Kronologi Penangkapan Perambah Hutan di Kutakendit
Kabupaten Tanah Karo terdiri dari 13 Kecamatan dengan luas 212.725 hektar. 30 persen lebih dari luas itu adalah kawasan hutan. Namun kini kondisi hutannya sudah porakporanda. Salah satu wilayah perambahan hutan tersebut adalah Kutakendit Kecamatan Mardinding yang merupakan KEL (Kawasan Ekosistem Leuser).
Kerusakan hutan di Kuta Kendit berawal dari program Pemkab Karo yang membuka hutan sebagai areal transmigrasi untuk suku terasing. Padahal, kita tahu tidak ada suku terasing di Kabupaten Karo. Rupanya, ‘suku terasing’ itu adalah orang-orang yang melarikan diri dari Riau karena mencuri kayu, takut rerjerat hukum. Dengan alasan pembukaan hutan itulah, hutan Kuta Kendit dirambah. Kini, sekitar 120 KK menghuni hutan Kuta Kendit tersebut.
Karena hutan-hutan yang telah dibuka, tidak habis dikerjakan oleh penduduk tersebut, maka diberikan pula izin kepada PT Praja yang berkantor di Kantor Bupati Karo. Dengan demikian jelaslah Pemkab Karo terlibat merambah hutan lindung tanpa izin Menteri Kehutanan, terlibat masalah pencurian kayu, ini karena PT Praja berkantor di Kantor Bupati Karo.
Segenap warga daerah ini menuntut para pelaku kerusakan itu segera ditangkap dan diseret ke meja hijau.
Advokasi pun dilakukan oleh masyarakat yang didampingi oleh dr Robert Valentino Tarigan SPd. Semula gerakan memang hanya seputar Tanah Karo. Perlahan, tapi pasti, gerakan menyebar sedemikian rupa. CD-CD pun beredar ke berbagai tempat, bahkan ke luar negeri. Begitu juga dengan berita-berita di media massa, terus mengangkat masalah ini ke permukaan.
Rabu 17 September 2003, dr Robert Valentino mengadu ke Poldasu ikhwal perambahan hutan di Tanah Karo dengan bukti CD, kliping koran, dan lain sebagainya. Tetapi ketika itu petugas mengatakan, bukti yang otentik harus ada seperti mesin potong (sinso), pelakunya, kayu, dan lainnya, barulah bisa diproses secara hukum.
Dengan sedikit berang, Valentino mengemukakan, hendaknya polisi ikut sama-sama ke lapangan agar dapat melihat secara pasti. Karena peristiwa di Kacinambun, yang orangnya jelas terekam dalam CD – wajah maupun mananya – namun setelah diadukan ke Polres Tanah Karo, kasusnya tak tentu rimbanya. Valentino ketika itu mengadu pukul 14.30, tetapi polisi baru mau turun bersamanya saat malam menjelang. Bahkan ketika itu, polisi semacam menakuti-nakuti tim Valentino, bahwa di hutan itu banyak ularnya serta jurangnya dalam-dalam.
Karena tim Valentino bersikukuh, akhirnya polisi Tanah Karo – ketika itu – mungkin setengah terpaksa, turun juga ke lokasi. Meski di gelap malam, hanya diterangi sentir, terlihat juga kayu-kayu besar tergeletak di jalan. Cuma, pelakunya (tukang sinso) tak lagi ditemukan.
Berdasarkan peritiwa di Kacinambun itu, Valentino minta kepada Poldasu agar berkenan sama-sama turun ke Kutakendit yang direncanakan pada 18 September 2003. Pihak Poldasu ketika itu mengatakan, agar tak sia-sia, begitu tim turun dan melihat ada penebangan, segera menghubungi mereka. Akhirnya Valentino dengan timnya turun ke Kutakendit tanpa petugas kepolisian.
Ketika mendekati hutan Kutakendit, terdengar suara Sinso. Benar adanya, Kawasan Ekosistem Leuser tersebut telah porak-poranda. Lalu, tim pun sebagian mencari warung Telkom – HP tidak punya sinyal di sana – melaporkan penemuan itu kepada pihak Poldasu.
Karena diperhitungkan tidak memungikinkan turun pada saat itu juga, Kompol M Butarbutar berjanji malamnya tim dari Poldasu akan sampai di Berastagi. Maka, sebagian tim Valentino pun bersepakat tinggal di Berastagi, guna menanti datangnya petugas Poldasu.
Malam itu – setelah petugas Poldasu datang – tim pun mengatur rencana penyergapan penebangan kayu secara liar di hutan KEL tersebut. Sekitar pukul 10.30, Kompol M Butarbutar sampai di Berastagi. Selanjutnya disepakati, langsung menuju Kutakendit.
Singkatnya, begitu tim tiba di lokasi, terdengar suara sinso menderu-deru. M Butarbutar dan pasukannya pun mengeluarkan pistol. Rupanya, agak ke lembah sedikit, para penebang kayu sedang beraksi menumbangkan kayu yang berdiamter kurang lebih 1,5 meter.
“Jangan bergerak, matikan mesin, dan angkat tangan,” sergah Butarbutar yang diikuti oleh pasukannya. Mesin sinso masih menyala, karenanya Butarbutar menembakkan pistolnya ke udara. Spontan mesin mati, dan para pekerja melepaskan benda-benda tajam dari dan kemudian mengangkat tangan ke atas. Pasukan pun bertindak cepat menggiring perambah naik ke atas, selanjutnya dibawa ke Polsek Tiga Binanga dengan kendaraan Jeep yang sudah dimodifikasi sedemikian rupa sehingga cocok untuk kendaraan ke hutan.
Ya, di Jumat (19/9) itu, Kompol M Butarbutar, Aipda Ramlan Barus, Aipda Dahlan Ginting, Briptu Chairuddin Barus bersama masyarakat yang peduli hutan termasuk tim dr Robert Valentino, berhasil menyikat lima pekerja (tukang sinso) yang sedang merambah hutan. Mereka yang tertangkap antara lain Alex Ginting, Herman, Dami Ginting, Mesin Ginting, Kliwon dan seorang mandor bernama Robert Sembiring. Para perambah ini mengolah kayu menjadi broti dan papan di lokasi hutan.
Keenam perambah hutan tersebut diboyong beserta dua unit mesin potong (sinso) sebagai barang bukti. Tiga orang dari mereka di boyong ke Poldasu beserta satu unit sinso dan tiga orang lagi dititip di Polsek Tiga Binanga, Tanah Karo.
“Dengan luasnya lokasi yang berhasil dirambah itu, berarti kegiatan ini telah berlangsung lama,” tutur Kompol M Butarbutar. Kata Butarbutar, karena penebangan kayu itu ternyata dalam kawasan hutan lindung, maka tak ada alasan, mereka harus ditahan. “Kita tidak peduli siapa yang menyuruh, yang jelas pekerjaan itu telah melanggar peraturan,” tandasnya lagi.
Kompol M Butarbutar menambahkan, pada awal rombongan memasuki lokasi, ia merasa bangga dengan adanya pembangunan jalan yang begitu besar ke desa terpencil di Tanah Karo ini. “Alangkah sejahteranya masyarakat bila pembangunan sampai ke desa-desa. Namun, setelah sampai di lokasi, hutan lindung telah porak-poranda, khayalan saya berubah,” ungkapnya.
Ketika dimintai keterangan, salah seorang pekerja menyatakan dia telah lama bekerja di sana dan mengolah kayu balok menjadi papan dan broti, semua itu untuk bahan bangunan. “Sudah pasti ada dalang intelektuannya. Jadi kita bukan hanya ingin menangkap tukang sinso saja tetapi ingin membuka tabir ini sampai ke akar-akarnya. Kita tidak akan melihat latar belakang pelakunya, yang jelas siapa saja yang melanggar hukum harus kita proses sesuai dengan hukum yang berlaku,” kata Kompol M Butarbutar lagi.
Namun sejauh mana proses penyelidikan dan penyidikan, tidak diketahui. Yang pasati, hingga menjelang akhir 2004, tak seorang pun dari “dalang intelektual” yang dimaksudkan diproses secara hukum. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar