Dituntut Pasal yang Sama dengan Sudarto
Valentino: Hukum Jangan Jadi Bamper para Maling Kayu
Valentino: Hukum Jangan Jadi Bamper para Maling Kayu
Medan ( ) – “Hukum jangan sampai jadi bamper para maling kayu, kalau kita ingin melestarikan hutan atau alam. Sebab, mereka nyaris memiliki segalanya: uang, jaringan dan kekuasaan. Justru itu supremasi hukum harus ditegakkan, bukan malah melindungi para maling,” tandas dr Robert Valentino Tarigan SPd kepada wartawan kemarin di Medan, menanggapi persidangan pendongan dirinya versus Sudarto yang digelar PN Kabanjahe Selasa (9/3).
Ketika itu, ratusan masyarakat, mayoritas ibu-ibu menghadiri sidang kedelapan yang dimulai pukul 13.00 hingga 16.00 Wib. Persidangan dipimpin Ketua Majelis Hakim, Maringan Sitompul SH untuk mendengarkan tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU).
Sidang dimulai dengan Valentino sebagai terdakwa, JPU yang membacakan tuntutan, Heppi SH. Sedangkan saat Sudarto sebagai terdakwa, JPU-nya Syarifuddin SH. Kedua JPU sama menuntut kedua terdakwa dua bulan penjara dengan masa percobaan empat bulan. Ketika JPU menyatakan Sudarto melanggar Pasal 335, yang sama dengan tuntutan terhadap Valentino, hadirin berteriak riuh.
Menanggapi tuntutan itu – baik penasihat hukum Valentino maupun Sudarto – sama mengatakan, akan membuat Peledoi/Nota Pembelaan.
Usai sidang, ibu-ibu memburu Sudarto, yang karenanya, lari tunggang langgang. Begitu Sudarto ingin menuju ke mobilnya (Kijang Kapsul) – yang bernomor polisi BK 666 XO – diparkir di pekarangan Kantor Kejaksaan Negeri Kabanjahe, pengunjung sidang memburu ke arah itu. Sudarto pun tak jadi menaiki mobil tersebut. Beberapa orang – mungkin pengawalnya – melindungi Sudarto dan menggiringnya agar masuk kembali ke salah satu ruangan PN Kabajahe.
Merasa kecewa tak dapat “berbincang” dengan Sudarto, ibu-ibu pun bernyanyi sembari berteriak-teriak dan mengelilingi mobil BK 666 XO tersebut. “Lit lenna perjuma deleng, lit senna rabina deleng, anak imbo… anak imbo sikena ranjo,” demikian nyanyian itu dilantunkan berulang-ulang, yang artinya: berbeda penguasa gunung, adapun uangnya, dibabatnya hutan, anak siamang… anak siamang yang kena jerat.
Kepada wartawan, Valentino Tarigan mengungkapan, pengadilan adalah tempat terakhir untuk mencari kebenaran. “Di sinilah kita harusnya mendapatkan keadilan, tapi kalau sudah ditempuh, namun tidak berhasil, malahan teraniaya pula, maka kita serahkan saja kepada Tuhan Yang Kuasa,” tuturnya pasrah.
Disebutkannya, jika hukum dijadikan bamper oleh para maling kayu, akan habislah hutan kita. “Hutan Karo yang sudah kritis, bila dibiarkan, dalam waktu lima tahun saja, akan habis alias gundul,” tandasnya.
Selain itu, katanya, apakah kita mau Tanah Karo atau Sumut serupa dengan Jambi, Riau, Lampung dan lainya yang maling-maling kayu berhenti karena tidak ada lagi yang mau ditebang. “Masyarakat di sana, karena dimiskinkan secara sistematis, terpaksa menjual lahannya dengan harga murah untuk biaya hidup,” paparnya
Karena itu, Valentino mengajak kita untuk bercermin pada Kerawang, Jawa Barat, yang dulu terkenal dengan lumbung padi namun sekarang, kondisinya sangat memperihatinkan. “Saya mengimbau kepada penegak hukum jangan sekali-kali melindungi para maling kayu tersebut. Daripada maling-maling itu diberikan hukuman bebas, sehingga hutan kita habis dibabatnya, saya memilih untuk dihukum,” tandasnya.
Valentino yang Pimpinan BT/BS Bima ini menambahkan, dalam persidangan, seharusnya ada yang salah, atau dihukum. “Kalau sama-sama bebas, untuk apa kita berpayah-payah mencari keadilan?” tanyanya.
Katanya lagi, apakah belum cukup bencana yang telah kita terima seperti persitiwa Sunggal 2002, Bohorok akhir 2003, Langkat, Binjai, Tebingtinggi, Deliserdang dan lainya yang kerap menerima banjir bandang. Begitu pula Dairi Tobasa sekitarnya dan beberapa daerah lainnya, kerap pula dilanda longsor. “Apakah kita harus mengalami bencana yang lebih dahsyat lagi, baru berhenti merambah hutan,” tekannya.
Sebelum JPU membacakan tuntutan, Tim Penasehat Hukum dr Robert Valentino Tarigan SPd, yang diketuai oleh Kaliasa Sitinjak SH dengan anggota Nur Alamsyah SH, Afrizon Alwi SH dan Alfahmi Khairi Manurung SH, minta kepada Majelis Hakim agar diberi waktu memutar CD (Compack Disct) persidangan sebelumnya. Sebab, ada ungkapan Valentino – mengutip ucapan Ir Juki Tarigan yang memposisikan Sudarto sebagai bosnya – “Itulah Bosku, kau hadapilah” – tidak dicatat oleh Majelis.
“Saya ingat betul peristiwa itu, sebab merupakan pengalaman sendiri. Karenanya, jangan sampai pengadilan ini hanya mencatat sesuai dengan kebutuhan maling kayu,” sahut Valentino yang juga Calon Dewan Perwakilan Daerah (DPD) utusan Sumut dengan Nomor Pemilihan 36.
Ketua Majelis Hakim mengatakan, saran diterima, tetapi itu hanya boleh diajukan dalam Pledoi/Nota Pembelaan, yang kedua terdakwa akan membacakannya pada persidangan berikutnya.
Diungkapkan, peristiwa penodongan Valentino itu terjadi pada 15 Juli 2003 di teras Kantor Bupati Karo. Kemudian, Valentino mengadu ke Poldasu, yang selanjutnya melimpahkan perkara ini ke Polres Tanah Karo. Dalam dakwaan jaksa, Sudarto dikenai pasal 335.
Berita-berita seputar penodongan ini kemudian meramaikan media-media massa. Merasa nama baiknya dicemarkan, Sudarto pun balik mengadu. Atas pengaduan Sudarto itulah, Valentino didakwa melanggar Pasal 335, 310 dan 311. Dan, dalam tuntutan JPU, Valentino dikatakan hanya terbukti melanggar Pasal 335 saja.
( )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar