Menjaga Hutan
Menyelamatkan Bumi dari Kehancuran
Oleh dr Robert Valentino Tarigan SPd*
Menyelamatkan Bumi dari Kehancuran
Oleh dr Robert Valentino Tarigan SPd*
Hutan – siapa pun tahu – adalah penyangga bumi dari kehancuran. Hutan pun merupakan paru-paru dunia. Kalau air dikatakan sumber kehidupan, hutan dapat dikatakan penyangganya. Mengapa tidak, akar-akar kayu yang ada di hutan berfungsi di samping menyerap, juga menyimpan air. Singkatnya, hutan merupakan ‘mesin’ sirkulasi air paling canggih yang tak dapat digantikan dengan apa pun.
Dua Kutub
Membicarakan kelestarian hutan – mau tidak mau – akan berhadapan dengan dua kutub yang saling tarik-menarik kepentingan. Kutub pertama, pembela lingkungan – yang meskipun jadi martir – akan terus berjuang agar satu batang pohon pun jangan ditebang. Sementara, kutub berikutnya adalah pihak (kaum) industrialis.
Dengan seperangkat teknologi maju yang gagah perkasa, langkah kaum industrilialis tegap-tegap dan tak jarang dengan kekejaman. Jelas saja, kenapa mereka menomorduakan hal lain di luar perhitungan laba rugi. Mereka mengejar pengembalian investasi dan keuntungan yang sebesar-besarnya. Ya, sesungguhnyalah, teknologi maju demikian bersahabat dengan modal, ‘padat modal’ istilahnya.
Ironisnya, janji-janji kemewahan materi bagi yang terlibat di dalamnya, sekonyong-konyong menyihir manusia untuk membabat semena-mena lingkungan hanya demi mengejar janji itu. Teknologi dan invesatasi yang gagah perkasa serta meniupkan janji kepuasan materi telah diagung-agungkan sebagai ‘sang dewata’.
Mengapa tidak, dewasa ini, satu ton kayu log yang belum diolah minimal Rp 3 juta. Satu batang pohon saja, bisa mencapai 10 – 30 ton lebih. Bayangkan, kalau di satu kawasan hutan ada puluhan ribu batang kayu, berapakah uangnya? Sungguh banyak sekali.
Uang, inilah motif dari orang-orang yang terlibat dalam ‘permainan’ kayu, baik legal maupun ilegal. Maka, dengan cara maupun jalan apa pun, hutan harus dirambah. Karena, hanya di hutanlah bersemayam kayu-kayu besar yang berumur ratusan tahun.
Jumlah yang Rusak
Menurut Forest Watch Indonesia, laju degradasi hutan di Indonesia mencapai sejuta hektar per tahun dan pada 1990, naik menjadi 1,7 juta hektar. Data Dephut 2003 mencatat, luas hutan yang rusak atau tak dapat berfungsi optimal mencapai 43 juta hektar dari total 120,35 juta hektar. Sedangkan laju degradasi dalam tiga tahun terakhir mencapai 2,1 juta hektar per tahun.
Laporan lain menyebut 1,6 juta sampai 2,4 juta hektar hutan Indonesia hilang setiap tahun. Bisa dikalkulasikan, setiap menit lahan hutan Indonesia yang hilang setara dengan enam kali luas lapangan sepakbola.
Jika percepatan degradasi dan kerusakan hutan tersebut dibiarkan berlanjut, Bank Dunia memprediksi, hutan daratan rendah di Sumatera musnah pada 2003, Kalimantan 2005 dan Sulawesi pada 2010.
Peneliti Indonesia Center for Environmental Law (ICEL) Indro Sugiarto mengatakan, kegiatan yang memberi kontribusi terbesar pada kerusakan hutan adalah maraknya penebangan kayu liar (illegal logging). “Diperkirakan saat ini 75 persen kayu yang beredar di Indonesia adalah hasil dari kegiatan illegal logging,” katanya baru-baru ini.
Dalam pertemuan dengan lembaga donor Consultative on Indonesia (CGI) Januari 2003, Indonesia mengakui mengalami kerugian 679 juta dolar AS per tahun akibat aktivitas penebangan kayu secara liar.
Jadi Gurun
Tapi, apakah – karena memburu uang – kita biarkan Indonesia jadi gurun dan daerah rawan bencana? Para peneliti telah memperlihatkan pada kita bahwa dulu di benua Asutralia penuh dengan hutan lebat berangin segar dan banyak hujan. Tetapi akibat ulah manusia, kemudian menjadi gurun, kering kerontang hingga tumbuhan tidak tumbuh lagi sampai sekarang ini. Jadilah benua Asutralia itu gersang, berdebu dan jarang hujan serta kering.
Kenapa wilayah Australia bisa menjadi gurun? Hasil penelitian memperlihatkan, penyabab dasarnya adalah kemusnahan hutan. Musnahnya hutan di wilayah Asutralia, tidak saja menyebabkan wilayah itu gersang, berdebu dan jarang hujan serta kering. Dampak lainnya, berbagai jenis satwa liar juga berbagai jenis unggas dan serangga punah. Jelasnya berbagai jenis flora dan fauna tak tersisa lagi.
Hilangnya hutan di Australia akibat pembakaran besar-besaran dilakukan oleh penghuni yang akan menetap di Australia pada 50.000 tahun yang lalu, itulah penyebab punahnya keanekrgaman hayati benua tersebut. Ulah anak manusia di masa silam ini memberi andil terhadap timbulnya perubahan cuaca, akhirnya mengubah bentukan-bentukan alam yang ada menjadi hamparan gurun yang kering pada saat sekarang ini.
Hal tersebut dijelaskan oleh peneliti dari Amerika Serikat dan Australia belum lama ini. Disebutkan www.cnn.com, para peneliti dari kedua negara ini juga telah melaporkan hasil penelitiannya dalam jurnal geologi terbaru. Dalam jurnal itu disebutkan bahwa mereka mendukung pernyataan yang menyebutkan bahwa penghuni awal benar-benar telah membumihanguskan benteng alam di benua Australia tersebut dengan api.
“Pengertiannya adalah bahwa pembakaran yang dilakukan oleh manusia-manusia terdahulu telah mengubah iklim dari benua Australia sendiri dengan melemahkan penetrasi kelembaban angin musim ke dalam interior benua,” jelas Gifford Miller, pemimpin penelitian ini dari Universitas Colorado.
Pernyataan tersebut juga diperkuat dengan adanya catatan geologi yang menunjukkan bahwa interior benua Australia jauh lebih basah pada sekitar 125.000 tahun yang lalu. Zaman Es terakhir telah mengubah keadaan cuaca di setiap pelosok bumi, tetapi angin musim mengubahnya menjadi es pada 12.000 tahun yang lalu, kecuali angin musim Asutralia.
Angin Musim Asutralia pada saat ini membawa sekitar 39 inci atau 1 meter air huuan setiap tahunnya yang bergerak ke Selatan dari Asia ke pantai utara Australia, tetapi hanya sekitar 13 inci (33 cm) air hujan yang jatuh di atas interior benua ini setiap tahun.
Mengubah
Miller menyatakan dalam penelitiannya bahwa adanya peristiwa kebakaran hebat cukup dapat mengubah populasi tumbuhan untuk mengurangi pertukaran uap air dengan atmosfir, yang mengakibatkan berkurangnya atau berhentinya proses pembentukan awan.
Para peneliti, bekerja sama dengan John Magee dari Australian National University di Canberra, menggunakan simulasi iklim global yang telah terkomputerisasi menunjukkan, jika saja terdapat hutan di bagian Tengah Australia, akan membuat angin musim menghasilkan hujan dua kali lebih banyak dibanding dengan pola yang ada sekarang.
Bukti fosil menunjukkan bahwa burung dan hewan-hewan berkantong yang pernah hidup di interior Asutralia, lebih suka mencari makan di pepohonan, semak-semak, dan rerumputan dibandingkan dengan di gurun.
Bukti yang lain ditunjukkan dari banyaknya deposit arang yang disebabkan luasnya kebakaran yang terjadi.
Keberadaan manusia juga mengakibatkan punahnya 85 persen hewan-hewan besar di Australia, termasuk burung yang sebesar burung unta, 19 spesies hewan berkantung, kadal sepanjang 7,5 meter, dan kuran-kura sebesar mobil Volkswagen.
Para ahli mengatakan bahwa perubahan iklim menjadi panas tersebut lebih cepat memusnahkan spesies-spesies ini daripada jika diburu atau dibunuh secara langsung oleh manusia.
Dampak yang Ditimbulkan
Nah, tidakkah mereka (pencuri kayu) memikirkan dampak dari punahnya hutan di permukaan bumi ini? Jika hutan gundul, seluruh permukaan bumi akan jadi gurun pasir yang tandus dan kering kerontang. Maka, saat itulah kiamat tiba seperti yang diwahyukan dalam kitab-kitab suci. Lalu, apakah kita tak berusaha mencegah atau menghambatnya?
Sekarang saja sudah kita rasakan dampak dari penebangan hutan. Keseimbangan yang diperlukan bahan-bahan kimia secara normal antara bumi dan atmosfir yang begitu vital bagi kehidupan bumi telah terganggu. Salah satu sebabnya adalah penggundulan hutan-hutan yang menyediakan oksigen bagi kita. Bersamaan dengan itu, obat-obat semprot dan pupuk pertanian telah menyerap ke dalam air dan tanah. Hal ini menyebabkan pencemaran air dan rusaknya tanah.
Sementara itu, karbondioksida dan gas metan, produk buangan dari potreleum, batubara dan bahan fosil lainnya telah meninggikan tempratur bumi. Sedangkan sulfurdioksida telah mengakibatkan hujan asam yang mengancam flora bumi.
Kini, produk buangan industri seperti gas CFC sedang merusak laposan ozon yang melindungi kehidupan di bumi dari sinar ultraviolet yang membahayakan dipancarkan oleh matahari.
Jika tempratur bumi terus meninggi tak terkendali, niscaya es di kutub utara dan selatan akan mencair. Permukaan laut pun akan meninggi, yang tak mustahil akan menenggelamkan pulau-pulau serta benua. Mengerikan! Ya, memang mengerikan! Sesungguhnyalah kerusakan lingkungan lebih mengerikan dari perang.
Hal inilah yang mendasari gerakan para aktivis lingkungan. Seyogianya, gerakan penyelamatan hutan dan lingkungan harus didukung semua pihak. Karena, tujuan akhir dari perjuangan juga untuk keselamatan serta kemaslahatan kita semua.
Hutan memang dapat diumpamakan ayam bertelur emas. Jika dikelola dengan sabar, setiap hari ayam tersebut akan memberikan sebutir telur emas kepada kita. Tetapi, jika ayam itu disembelih, niscaya berhentilah ia bertelur.
Begitulah hutan, jika ditebangi terus, ia memang dapat memberikan seseorang atau sekelompok orang kemewahan sesaat. Tetapi dampaknya akan mencelakakan kita semua.
Mayat-mayat Bergelimpangan
Di samping bencana kekeringan – bila hutan terus dirambah – banjir adalah hal yang tak terelakkan. Pelajaran pahit sudah kita rasakan pada 3 November 2003 lampau. Saat itu, bulu kuduk siapa yang tak meremang menyaksikan 152 mayat bergelimpangan dan 100 orang hilang, 400 rumah, penginapan serta cottage dan lainnya porak-poranda. Ini adalah bencana nasional akibat ulah manusia yang serakah merambah hutan di Gunung Leuser. Diduga keras, banjir ini berasal dari Tanah Karo, Aceh Tenggara dan Langkat.
Sebab, tiga kawasan itulah yang paling dekat dan paling mungkin mengirimkan air bah ke Bukit Lawang ketika itu. Dan, memang puluhan ribu hektar hutan Gunung Leuser di tiga kawasan tersebut, telah dibabat oleh perampok kayu.
Dari masyarakat Karo didapat informasi, pada Minggu (2 November 2003) malam pukul 20.00 itu, hujan deras melanda Tanah Karo, termasuk Kutakendit – Kawasan Ekosistem Leuser – yang hutannya juga dirambah dengan alasan pembukaan kebun jeruk seluas 10.000 hektar.
Yang pasti lagi – ketika bencana tiba – di kawasan Bukit Lawang terdapat ribuan meter kubik kayu log hasil tebangan liar. Jadi, kalau ada pihak-pihak yang menyatakan, banjir tersebut hanya karena bencana alam semata, mungkin hatinya sudah beku akibat melihat sesuatu dengan mata duit, bukan dengan mata hati. ***
Pimpinan BT/BS Bima Medan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar