Valentino: Perusakan Lingkungan Proses Pemiskinan yang Sistematis dan Masif
Medan ( ) Perusakan lingkungan merupakan proses pemiskinan secara sistematis
dan masif. Karena tak mungkin pencuri-pecuri kayu tersebut bekerja sembunyi-sembunyi. Dari proses penembangan, pengiriman, sampai pengolahan, pohon-pohon besar itu tak mungkin disembunyikan. Demikian dr Robert Valentino Tarigan SPd mengemukakan dalam diskusi yang digagas para mahasiswa tergabung dalam Gerakan Mahasiswa Sumut (Gemasu), Ikatan Mahasiswa Tapsel (Ima Tapsel), GMPL Ansor, dan BM PAN, Sabtu (6/1). Diskusi bertema Strategi Gerakan Anti Pencuri Kayu tersebut berlangsung di Sekretariat Pemerintahan Mahasiswa (Pema) USU Medan.
Direktur LSM Pelindung Bumimu yang juga Pimpinan BT/BS BIMA ini lebih lanjut mengemukakan, perusakan lingkungan dan penguasaan pihak asing terhadap SDA (sumber daya alam) kitalah yang membuat kita miskin secara massal (masif). “Dan semuanya dilakukan secara sistematis. Artinya adanya sistem yang membuat proses tersebut berjalan sebagaimana adanya,” tegas Valentino.
“Kalau tidak dilawan, kelak kita akan hanya punya bangsa, tanah dan airnya milik orang lain, seperti di Jambi, Riau dan lainnya, pemilik tanah awalnya akhirnya jadi buruh di perkebunan sawit. Apakah kelak kita akan jadi Palestina yang berbangsa tetapi tidak bertanah air? Masih mendingan Palestina yang punya musuh bersama, yaitu Israel. Lalu, siapa musuh bersama kita? Ya, bangsa kita sendiri,” tegasnya.
Nara sumber lain dalam diskusi itu, Ir Jaya Arjuna dan Syafaruddin SH Mhum. Jaya ketika itu menyampaikan rasa pesimisnya menghadapi para pencuri kayu. “Saya sering dikhianati, karena itu saya minta komtimen kita bersama, yang berkhianat harus kita apakan?” tanyanya. Sementara itu, Syafaruddin mengemukakan pokok-pokok pikirannya dalam perspektif hukum. “Para pencuri bisa kita gugat secara pidana maupun perdata. Soal menang kalahnya, itu hal lain,” ungkapnya pula.
dr Robert Valentino Tarigan SPd (kanan), Ir Jaya Arjuna (no 2 dari kanan dan para mahasiswa.Kata Valentino lagi, lingkungan merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan antara satu dan lainnya. Kawasan Leuser membentang dari Aceh, Langkat, Dairi hingga Kabupaten Karo. Jadi, problem orang Karo, Dairi, Aceh dan lainnya dengan hutannya, sesungguhnya adalah problem kita semua bangsa manusia. Mengapa tidak, banjir dan longsor yang dirasakan di kota-kota dewasa ini, baik yang ada di Sumut maupun Aceh, berawal dari “perampokan” hutan baik KEL (Kawasan Ekosistem Leuser) maupun lainnya.
Yang menjadi pertanyan Valentino, apakah para Polhut atau petugas kehutanan lainnya di daerah itu tidak melihatnya? “Kita khawatirkan dalam kegiatan pencurian kayu ini ada kerja sama yang baik antara Polhut dengan para maling yang beroperasi di daerah ini. Kalau kita tanyakan kepada warga di sana, mereka enggan berbicara tentang pencurian kayu. Kenapa? Kemungkinan mereka mendapat intimidasi dari orang tertentu sehingga takut berbuat bahkan berbicara,” terangnya.
Uniknya, tambah Valentino, upaya-upaya menyelematkan hutan bersama rakyat, justru dirinya yang diteror. “Saya pernah ditodong dengan pistol, mobil ditabrak dari belakang, dijak berkelahi, diinteli terus-menerus, dan hal yang tidak menyenangkan lainnya. Nah, kalau begini cara aparat memperlakukan para maling kayu, sangat boleh jadi Langkat, Aceh Tamiang tidak dilanda Banjir, Muarasipongi tidak dilanda longsor. Kalaupun terjadi juga, pengaruhnya tidak sedahsyat ini (maksudnya korban banjir yang di Langkat dan Aceh serta longsor di Muarasipongi),” urainya.
Pada kesempatan itu Valentino mempertanyakan, apakah semua ini kita biarkan? “Kalau rakyat tidak melawan, nasibnya memang sudah ditentukan. Karena mereka (para maling kayu) punya segalanya, kecuali hati nurani. Andaipun disidangkan, malingnya tetap lepas, seperti yang terjadi di Madina. Jadi hanya ada satu kata buat rakyat untuk mewariskan mata air kepada anak cucu, bukan air mata: Lawan! Ayo, siapa berani?” Valentino dalam nada taanya. ( )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar