Rabu, 17 Desember 2008

Rangkaian Teror terhadap Robert Valentino

Saya ditahan di RTP (Rumah Tahanan Polisi) Poldasu atas sangkaan yang tidak saya lakukan bahkan sama sekali tidak saya ketahui. Uniknya, pelaku utamanya Baginda Aritonang SH sama sekali tidak pernah ditahan di Poldasu dan tidak ada orang (korban) yang mengadu bahwa dirinya telah ter atau ditipu. Saya pun sama sekali tidak pernah memerintahkan ataupun menganjurkan untuk mencantumkan logo – yang dianggap milik Poldasu – di brosur BT/BS BIMA yang jadi masalah tersebut.
Logo itulah alasan petugas Poldasu menahan saya selama 48 hari. Menurut saya, ini merupakan rangkaian teror yang telah dilakukan sejak tahun 2003. Untuk lebih lengkapnya, saya laporkan sejak awal (2003) teror dan pelanggaran HAM yang dilakukan oknum petugas berkospirasi dengan pengusaha kayu kepada saya.

Ditodong dengan Pistol
Berawal dari advokasi hutan bersama rakyat di Tanah Karo yang berujung ke pengadilan, seterusnya teror pun nyaris tak pernah henti terhadap saya.
Pada 15 Juli 2003, Sudarto menodongkan pistolnya ke arah perut kanan saya di teras Kantor Bupati Karo karena merasa usaha kayunya terusik. Perkara pidana Regno: 274/Pid.B/2003/PN Kabanjahe tersebut, mulai disidangkan sekitar September 2003 dan pembacaan vonis 14 April 2004, dengan hasil bebas murni untuk saya (Valentino) dan bebas murni pula untuk Sudarto.
Kejaksaan Negeri Kabanjahe melakukan kasasi yang putusannya bebas murni buat saya, sedangkan Sudarto – menurut informasi yang saya dapatkan – divonis satu tahun penjara. Anehnya, putusan kasasi Sudarto itu, tak jelas rimbanya. Ketika dipertanyakan ke PN Kabajahe, petugas mengatakan tidak mengetahuinya.

Pengepungan BT/BS Bima
Teror berikutnya terjadi pada 28 Oktober 2005 Jumat malam sekitar pukul 23.00 Wib. Lokasi BT/BS BIMA dikepung oknum yang diduga aparat Polres Deli Serdang, Asahan dan Polsek Medan Baru serta Polsek Helvetia. Jumlah mereka lebih dari 50 orang berikut 2 (dua) mobil patroli Suzuki Katana, mobil pribadi dan beberapa sepeda motor diduga milik oknum polisi yang diparkirkan di jalan Mojopahit Medan dekat Hotel Casablanca, juga di lokasi parkir hotel tersebut, Jl. Hayam Wuruk simpang Majapahit Medan.
Karena pengepungan itu, saya mengadu ke Poldasu yang diterima oleh Waka Poldasu Brigjen Drs. Rubbani Pranoto Pada 14 Desember 2005. Saya sebagai pelapor berikut saksi TKP Vivi Kananda Siregar dan Ijik diperiksa di Propam Poldasu. Pengaduan saya tersebut hingga akhir Februari 2008 tak jelas rimbanya.
Informasi yang saya dapatkan, pengepungan lokasi BT/BS BIMA tersebut dipimpin langsung oleh Saudara Mahfud yang pada waktu itu adalah Kapolres Asahan dan Saudara Sandy Nugroho yang pada waktu itu adalah Kasat Reskrim Asahan. Indikasi ini terlihat, keduanya – ketika itu – lebih banyak waktunya berada di Medan dibanding di Asahan.

Teror Terus Berlanjut
Setelah itu, teror terus berlanjut terhadap saya. Seorang warga keturunan bernama Aleng mengancam agar saya menghentikan kegiatan advokasi lingkungan khususnya melakukan serangan terhadap seseorang bernama Asiang Tebing Tinggi. Jika tidak, saya akan di-snipper (ditembak oleh penembak jitu). Menurut rumor, Asiang merupakan sosok pencuri kayu yang dapat mengatur jabatan polisi di Poldasu.
Berbagai kejadian yang ganjil menimpa diri saya, baik secara langsung maupun tidak al sbb : Dalam berbagai kesempatan, saya mendapat penjejakan (diikuti) oleh orang-orang yang tidak dikenal, namun diduga berasal dari aparat. Anehnya penjejakan yang dilakukan seringkali tidak secara sembunyi-sembunyi melainkan terang-terangan menggunakan beberapa kenderaan yang sangat menyolok sehingga menimbulkan ketidaknyamanan.
Pada sekitar Mei 2007 di sekitar Jl. Sei Serayu depan masjid, mobil saya ditabrak seseorang bernama Anung Arianto (Mengaku supir Pribadi dokter Sulistiyo yang bertugas di RS Brimobdasu) padahal mobil yang saya kendarai sudah berhenti di pinggir jalan karena sedang menerima telepon seluler dari rekan. (Dalam kesempatan tersebut KTP penabrak ditahan dan di KTP tertulis alamat Palembang). Belakangan diketahui, Anung Arianto adalah Kapolres Tapsel.
Seorang staf BT/BS BIMA bernama Reza ditabrak sepeda motornya di seputar Jalan Hayam Wuruk dekat lokasi BIMA sekitar bulan Juni 2007, namun dengan waktu sangat singkat muncul beberapa aparat Polisi mengaku anggota Intel dari Polsek Medan Baru, terucap dialog: jangan sampai bos tahu. Akibatnya Staf tersebut ketakutan padahal situasinya dia adalah korban penabrakan. Selanjutnya Reza dibawa berobat
Pada Juni 2007 PLN Wilayah Sumatera Utara melakukan pemeriksaan terhadap meteran listrik gedung BT/BS BIMA di Gelugur dan secara sepihak menyatakan BT/BS BIMA melakukan pencurian arus listrik dan karenanya dituntut membayar dana Rp 19 juta atas kesalahan yang tidak dilakukan. Petugas juga mengakui kemungkinan kejadian dilakukan penyewa gedung terdahulu. Sementara, keterangan yang diperoleh Hidayat Banjar dari Syafii Taher Humas PLN, biasanya mekanisme OPAL, PLN yang meminta bantuan kepolisian, tapi kali ini justru polisi yang berinisiatif melakukan OPAL. Ada apa?
Pada Mei 2007, Tim Advokasi saya tugaskan ke Langkat bekerjasama dengan WALHI Sumut melakukan penelitian ke lapangan terkait pencurian kayu di Sei Lepan, Langkat. Di jalan, tim terus diikuti oknum aparat. Sampai di tempat yang dijanjikan, penunjuk jalan berulah karena di lokasi terlihat banyak oknum berambut cepak. Akibatnya tim gagal melakukan peliputan.
Selanjutnya saya merasakan adanya gangguan pada pesawat HP Nokia Type Communicator 9500 milik saya. Tiap kali akan melakukan SMS (Short Message Service) selalu muncul nomor yang tidak dikenal dengan nomor 0811..... Ketika ditanyakan kepada Telkomsel, petugas terlihat menutup-nutupi identitas pemilik nomor. Jawaban masing-masing petugas berbeda al: Pemilik adalah karyawan Telkomsel, Pemilik terdaftar sebagai karyawan PT Tolan Tiga, kesalahan adalah pada pengaturan di HP dll.
ksayaak Jleh Png menimpa dirinyaan oknum petugas kepada saya.Beberapa waktu kemudian ketika saya menuju Perumahan Padang Hijau Jl. Medan-Binjai, diikuti oleh 2 kenderaan roda 4 jenis Innova. Pada saat itu saya ingin membeli rumah atau Ruko untuk kantor BIMA. Belakangan diketahui penguntit juga menjumpai pemilik bangunan dan terkesan menyelidiki. Hal ini terlihat ganjil dan secara terang-terangan ingin tahu kegiatan saya.
Puncak teror terjadi pada Desember 2006, ditemukannya di brosur bimbingan logo Poldasu. Baginda, staf saya mulai diperika Februari 2007, sedangkan saya pada Maret 2007, dalam kasus pemakaian logo tanpa izin.
Sejak April 2007 Baginda berulang kali melaporkan kepada saya bahwa polisi akan menyerahkannya ke Kejatisu. Tetapi setelah sampai di Kejatisu – Baginda yang ditemani Hidayat Banjar – tak diterima. Terjadi perdebatan yang sengit antara oknum Poldasu dan Kejatisu. Ada enam kali berkas Baginda pulang pergi dari Poldasu ke Kejatisu dan kembali ke Poldasu.
Pertanyaanya, tidakkah kondisi ini dalam rangka menakut-nakuti, agar saya menyerah dan tak lagi bersuara tentang lingkungan? Sebab, ketika hari pertama saya ditahan, oknum Poldasu menawarkan kepada saya iming-iming dengan syarat, saya tidak lagi mengurusi hutan.
Biasanya setelah berkas P21, Kejatisu yang meminta Poldasu agar menyerahkan berkas berikut tersangka ke Kejatisu. Lalu, kenapa setelah Poldasu menyerahkan Baginda dan berkasnya, sampai enam kali ditolak?
Saya sendiri – setelah tiga kali pemeriksaan – akhirnya pada Rabu (29 Agustus 2007) ditahan di Reskrim Poldasu. Padahal, saya sama sekali tidak mengetahui pemuatan lambang (logo) Poldasu di brosur Bima tersebut. Sebenarnya brosur tersebut tidak dicetak di percetakan CV Valentino, milik BT/BS BIMA. Hal ini sesuai dengan hasil pemeriksaan saksi pada Senin, 3 Maret 2008 siang di Poldasu. Ketika itu Mahadi mengatakan – sesuai keterangan Hidayat Banjar yang menemani Mahadi dalam pemeriksaan – mesin plat sedang rusak sehingga brosur yang dimasalahkan itu, tidak dicetak di percetakan CV Valentino.
”Lalu kenapa tempo hari Anda mengatakan, pencetakan tersebut atas perintah Baginda,” tanya Indah Handayani, Juru Periksa Poldasu.
”Saat surat panggilan datang ke saya untuk diperiksa di Poldasu, Baginda datang ke percetakan. Saya bilang: gara-gara Bapak (maksudnya Baginda), saya harus jadi saksi. Baginda ketika itu mengatakan: sudah, bilang saja aku yang nyuruh,” beber Mahadi.
Nah, bukankah ini benar-benar sebuah skenario yang tersistematis untuk melemahkan perjuangan penyelamatan hutan. Sebab, Baginda Aritonang, pelaku utama, sama sekali tidak ditahan di Poldasu.
Saya dijerat pasal 378 dan 228 serta harus masuk sel selama 48 hari. Karena Badan Perguruan Nasrani Medan (BPNM) yang saya pimpin akan pecah, maka saya berkenan meminta penangguhan penahanan. Kalau tidak, saya merasa lebih baik berada di tahanan daripada terus-menerus diteror. Tapi hingga kini (pertengahan Maret 2008) kasus saya ini tidak jelas juntrungannya. Kalau memang saya tidak bersalah, mestinya dikeluarkan SP3 (Surat Penghentian Penyidikan Perkara). Kalau memang bersalah, kenapa berkas saya tak juga disidangkan? Ada apa? ***
Tertanda

Dr Robert Valentino Tariga SPd
http.//www.jungle-robertvalentino.net

Tidak ada komentar: