Keganasan Sungai Bahorok Haruskah Terulang di Sungai Deli
Oleh: dr Robert Valentino Tarigan SPd*
Oleh: dr Robert Valentino Tarigan SPd*
Sungai Deli yang hulunya di Delitua mengalir hingga ke Belawan. Di Kelurahan Namu Rambe ada situs Putri Hijau dengan bekas benteng pertahanannya, bekas istana dan sumur tempat Putri Hijau mandi, kini merupakan pancuran yang airnya terus mengalir. Tapi situs bersejarah itu belum dimanfaatkan sebagai paket wisata, sehingga tak perlu merusak alam hanya untuk mengejar keuntungan materi.
Masyarakat peduli kelestarian lingkungan, dan orang-orang yang punya hubungan emosional serta historis dengan sungai penuh sejarah ini, harusnya kecewa melihat pembangunan yang tak bersahabat dengan alam sehingga merusak keberadaan Sungai Deli. Bahkan, dalam dua dasawarsa ini – jika di hulu musim penghujan – penduduk yang ada di pinggiran sungai bagian hilir, merasa Sungai Deli jadi ancaman menakutkan.
Sekitar 30-40 tahun lalu – orang-orang yang bermukim di sekitar 500 meter kurang lebih dari bibir sungai pastilah berakrab-ria dengan Sungai Deli. Suasana pemukiman yang sangat kental dengan aroma desa begitu kondusif bagi kehidupan masyarakat di sekitar sungai, terutama warga kelas menengah bawah.
Mengapa tidak, masih dengan jelas terpatri di ingatan – dulu – di samping atau belakang rumah kita bertaburan makanan pemberi gizi seperti jamur yang tumbuh di batang-batang pohon tumbang, kemumu, keladi dan umbi-umbian lainnya. Pisang-pisang dan buah-buahan pun berserak begitu rupa. Kita tinggal menggerakkan kaki dan tangan untuk mengutip gizi-gizi tersebut. Sehingga tak perlu biaya tinggi hanya untuk pemenuhan kebutuhan pangan. “Tongkat kayu dan batu jadi tanaman”, sebagaimana dilantunkan Koes Plus dalam lagunya, kini telah tenggelam ke dalam rawa-rawa sejarah.
Di Sungai Deli – dulu – ada: udang-udang kecil, siput (sea food), remis, dari ikan timah, cencen, lemeduk, baung, sepat, sampai ikan-ikan besar lainnya tersaji buat kita.
Remis dan siput, berserak di pasir-pasir sungai, tinggal menjulurkan tangan dan membawa wadah, maka semuanya dapat menjadi tambahan gizi. Tapi kini, sungai-sungai kita di kota, seperti Sungai Deli (dulu kebanggan warga), yang ada tinggal ikan sapu kaca dengan daging nyaris tak ada dan tulang yang begitu keras. Aduh!
Sejak Abad 16
Disebut Sungai Deli karena sungai ini melintas Tanah Deli. Nama itu telah ada dan disebut-sebut sejak abad ke-16. Tentunya nama Deli juga ada asal usulnya. Menyebut Sungai Deli berarti kita harus menyinggung mengenai asal usul nama Deli lebih dulu.
Syekh Nurudin Ar Raniri dalam tahun 1637 M, pernah mengarang kitab “Bustanussalatin” mengenai kehidupan Sultan Iskandar Thani dari Aceh. Dalam kitab itu disebut nama negeri Gori (Guri, Gurai) yang tadinya bernama Haru.
Menurut Tuanku Luckman Sinar SH, Goru, Guri adalah nama baru untuk Haru dan nama lama untuk Deli. Wilayah Guri adalah bagian dari Haru yang terletak antara Sungai Batang Serangan dengan Sungai Deli (Hamparan Perak sekarang).
Decrobidor Emmanuel Godihi De Eredia menyebutkan dalam tahun 1613, di samping ada Achchan (Asahan) juga disebut nama Gory untuk wilayah Deli. Salah seorang nenek moyang Sultan Langkat disebut Marhoin Guri yang makamnya terdapat di sekitar Hamparan Perak. Akhir abad ke-16, Haru dan Guri telah lenyap dan di masa itulah lahir nama Deli.
Mengenai nama Sungai Deli, dalam peta Willem Ijsbrandtsz Bontekoe pada 10 April 1622 memberi nama “Rio De Delim” untuk nama sungai Deli, yang di masa itu juga disebut Sungai Petani. Dengan demikian jelaslah orang menyebut Sungai Deli dicantumkan dalam petanya, hal ini sesuai dengan apa yang ditulis oleh seorang penulis Portugis bernama Polpone.
Muhammad TWH di Harian Waspada 11 Januari 2006 halaman 23 menulis: Kalau kita pandang agak lama wajah Sungai Deli melalui foto yang dibuat Klingrthe pada tahun 1800-an, dapatlah kita ketahui bahwa alur Sungai Deli begitu lebar, apalagi tahun 1500-an tentu lebih lebar lagi.
Disebutkan, Sungai Deli telah mengukir sejarah yang panjang. Kisah seorang Sultan Muda dari Aceh Ali Mughayat Syah yang jatuh cinta kepada Putri Hijau, tetapi ditolak, menyebabkan terjadinya peperangan merebut Kerajaan Haru untuk memiliki sang putri, namun gagal lagi karena kapal yang membawa Putri Hijau diserang badai ombak, dan Putri Hijau lenyap ditelan keganasan laut alas Jambu Aye.
Sejarah Sungai Deli memang cukup panjang. Melalui alur Sungai Deli, pasukan Sultan Mughayat Syah menyerang Kerajaan Haru (1522). Kerajaan Haru yang telah dikuasai oleh Aceh diserang oleh Portugis juga melalui alur Sungai Deli (1523).
Kerajaan Aceh kemudian menguber Portugis di Kerajaan Haru (1524). Kerajaan Haru atau Aru merupakan kerajaan terbesar di masa itu, maka tidak heran, kalau kerajaan itu terus-menerus diperebutkan. Armada yang bergerak semuanya melalui Sungai Deli, dan pertempuran-pertempuran sengit yang silih berganti terjadi di dataran rendah di pertemuan Sungai Deli dan Sungai Babura, yang kemudian dikenal dengan Kampung Medan.
Sungai Deli merupakan saksi sejarah dari masa ke masa. Bukan hanya pasukan dari Aceh yang menggunakan alur Sungai Deli, tetapi juga pasukan Johor. Bahkan Sultan Johor memasuki dan berlayar melalui Sugai Deli untuk membantu Kerajaan Haru. Tetapi pada abad ke-16 Sungai Deli sepi dari pelayaran armada silih berganti, karena pada tahun 1612 Kerajaan Haru ditaklukkan seorang Panglima yang sangat perkasa dikenal bernama Gotjah Pahlawan yang telah diangkat menjadi Wakil Sultan Aceh untuk Kerajaan Haru dari batas Tamiang hingga Sungai Rokan Pasir Ayam Denak.
Gotjah Pahlawan merupakan cikal bakal Sultan Deli dan Serdang, kawin dengan adik Raja Sunggal Datuk Itam Surbakti, bernama Putri Nan Daluan Beru Surbakti (1632). Dengan perkawinan ini wilayah pesisir diserahkan kepada Gotjah Pahlawan.
Sungai Deli dan Sungai Babura yang melintasi Kota Medan merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa, tetapi kini kondisinya tentu sangat jauh beda dibandingkan dengan masa lalu. Dahulu kapal ukuran besar dapat leluasa berlayar karena tidak ada jembatan yang menghalanginya. Masa sekarang alurnya bertambah kecil, banyak jembatan di atasnya dan tempat-tempat yang telah menjadi dangkal. Jika banjir, kedua sungai ini kelihatan ganas.
Keganasan
Orang boleh saja menyebut ‘banjir’ merupakan keganasan Sungai Deli. Tapi, di balik keganasan itu, tidakkah ini berawal dari ‘keganasan’ manusia memperlakukan alam. Sungai-sungai yang alurnya sudah dibentuk oleh Tuhan sedemikian rupa, dirombak sesuka hati. Alur yang diciptakan Tuhan berbelok-belok, diluruskan, guna kepentingan orang-orang tertentu. Kayu-kayu sebagai penyangga alam pun dibabat. Akibatnya, alam pun – dalam hal ini Sungai Deli – memperlihatkan pula keperkasaannya dengan mengirim banjir.
Ribuan rumah di bantaran Sungai Deli kembali dilanda banjir. Sebanyak 1.559 rumah di enam kelurahan Kecamatan Medan Medan Maimoon terendam hingga dua meter, Minggu (14/5). Demikian berita Harian ANALISA Senin 15 Mei 2006 halaman 1.
Diberitakan, informasi Camat Medan Maimoon Drs H Azwanto tadi malam ketika mencek warganya mengungkapkan, air sungai mulai naik pada pukul 24.00 – 1.00 WIB dini hari, tetapi, air mulai deras sekira pukul 05.00 WIB sehingga menenggelamkan ribuan rumah warga.
“Meluapnya Sungai Deli karena curah hujan yang tinggi di daerah pegunungan seperti di Sibolangit dan Berastagi sehingga Sungai Deli meluap, dan airnya pun lebih tinggi daripada banjir sebelumnya,” ujar Azwanto.
Sayangnya, pemuka masyarat tetap menyalahkan rakyat yang bermukim di bantaran sungai, tanpa memberi solusi: Ditambahkan Azwanto, banjir ini menjadi langganan bagi masyarakat tertutama mereka yang tinggal di pinggiran sungai. “Bagaimana tidak kena banjir, pondasi rumah mereka saja di bibir sungai,” tutur Azwanto.
Penimbunan
Di samping habisnya kayu-kayu yang ada di hulu maupun di pinggiran sungai, juga karena alur yang ada ditimbun untuk kepentingan proyek. Seperti yang diberitakan Harian Waspada Senin 26 Juni 2006 halaman 4: Dua proyek penimbunan tanah hingga mengena daerah aliran sungai (DAS) Deli dan Batuan di Jln Brigjen Katamso, Kelurahan Kampung Baru dan Sei Mati, Kecamatan Medan Maimoon, tidak memiliki izin.
Selain tidak ada izin penimbunan dari Bappeda dan PU Medan, juga tidak ada izin lokasi dan IMB dari Dinas Tata Kota dan Tata Bangunan (TKTB).
Hal itu disampaikan Ir H Wiriya Alrahman MSi selaku pimpinan tim yang diperintahkan Sekda Medan Drs H Afifuddin Lubis MSi turun ke lokasi meninjau proyek tersebut, Rabu (12/6). Sebelumnya, instruksi melakukan peninjauan ke lokasi itu langsung dari Walikota Medan Drs H Abdillah Ak MBA kepada Sekda menanggapi kondisi warga yang memprihatinkan di Kelurahan Sei Mati akibat pemukiman mereka selalu terendam air setinggi dua meter dari luapan Sungai Deli ketika hujan terjadi di hulu. Warga terpaksa mengungsi. Begitu juga murid SDN di Gg Merdeka terpaksa diliburkan karena sekolah mereka juga terendam air.
Nah, fakta di lapangan meperlihatkan karena kegarangan manusilah awalnya yang menyebabkan Sungai Deli memperlihatkan kegarangannya pula, lewat banjir. Lalu, apa langkah ke depan untuk memperbaikinya? Bagaimana nasib orang-orang kelas menengah bawah yang berumah di bantaran sungai, apakah harus digusur? Jika mereka digusur, bagaimana pula dengan pemukiman mewah dan pertokoan yang ada di jalur Sei Deli seperti di Jalan Multatuli, dan perumahan yang ada di seberang Kantor DPRD Medan dan Sumut, serta lainnya? Akankah rumah-rumah mewah serta pertokoan yang berada di jalur hijau sungai itu juga digusur?
Bagi rakyat, mereka bermukim di bantaran sungai karena terpaksa. Artinya, mereka tak punya tempat tinggal lainnya, hanya di bantaran sungai itulah satu-satunya.
Pertanyaan berikutnya, apakah tak cukup bagi kita peristiwa-peritiwa bencana banjir yang telah ada untuk dijadikan pelajaran agar tak merusak lingkungan serta merombak alur sungai yang memang telah dibuat sedemikian rupa oleh Yang Kuasa?
Sungai Bahorok sebagai Contoh
Telah banyak kisah pilu di republik ini berawal dari perusakan lingkungan. Yang paling segar adalah kisah banjir di Gorontalo pada Juni 2006 lalu. Kisah yang begitu mengenaskan – khususnya buat orang-orang Sumut – terjadi pada Minggu 2 November 2003 malam. Ketika itu, bulu kuduk siapa yang tak meremang menyaksikan 152 mayat bergelimpangan dan 100 orang hilang, 400 rumah, penginapan serta cottage dan lainnya porak-poranda. Ini adalah bencana nasional akibat ulah manusia yang serakah.
Di Senin (3 November 2003) siangnya, saya dan rombongan – di samping memberi bantuan ala kadarnya – juga ingin membuktikan bahwa benar banjir bandang ini adalah akibat perambahan hutan di Gunung Leuser. Diduga keras, banjir ini berasal dari Tanah Karo, Aceh Tenggara dan Langkat.
Di samping perambahan hutan, alur sungai Bahorok pun diutak-atik: ditimbun, dibendung dan diluruskan arahnya sesuai kepentingan bisnis orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Inilah antara lain penyebab terjadinya air bah. Dengan pelurusan itu, air yang tumpah dari hulu arusnya semakin deras dan cepat. Ternyata, ketika banjir datang, alur sungai yang diutak-atik: ditimbun, dibendung, dan diluruskan arahnya tersebut, berubah kembali seperti semula.
Penyumbatan alur sungai dengan pembuatan tanggul untuk merendam kayu hasil curian, juga bagian yang memperparah keadaan. Ternyata, ketika banjir datang, tanggul jebol, dan kayu-kayu yang direndam di dalam “danau buatan” itu ikut bersama arus deras. Kayu-kayu log yang sebatangnya mencapai ratusan bahkan ribuan kilo tersebut menghantam apa dan siapa saja. Banyak korban yang tak dapat menyelamatkan diri, begitu pula rumah-rumah hancur bukan hanya karena derasnya arus, pun hantaman kayu-kayu balok.
Hal ini sesuai dengan kesaksian Ir Jaya Arjuna MSc dalam gugatan legal standing Walhi (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) kepada lima pihak, yakni Presiden Indonesia, Gubernur Sumatera Utara, Bupati Langkat, Kepala Balai Taman Nasional Gunung Leuser, serta Yayasan Leuser Indonesia dan Unit Menajemen Leuser (KOMPAS, Sabtu 3 Juni 2006 halaman 26). Sebagai saksi ahli yang diajukan Walhi, Jaya Arjuna menyatakan, sebelum banjir, terjadi penyumbatan saluran air di hulu Sungai Bahorok yang mengakibatkan adanya danau atau bendungan alam, yang mana bendungan ini bisa jebol kapan saja.
Menyadari bahaya yang akan ditimbulkan oleh Sungai Deli akibat penimbunan dan pelurusan arus, LBH Peduli Bangsa diap fasilitasi gugatan “class action” warga pinggiran sungai tersebut (SIB Selasa, 4 Juli 2006 hal 2).
Zaniafoh Saragih SH MHum, menyatakan siap untuk memfasilitasi “class action” warga pinggiran Sungai Deli terhadap kehadiran bangunan-bangunan baru tersebut. (alenia 2)
Dari kenyataan itu, harusnya kita sadar dan mau belajar serta mengubah paradigma dari mengeksploitasi dengan merawat alam untuk memperoleh uang. Ternyata, sungai yang sudah dibentuk oleh Tuhan alurnya sedemikian rupa, tidak boleh sembarangan diutak-atik. Sungai-sungai di negara luar seperti Sungai Nil di Mesir bahkan dirawat dan dimanfaatkan dalam paket wisata dengan tidak merusak alur yang telah ada.
Kalau alasannya, Sungai Deli dan lainnya yang ada di Medan – dewasa ini – alurnya agak sempit, lebih sempit lagi alur-alur sungai yang berada di luar kota Bangkok. Tetapi sungai-sungai di Bangkok dirawat dengan baik dan digunakan untuk lalu lintas air yang dimanfaatkan masyarakat maupun wisatawan. Mereka menggunakan perahu-perahu ukuran kecil bermesin tempel yang memuat lima atau lebih penumpang untuk pergi ke suatu tempat. Misalnya ke Pasar Bunga yang menjadi daya tarik sendiri. Demikian juga di Chiang May dan kota-kota yang memiliki sungai, semua dirawat sekaligus dimanfaatkan untuk kepentingan mencari duit.
Nah, bagaimana kita dengan keberadaan Sungai Deli, apakah harus pula jatuh korban harta dan nyawa yang besar baru tersadar untuk tidak mengeksploitasi alam? ***
*Direktur LSM Pelindung Bumimu
dan Pimpinan BT/BS BIMA Medan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar