Rabu, 24 Desember 2008

Kronologi Perambahan Hutan di Barusjahe

Kronologi Perambahan Hutan di Barusjahe


Kabupaten Tanah Karo terdiri dari 13 Kecamatan dengan luas 212.725 hektar. 30 persen lebih dari luas itu adalah kawasan hutan. Namun kini kondisi hutannya sudah porakporanda. Salah satu wilayah perambahan hutan tersebut adalah Barusjahe Kecamatan Barusjahe. Segenap warga daerah ini menuntut para pelaku kerusakan itu segera ditangkap dan diseret ke meja hijau.
Advokasi pun dilakukan oleh masyarakat yang didampingi oleh dr Robert Valentino Tarigan SPd. Semula gerakan memang hanya seputar Tanah Karo. Perlahan, tapi pasti, gerakan menyebar sedemikian rupa. CD-CD pun beredar ke berbagai tempat bahkan ke luar negeri. Begitu juga dengan berita-berita di media massa, terus mengangkat masalah ini ke permukaan.
Maret 2003, itulah awal program pembukaan jalan tembus Pertumbuken-Serdang. Semula proyek ini diterima dengan senang hati oleh masyarakat karena diharapkan dapat meretas keterisoliran desa. Setahu bagaimana – setelah TMMD (TNI Manunggal Masuk Desa) tak ikut serta lagi menangani proyek tersebut – ruas jalan dibelokkan ke arah yang terdapat kayu-kayu besar. Karenanya, jalan yang seyogianya hanya sekitar 3 atau 4 km saja, dibuat berkelok-kelok sehingga mencapai 9 km.
Mencium ada indikasi perambahan hutan, proyek itu pun “dilawan” oleh masyarakat, khususnya Desa Barusjahe dan sekitarnya. Uniknya, di antara jalan-jalan utama (besar) ada pula jalan arteri yang kesemuanya mengarah ke hutan yang banyak kayu besarnya. Akhirnya, pembukaan jalan itu dinilai masyarakat hanyalah kamuflase untuk memuluskan pencurian kayu. Mengapa tidak, di dalam hutan itu ada panglong-panglong, ada bengkel mobil, dan lainnya yang diperlukan guna merambah hutan.
Selanjutnya, advokasi pun ditingkatkan, kalau semula hanya dengan aksi demo, dicoba melakukan lobi. Hasilnya, empat anggota DPR RI masing-masing Nuah Torong (Komisi IV), H Muhammad Utoyo (Komisi IV), H Mudahir (Komisi VIII) dan Ngarang Sembiring (Komisi III) turun langsung Sabtu (7/5).
Di dingin pagi yang berembun itu, keempat anggota dewan menelusuri Deleng Ganjang dengan berjalan kaki bersama ratusan anggota masyarakat guna menyaksikan secara langsung pelaksanaan proyek pembangunan jalan tembus yang menghubungkan Desa Pertumbekan-Serdang, Kecamatan Barusjahe, Kabupaten Karo. Ternyata, setelah dilakukan peninjauan ke lapangan, terlihat memang ada perambahan hutan yang memanfaatkan proyek jalan itu.
“Setelah melihat langsung ke lapangan, kami berkesimpulan proyek jalan tembus itu, kita anggap proyek yang gagal sehingga harus ditutup dan areal hutan lindung yang telah dirambah dihijaukan kembali,” kata Nuah Torong yang merupakan anggota DPR dari daerah pemilihan Sumut ketika itu.
Yang jadi pertanyan di benak anggota dewan tersebut, soal ruas jalan tembus dimaksud. “Kalau bisa hanya 3 atau 4 km saja, kenapa harus dibuka 9 km, ini yang perlu dijelaskan. Begitu juga soal biaya proyek ini, dari mana dananya. Kalau dari APBD, sampai sekarang (7 Mei 2003) APBD Karo saja pun belum disahkan,” lanjutnya.
Sementara Ngarang Sembiring yang anggota Komisi III DPR (membawahi bidang kehutanan) itu menyatakan rasa simpatinya kepada masyarakat Berusjahe yang berani menantang aksi perambahan hutan di Deleng Ganjang itu.
Sembiring juga mepertanyakan, mengapa pengelola proyek jalan tembus tersebut, berani membuka jalan di areal hutan lindung di Deleng Ganjang tanpa izin dari Menteri Kehutanan. “Ini yang kita pertanyakan,” tandasnya.
Padahal pemerintah sekarang ini (presidennya masih Megawati ketika itu) punya program melestarikan hutan. “Berkali-kalai dalam tiap kesempatan presiden meminta agar diberi kesempatan hutan bernafas. Kok di sini malah hutan lindung dirambah,” katanya.
Dalam kesempatan itu, HM Utoyo anggota DPR Komisi IV yang juga membawahi bidang pembangunan jalan dan kimpraswil, mengungkapkan sebenarnya ide pembangunan jalan tembus Desa Pertumbuken-Serdang itu cukup baik. Tapi pada kenyataannya, jalan itu hanya menguntungkan sebagian kecil masyarakat dan merugikan masyarakat banyak.
“Tentu merugikan masyarakat banyak kalau hutan lindung itu jadi gundul dan masyarakat dari 5 desa di bawahnya jadi kekeringan,” ujar HM Utoyo.
Setelah mendengar keluhan dan tuntutan masyarakat Barusjahe, keempat anggota dewan itu kemudian sepakat bahwa aspirasi masyarakat Barusjahe itu akan diperjuangkan secara politis dengan memberikan tekanan kepada pihak Pemkab Karo dan Dinas Kehutanan Sumut untuk meninjau ulang proyek itu.
“Soal ini akan kami bawa ke Jakarta dan dikonsultasikan kepada Menteri Kehutanan. Tapi kami harap, usaha kami secara politik ini, juga diiringi dengan upaya berupa aksi dari masyarakat,” ujar Nuah Torong.
Sebelumnya, Nuah Torong menjelaskan latar belakang kedatangan mereka ke Tanah Karo atas undangan dr Rpbert Valentino Tarigan SPd serta masyarakat Barusjahe sekitarnya untuk bergabung, menuntut dihentikannya aksi perambahan hutan lindung di rproyek jalan tembus itu.
“Setelah kami lihat rekaman CD dan kliping koran soal perambahan hutan itu, kami merasa sudah harus melihat langsung ke lokasi,” paparnya.
Begitulah, demo dan gerakan-gerakan lainnya terus dijalankan, termasuk dengar pendapat dengan DPRD Karo dan DPRD Provinsi Sumut. Maka Kamis, 10 Juli 2003, Valentino dan beberapa anggota masyarakat Barusjahe diminta untuk bertemu dengan bupati. Dalam dialog, Bupati Karo Sinar Peranginangin menjanjikan 3 hal: penutupan kembali jalan yang 9 km, mereboisasi dan membuat pabrik juice. Surat untuk hal tersebut, dijanjikan bupati, boleh diambil masyarakat pada 15 Juli 2003. Ternyata, ketika masyarakat menuntut apa yang diungkapkan Bupati, semua hanya isapan jempol belaka. Janji tinggal janji, Bupati Tanah Karo tidak ada di kantornya.
Valentino dengan beberapa orang utusan masyarakat mencari bupati ke Kantor DPRD Tanah Karo. Di halaman Kantor DPRD Karo, Pimpinan BT/BS Bima ini sempat berdebat dengan Ir Juki Tarigan, Kepala Dinas Kehutanan Tanah Karo, soal surat yang dijanjikan oleh bupati. Juki ketika itu bersama Staf Bupati Karo yang salah seorangnya adalah Ir Ferdinan S. Depari.
Kemudian, antara Valentino dan Juki sepakat agar sama-sama menjumpai Bupati Karo, Sinar Peranginangin. Valentino dan rombongan lebih awal berangkat, kembali ke kantor bupati. Saat dia dan beberapa rekan serta tiga orang masyarakat Barusjahe: Pendapatan Tarigan, Arifin Tarigan dan Jakaria Tarigan menunggu Juki Cs. di halaman Kantor Bupati Karo, seseorang yang mengenakan jas kuning dan memegang pistol di tangan kirinya – sekeluarnya dari kantor bupati, dan saat berada di teras – melambaikan tangan (kanan) ke arah Valentino. Tanpa sakwasangka sedikit pun, Pimpinan BT/BS Bima ini – yang diikuti oleh rekan-rekan – memenuhi panggilan itu. Entah bagaimana, tiba-tiba sekali – setelah mendekat dan hampir tak berjarak – orang itu menyorongkan pistolnya ke arah perut kanan Valentino, sembari berkata: “kenapa kau campuri urusan hutan”. Akhirnya persoalan advokasi hutan berujung ke pengadilan.
Padahal, hutan adalah kepentingan kita bersama. Dari hasil penelitian Ir Jaya Arjuna MSc, setiap meter kubik humus dengan ketebalan 25 atau 30 cm, mampu menyimpan air 300 liter dan untuk membuatnya butuh waktu 10 tahun. Dengan demikian, betapa besar jumlah air yang tidak dapat disimpan karena kerusakan hutan di Kabupaten Karo.
Menurut taksiran, kerusakan hutan di Karo mencapai 26.000 hektar. Itu berarti 26.000 hektar humus mengalami kerusakan, yang sama dengan 26 juta meter kubik humus rusak. Dampaknya 78 miliar liter air tak dapat diserap dan disimpan dengan baik.
Bukti ini dapat kita lihat pada tahun 2001, 2002, serta 2003 banjir besar melanda Kota Medan, Kabupaten Deliserdang, dan Langkat yang sungai-sungainya berhulu di dataran tinggi Karo. Pada 2 November 2003 malam, banjir besar menewaskan ratusan jiwa dalam seketika terjadi di Bohorok.
Dari perstiwa itu dapat kita maklumi betapa pentingnya melindungi hutan di Karo, agar tidak menimbulkan bencana kemanusiaan. Peristiwa Sunggal 2001 akibat pencurian kayu di Lau Gedang diteken oleh oknum anggota DPRD Tanah Karo.***

Tidak ada komentar: