumah yang tergenang di Kecamatan Medan Polonia 139 KK terdiri dari 18 KK di Kelurahan Anggrung dan 121 di Kelurahan Polonia.
Sedang di Kecamatan Medan Baru, rumah yang tergenang mencapai 308 KK terdiri dari 63 di Kelurahan Petisah Hulu, 30 KK di Kelurahan Darat, 125 KK di Kelurahan Padang Bulan dan 90 KK di Kelurahan Titi Rante.
Sungai Babura kembali meluap sekira pukul 02.00, dan berangsur surut pada pukul 06.00. Sejumlah warga sempat mengungsi ke tempat yang dirasa lebih aman. (ANALISA, Rabu 01 November 2006 halaman 2).
Disebutkan pula dalam berita itu, selain sungai Babura, banjir kiriman juga melanda sungai Deli, debit air naik sekitar pukul 02.00 WIB sehingga warga masyarakat yang tinggal di bantaran sungai Deli sempat mengungsikan barang-barangnya di antaranya penduduk Sukaraja, Kampung Baru, Sei Mati, Hamdan, Jati, dan Kampung Aur.
Beberapa bulan sebelumnya diberitakan: Ribuan rumah di bantaran Sungai Deli kembali dilanda banjir. Sebanyak 1.559 rumah di enam kelurahan Kecamatan Medan Medan Maimoon terendam hingga dua meter, Minggu (14/5). Demikian berita Harian ANALISA Senin 15 Mei 2006 halaman 1.
Informasi Camat Medan Maimoon Drs H Azwanto ketika mencek warganya mengungkapkan, air sungai mulai naik pada pukul 24.00 – 1.00 WIB dini hari, tetapi, air mulai deras sekira pukul 05.00 WIB sehingga menenggelamkan ribuan rumah warga.
“Meluapnya Sungai Deli karena curah hujan yang tinggi di daerah pegunungan seperti di Sibolangit dan Berastagi sehingga Sungai Deli meluap, dan airnya pun lebih tinggi daripada banjir sebelumnya,” ujar Azwanto.
Sayangnya, pemuka masyarat tetap menyalahkan rakyat yang bermukim di bantaran sungai, tanpa memberi solusi: Ditambahkan Azwanto, banjir ini menjadi langganan bagi masyarakat tertutama mereka yang tinggal di pinggiran sungai. “Bagaimana tidak kena banjir, pondasi rumah mereka saja di bibir sungai,” tutur Azwanto. Kenapa kita tak pernah menyalahkan perusakan lingkungan di sepanjang alur sungai dan pencurian kayu di hulunya? Bahkan menyebutkannya saja kita takut.

Penimbunan
Di samping habisnya kayu-kayu yang ada di hulu maupun di pinggiran sungai, juga karena alur yang ada ditimbun untuk kepentingan proyek. Seperti yang diberitakan Harian Waspada Senin 26 Juni 2006 halaman 4: Dua proyek penimbunan tanah hingga mengena daerah aliran sungai (DAS) Deli dan Batuan di Jln Brigjen Katamso, Kelurahan Kampung Baru dan Sei Mati, Kecamatan Medan Maimoon, tidak memiliki izin.
Selain tidak ada izin penimbunan dari Bappeda dan PU Medan, juga tidak ada izin lokasi dan IMB dari Dinas Tata Kota dan Tata Bangunan (TKTB).
Hal itu disampaikan Ir H Wiriya Alrahman MSi selaku pimpinan tim yang diperintahkan Sekda Medan Drs H Afifuddin Lubis MSi turun ke lokasi meninjau proyek tersebut, Rabu (12/6).
“Inilah dampaknya proyek yang dikerjakan secara diam-diam dan tidak diketahu Pemko. Melanggar ketentuan dan rakyat menerima dampaknya,” kata Wiriya, Minggu (25/6).
Nah, fakta di lapangan meperlihatkan karena kegarangan manusilah awalnya yang menyebakan sungai-sungai memperlihatkan kegarangannya pula, lewat banjir. Lalu, apa langkah ke depan untuk memperbaikinya? Bagaimana nasib orang-orang kelas menengah bawah yang berumah di bantaran sungai, apakah harus digusur? Jika mereka digusur, bagaimana pula dengan permukiman mewah dan pertokoan yang ada di jalur Sei Deli seperti di Jalan Multatuli, dan perumahan yang ada di seberang Kantor DPRD Medan dan Sumut, serta lainnya? Kenapa mereka tidak direncanakan dugusur juga? Terlalu kuatkah sang developer atau karena uang recehnya sudah masuk ke kantong kita?
Tentang warga yang bermukim di bantaran sungai Pemeritah Kota Medan menawarkan rumah susun (rusun) bagi warganya yang tinggal di bantaran Sungai Deli dan anak sungainya. Tawaran itu berlaku bagi semua warga terutama yang tinggal di daerah rawan banjir. “Kami sediakan lahan di Keluarahan Aur dan Sungai Mati untuk rusun. Rusun itu kita bangun 20 tingkat tidak jauh dari permukiman warga sekarang. Pembangunan ini kami harapkan bisa mengubah kondisi sosial masyarakat,” kata Wakil Wali Kota Medan M Ramli, dalam diskusi publik bertajuk Banjir Kota Medan, kerja sama Kompas dan Smart FM, Jumat (13/10).
Kepada peserta diskusi, Ramli mengatakan, lahan untuk rusun sudah disiapkan. Ramli berjanji akan membebaskan IMB (izin mendirikan bangunan) pembangunan rusun itu atas persetujuan DPRD Kota Medan terlebih dahulu. “Mungkin ini salah satu solusi persoalan banjir di Medan,” katanya.
Benarkah rusun untuk warga yang berada di bantaran sungai merupakan salah satu solusi persoalan banjir di Medan? Lupakah kita pada banjir bandang sungai Bahorok yang meluap begitu tinggi dan menghantam bangunan semi maupun permanen, yang bertingkat maupun tidak? Ternyata alur sungai yang telah diluruskan 15 tahun sebelumnya – karena banjir bandang itu – kembali mengikitu alur semua yang berbelok-belok.

Sungai Bahorok
Lupakah kita pada kisah yang begitu mengenaskan – khususnya buat orang-orang Sumut – terjadi pada Minggu 2 November 2003 malam. Ketika itu, bulu kuduk siapa yang tak meremang menyaksikan 152 mayat bergelimpangan dan 100 orang hilang, 400 rumah, penginapan serta cottage dan lainnya porak-poranda. Ini adalah bencana nasional akibat ulah manusia yang serakah.
Di Senin (3 November 2003) siangnya, saya dan rombongan – di samping memberi bantuan ala kadarnya – juga ingin membuktikan bahwa benar banjir bandang ini adalah akibat perambahan hutan di Gunung Leuser. Diduga keras, banjir ini berasal dari Tanah Karo, Aceh Tenggara dan Langkat.
Di samping perambahan hutan, alur sungai Bahorok pun diutak-atik untuk kepentingan orang-orang yang tidak bertangung jawab. Kenyataannya, ketika banjir datang, alur tersebut, kembali seperti semula.
Penyumbatan alur sungai dengan pembuatan tanggul untuk merendam kayu hasil curian, juga bagian yang memperparah keadaan. Ternyata, ketika banjir datang, tanggul jebol, dan kayu-kayu yang direndam di dalam “danau buatan” itu ikut bersama arus deras. Kayu-kayu log yang sebatangnya mencapai ratusan kilo bahkan ton tersebut menghantam siapa saja. Banyak korban yang tak dapat menyelamatkan diri, begitu pula rumah-rumah hancur bukan hanya karena derasnya arus, pun hantaman kayu-kayu balok.
Hal ini sesuai dengan kesaksiaksian Ir Jaya Arjuna MSc dalam gugatan legal standing Walhi (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) kepada lima pihak, yakni Presiden Indonesia, Gubernur Sumatera utara, Bupati Langkat, Kepala Balai Taman Nasional Gunung Leuser, serta Yayasan Leuser Indonesia dan Unit Menajemen Leuser (KOMPAS, Sabtu 3 Juni 2006 halaman 26). Sebagai saksi ahli, Jaya Arjuna menyatakan, sebelum banjir, terjadi penyumbatan saluran air di hulu Sungai Bahorok yang mengakibatkan adanya danau atau bendungan alam, yang mana bendungan ini bisa jebol kapan saja.
Dari kenyataan itu, harusnya kita mau belajar dan memperbaiki paradigma bahwa uang dapat diperoleh dengan tidak harus merusak alam. Sungai-sungai di negara luar seperti Sungai Nil di Mesir dimanfaatkan dalam paket wisata.
Kalau alasannya Sungai Deli, Babura dan lainnya alurnya agak sempit, lebih sempit lagi alur-alur sungai yang berada di luar kota Bangkok. Tetapi sungai-sungai di Bangkok dirawat dengan baik dan digunakan untuk lalu lintas air yang dimanfaatkan masyarakat maupun wisatawan. Mereka menggunkanan perahu-perahu ukuran kecil bermesin tempel yang memuat lima atau lebih penumpang untuk pergi ke suatu tempat. Misalnya ke Pasar Bunga yang menjadi daya tarik sendiri. Demikian juga di Chiang May dan kota-kota yang memiliki sungai semua dirawat sekaligus dimanfaatkan untuk kepentingan mencari duit. ***

*Direktur LSM Pelindung Bumimu
dan Pimpinan BT/BS BIMA Medan

Tidak ada komentar: