Rabu, 24 Desember 2008

Kronologi dan Data-data Perambahan Hutan, Penodongan Valentino Hingga ke Pengadilan

Kronologi dan Data-data Perambahan Hutan, Penodongan Valentino Hingga ke Pengadilan

Kabupaten Tanah Karo terdiri dari 13 Kecamatan dengan luas 212.725 hektar. 30 persen lebih dari luas itu adalah kawasan hutan. Namun kini kondisi hutannya sudah porakporanda. Segenap warga daerah ini menuntut para pelaku kerusakan itu segera ditangkap dan diseret ke meja hijau.
Advokasi pun dilakukan oleh masyarakat yang didampingi oleh dr Robert Valentino Tarigan SPd. Semula gerakan memang hanya seputar Tanah Karo. Perlahan, tapi pasti, gerakan menyebar sedemikian rupa. CD-CD pun beredar ke berbagai tempat bahkan ke luar negeri. Begitu juga dengan berita-berita di media massa, terus mengangkat masalah ini ke permukaan.

Banyak Jalan Merusak Hutan
Dari pengamatan dan survei di lapangan, ada banyak jalan yang menuju areal hutan lindung. Taman Hutan Bukit Barisan dan Kawasan Ekosistem Leuser di Kabupaten Karo, bertujuan hanya untuk merambah hutan secara semena-mena sehingga rusak dan porak-poranda.
Pertama, kerusakan hutan di Lau Gedang yang merupakan daerah segitiga antara Kabupaten Deli Serdang, Langkat dan Karo, di kaki Gunung Sibayak. Di sini, 1000 hektar hutan dirambah atas rekomendasi DPRD Karo Nomor 12/172/371/2001 Tanggal 21 April yang ditandatangi oleh Bastanta Surbakti.
Kedua, kerusakan terjadi di hutan lindung Simpang Doulu, seluas 64 hektar dirambah. Ini pun atas rekomendasi pimpinan DPRD Kabupaten Karo Nomor 174/168/2002 Tanggal 28 Februari 2002 yang ditandatangani oleh Ketua DPRD Karo, Bon Purba.
Ketiga, hutan lindung Sibuaten (Register 3/K) yang terletak di Kecamatan Juhar Kabupaten Karo. Perusakan berawal dari pembukaan jalan antara beberapa desa sesuai dengan Surat Keputusan (SK) Bupati Karo Nomor 522/193/2001 Tanggal 13 Oktober 2001, memberi HPHH seluas 40 hektar, yang merupakan pinjam pakai antara Kanwil Kehutanan Sumatera Utara dengan Bupati Karo Nomor 411/15/II/KUT/1989 dan kemudian direvisi dengan surat Nomor 59/79/KUL/672/2000.
Selanjutnya Bupati Karo mengeluarkan surat Nomor 620/0034 Tanggal 30 Desember 2000, Kilang Papan Nangga Lutu milik Acong diberi izin pemanfaatan kayu. Kemudian, dengan surat Tanggal 20 Februari 2001 Nomor 522.21/1252/3-A, memberikan Izin Penebangan Kayu (IPK) atas nama IPKH Nangga Lutu milik Acong.
Di Juhar ini, jalan dibuat berkelok-kelok ke arah kayu besar, 40 hektar lebih kawasan hutan porak-poranda. Akibatnya, Desa Juhar – kampung Valentino sendiri – jadi kering. Kejadian inilah awalnya, mendorong Pimpinan BT/BS Bima ini, peduli hutan.
Keempat, hutan lindung Deleng Cengkeh, seluas 51 hektar rusak dirambah 57 warga sekitar. Para pelakunya telah dapat diidentifikasi oleh Dinas Kehutanan Kabupaten Karo, akan tetapi proses hukumnya sama sekali tidak dijalankan. Malahan, Dinas Kehutanan membuat perdamaian dengan perambah hutan tersebut.
Kelima, kerusakan hutan di Kuta Kendit berawal dari program Pemkab Karo yang membuka hutan sebagai areal transmigrasi untuk suku terasing. Padahal, kita tahu tidak ada suku terasing di Kabupaten Karo. Rupanya, ‘suku terasing’ itu adalah orang-orang yang melarikan diri dari Riau karena mencuri kayu, takut rerjerat hukum. Dengan alasan pembukaan hutan itulah, hutan Kuta Kendit dirambah. Kini, sekitar 120 KK menghuni hutan Kuta Kendit tersebut.
Karena hutan-hutan yang telah dibuka, tidak habis dikerjakan oleh penduduk tersebut, maka diberikan pula izin kepada PT Praja yang berkantor di Kantor Bupati Karo. Dengan demikian jelaslah Pemkab Karo terlibat merambah hutan lindung tanpa izin Menteri Kehutanan, terlibat masalah pencurian kayu, ini karena PT Praja berkantor di Kantor Bupati Karo.
Keenam, kerusakan terjadi akibat jalan tembus Kabupaten Langkat-Karo. Di sini, Pemprovsu ikut pula merambah hutan tanpa izin. Pembukaan jalan antara Desa Kuta Rakyat (Karo) dengan Desa Pamahsimelir (Langkat), membelah hutan lindung dan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL).
Ketujuh, hutan lindung Siosar yang dirusak oleh PT Kastil milik Sudarto merupakan hutan konversi. Kerusakan berawal dari izin penebangan 100 hektar yang diusulkan kepada Menteri Kehutanan 2600 hektar. Karena tidak ada izin ke luar tapi mereka merambah terus maka terjadi kerusakan 600 hektar.
Valentino dan tim masuk ke Siosar pada 8 Agustus 2001, di situ dijaga petugas berseragam. Kalau saya tidak masuk, hutan itu pasti habis. Padahal, dua aliran sungai yang menuju Danau Toba, berasal dari sini. Makanya sekarang, kalau hujan di Karo, maka Danau Toba naik, rusaklah sawah ladang masyarakat. Kalau dia menyusut, maka ketinggalan pasir di sawah-sawah ladang di pesisir Danau Toba. Siapakah yang bertangung jawab? Kedelapan, Coporate Farming Tambar Malem, dibuka oleh Bupati Karo dengan keluarga dan kerabatnya, seperti istri, anak, ipar dan saudaranya serta Ketua DPRD Karo. Areal ini sebenarnya adalah hutan lindung Siosar, di belakang terjadi pencurian kayu. Hal ini sudah adukan ke Polres Tanah Karo. Waktu diadukan namanya Anthony Ginting, tapi di BAP ternyata namanya berubah menjadi Tole Ginting.
Kesembilan, kerusakan hutan juga terjadi di Rimo Bunga di Deleng Leweh. Kerusakan di sini, karena Pemkab Karo membiarkan koloni masyarakat pendatang, mendirikan perkampungan baru di tengah hutan lindung. Padahal di situ hanya 5 KK, tetapi perlu dibuat jalan yang diaspal hotmiks. Padahal di desa-desa yang masyarakatnya relatif banyak, tidak diaspal dengan hotmiks. Atau memang jalan-jalan ini hanya dibuat untuk menjadi sarana pencurian kayu.

Ditodong dengan Pistol
Demikianlah advokasi dilakukan untuk wilayah-wilayah dimaksud, hingga suatu hari di 15 Juli 2003, Sudarto menodongkan pistolnya ke arah perut kanan Valentino di teras Kantor Bupati Karo. Selanjutnya, penodongan itu diadukan Valentino ke Polres Tanah Karo. Karena kurang mendapat respon, Valentino kembali mengadu ke Poldasu. Karena locus de licty-nya di Tanah Karo, maka pengaduan dilimpahkan kembali ke Polres Tanah Karo. Dalam pada itu Sudarto pun mengadukan Valentino atas dasar pencemaran nama baik. Maka perkara split ini disidangkan bersamaan antara Sudarto sebagai terdakwa dan Valentino sebagai terdakwa.
Perkara pidana Regno: 274/Pid.B/2003/PN Kabanjahe tersebut, mulai disidangkan sekitar September 2003 dan pembacaan vonis 14 April 2004, dengan hasil bebas murni untuk Valentino dan bebas murni pula untuk Sudarto. Oleh Kejaksaan Negeri Kabanjahe selanjutnya dilakukan kasasi. Memori kasasi tertanggal 6 Mei 2004 diajukan ke PN Kabanjahe untuk diteruskan ke Mahkamah Agung, dan Kontra Memori Kasasi tanggal 13 Juli 2004, akte tanda terimamya, Jumat 23 Juli 2004, ditandatangani oleh Nirwan Sembiring SH. Yang menyerahkan Kontra Memori Kasasi adalah Kaliasa Sitinjak SH, Penasihat Hukum dr Robert Valentino Tarigan SPd.
Anehnya hingga 3 November Permohonan Kasasi tersebut tak juga dikirimkan PN Kabanjahe ke Mahmakah Agung. Ketika Valentino, penasihat hukum dan rekan-rekan mempertanyakan kenapa belum dikirim, Nirwan Sembiring SH Panitera/Sekretaris PN Kabanjahe mengatakan, Juru Sita PN Kabanjahe tak masuk-masuk kantor sehingga Surat Pemberitahuan untuk Mempelajari Berkas Perkara yang wajib disampaikan kepada terdakwa tak ada.
Kepada Valentino, Nirwan mengatakan ia bekerja berdasarkan perintah atasan. Kalau atasan mengatakan jangan dikirim karena alasan juru sita tak masuk-masuk kantor, Nirwan mengaku hanya ikut saja. Lalu ketika Valentino mendesak, Nirwan memerintahkan agar mempertanyakan masalah itu kepada Kepala PN Kabanjahe Maringan Sitompul SH.
Setelah Valentino mempertanyakan hal tersebut kepada Maringan Sitompul, Kepala PN Kabanjahe ini berusaha mengelak. “Berapa rupanya Bapak dibayar maling kayu itu, sehingga untuk mengirimkan berkas kasasi saja tak bisa,” sergah Valentino ketika itu kepada Maringan Sitompul. Selanjutnya Kepala PN Kabanjahe meminta Valentino bersabar dan mempertanyakan masalah tersebut kepada Nirwan.
Merasa dibolak-balik sedemikian rupa, akhirnya Valentino mengatakan, jika memang Permohonan Kasasi tersebut tidak akan dikirim ke Mahkamah Agung, buatlah suratnya, biar jelas. “Hak Bapak untuk menjatuhkan vonis saya hormati. Tolonglah hak saya untuk kasasi juga Bapak hormati,” pinta Valentino.
Terjadi perdebatan sengit. Seiring dengan itu, supir pribadi Kepala PN Kabanjahe marah-marah, terkesan melarang Valentino dan kawan-kawan masuk ke kantor PN Kabajahe. Karenanya Valentino mengingatkan bahwa PN itu bukan kantor milik pribadi, melainkan milik negera, yang siapa pun pencari keadilan berhak memasukinya.
Saat Valentino mengemukakan bahwa kejadian itu akan ia lapor ke Ketua Pengadilan Tinggi (PT) Sumatera Utara di Medan, supir pribadi Kepala PN Kabajahe menyatakan tidak takut. “Kepada yang lebih tinggi pun saya tidak takut,” tutur oknum supir Kepala PN Kabanjahe tersebut.
Akhirnya – setelah beradu argumentasi tentang hak meperoleh keadilan sesuai dengan perkataan Jaksa Agung bahwa keadilan untuk rakyat kecil jangan sampai dibeli oleh orang kaya dan para cukong – maka pada 3 November tersebut, PN Kabanjahe menyiapkan Surat Pemberitahuan untuk Mempelajari Berkas Perkara Nomor 274/Pid.G/2003/Pd.Kbj. Berkas yang ditandatangani Jhonny Heri Jonson Juru Sita PN Kabajahe tersebut, juga harus ditandatangani Valentino.
Mereka (pihak PN Kabanjahe) berjanji berkas Permohonan Kasasi itu paling lambat 11 November 2004 akan dikirim ke Mahkamah Agung.
Demikianlah kronologi pendongan Valentino yang dilakukan Sudarto hingga ke pengadilan serta kasasi yang mengendap lebih kurang 4 bulan di PN Kabanjahe. ***

Tidak ada komentar: