Rabu, 24 Desember 2008

Mari Hidup Bermartabat

Mari Hidup Bermartabat
Oleh: dr Robert Valentino Tarigan SPd

Ketika masalah pemukulan semena-mena polisi Malaysia terhadap wasit dari Indonesia Donald PL Colopita karena “dianggap” TKI ilegal meramaikan media-media masa baik cetak maupun tulis, saya sedang berada ditahanan Poldasu. Saya mulai ditahan Rabu (29/8) terkait masalah pemakaian logo Poldasu tanpa izin di brosur yang pencetakannya sama sekali tidak saya ketahui. Yang mencetak brosus itu adalah staf saya bernama Baginda Aritonang. Karena kesalahan yang tidak saya ketahui itu, saya dijerat pasal 378 dan 228 dan harus masuk sel.

Penangguhan Penahanan
Berbagai elemen masyarakat, seperti mahasiswa, ormas, LSM, keluarga, dan lainnya, menganjurkan agar saya memohon penangguhan penahanan. Sembari mengenang proses penahanan yang terkesan unik, dan permintaan berbagai elemen itu, saya bertanya dalam hati: apa salah saya, sehingga harus memohon penangguhan penahanan? Apakah saya tidak boleh menguji sejauh mana hukum dan aparatnya telah berjalan di rel yang benar?
Apakah permohonan penangguhan penahanan, bukan merupakan upaya merontokkan martabat aktivis seperti saya? Dengan memohon penangguhan penahanan, berarti saya mengakui kesalahan yang dituduhkan. Apakah wajar saya mengakui kesalahan yang tidak saya lakukan? Sementara permohonan ini itu pastilah dibarengi dengan barter: mencabut gugatan praperadilan yang sudah didaftarkan tim pengacara saya ke Pengadilan Negeri Medan (Jumat. 31/08-07) dan menghentikan advokasi hutan yang sudah belasan tahun saya lakoni.
Saya adalah Direktur LSM Pelindung Bumimu yang kerap mengadvokasi hutan dan mungkin sudah jadi TO (target operasi) pihak-pihak tertentu seraya menunggu peluang (celah) untuk menjerat dan pada akhirnya meluluhlantakkan upaya saya bersama masyarakat luas menyelamatkan hutan. Sekalai lagi, apakah harus saya terima permintaan berbagai elemen agar saya memohon penangguhan penahanan?
Mengingat nasib saya yang dianjurkan untuk memohon (baca: mengemis) agar tidak ditahan, saya jadi ingat nasib bangsa ini di mata dunia, terutama tetangga kita Malaysia dan Australia yang telah merendahkan martabat kita. Uniknya, kita ramai-ramai “mengemis maaf” kepada mereka. Apakah kita rela hidup tanpa martabat.

Pemukulan Wasit
Di tahanan saya tetap mengikuti berita-berita maupun ulasan-ulasan tentang pemukulan semena-mena polisi Malaysia terhadap wasit berskala internasional dari Indonesia yang sedang bertugas di Malaysia karena “dianggap” TKI ilegal. Kasus ini merupakan simbol telak manusia Indonesia tanpa martabat di mata (orang) Malaysia, kita hanyalah “sekumpulan” bangsa TKI illegal yang disebut dengan “indon”. Maka siapa pun kita orang Indonesia ketika berada di negeri jiran itu, jika penampilan fiskal kita cenderung mirip TKI ilegal, sangat mungkin mendapat perlakukan yang sama.
Dalam kasus yang lain, kita tentu masih ingat Sutiyoso juga diperlakukan kurang sedap di Australia. Telah tercipta stigmatisasi negatif dari negara-negara luar terhadap bangsa Indonesia.
Martabat bangsa luluh lantak! Secara psikologi, gejala luluh lantaknya martabat bangsa itu ditandai oleh merebaknya prasangka orang luar terhadap kita. Prasangka (prejudice) lebih intens dan jahat dari ketidakpercayaan (distrust). Bangsa kita bukan hanya tidak dipercaya orang luar tetapi sudah diprasangkai.
Dan prasangka itulah yang terjadi pada wasit kita di Malaysia. Dia bukan TKI illegal, dia tidak berbuat apa pun, tetapi karena diprasangkai sebagai TKI ilegal sebagai cermin “serba buruk dan menyebalkan” orang Indonesia, dia diperlakukan semena-mena.
Saya bukan pelaku pencetakan brosur berlogo Poldasu, tetapi karena diprasangkai bersalah, saya harus masuk sel. Saya benar-benar merasa diperlakukan semena-mena oleh pihak-pihak tertentu. Saya yakini, perilaku semena-mena ini merupakan rangakaian konspirasi jahat guna menghancurkan martabat dan usaha saya yang mempekerjakan sedikitnya 1200 orang dari tamatan SD, hingga S2 bahkan S3.
Pegawai-pegawai saya, tidak ada yang berpenghasilan di bawah UMR (upan minimum regional). Bahkan setelah 3 bulan bekerja, para karyawan berpenghasilan minimal Rp 1 juta. Karena prasangka, semua yang telah saya bangun dengan susah payah bertahun-tahun akan dihancurkan.
Prasangka sendiri secara bebas bisa diartikan sebagai sebuah sikap (mental) yang tak kondusif, merugikan (kedua pihak), negatif, yang mengarah pada anggota kelompok atau kelompok tertentu. Prasangka ini sungguh jahat dan sering tidak manusiawi. Orang-orang yang kepribadiannya dipenuhi prasangka ini sendiri tentu saja tidak sehat (patalogis), irasional, dan subyekrif. Dan jelas, negara-negara tetangga (baik oknum maupun sebagai kelompok bangsa) yang dipenuhi prasangka terhadap kita juga patalogis secara kejiwaan.
Kondisi kita sebagai “obyek” prasangka ini juga tidak kalah sakitnya secara kejiwaan sebab hal ini merupaklan simtom dari martabat bangsa yang tergerus. Itu sebabnya sebagai obyek prasangka kita juga cenderung berperilaku patalogis juga. Tandanya, kita juga cenderung reaktif-emosional, irasional, dan subyektif, mau membalas dengan prinsip an aye for an aye, melakukan sweeping orang Malaysia, dan mengusir atletnya, dan banyak lainnya.
Namun, bukan itu esensi masalahnya! Ini problem kepemimpinan bangsa. Salah satu tugas utama pemimpin adalah menegakkan martabat organisasi (Indonesia). Jika rakyat kehilangan martabat, dan dijadikan obyek prasangka, bukan mereka yang salah, tetapi para pemimpinnya.
Kita tidak bisa melawan mereka dengan sikap-perilaku patalogis juga (serba reaktif, irasional, subyektif). Maka kepemimpinan para pemimpin haruslah “sehat”, tidak patalogis: semua sikap dan perilaku kepempinan harus dilandasi oleh proses kerja dan tujuan yang “rasional-obyektif”. Rasional-obyektif berhubungan dengan data dan fakta, tidak hanya opini. Maka proses dan tujuan kepemimpinan adalah bagaimana mengubah “data dan fakta” kondisi rakyat dari status para TKI ilegal, yang liar mengendap-endap mencari sesuap nasi di negara tetangga, disiksa, diperkosa, dibunuh, berubah menjadi tuan di negeri sendiri (yang tidak kelaparan, tak kelayapan karena tidak punya rumah, dan aman bekerja di negara sendiri).
Para penguasa atau petinggi negeri adalah orang-orang hebat dan sukses, tetapi belum tentu mereka layak disebut pemimpin sukses – pendapat John Maxwell – jika mereka belum menemukan “tempat” yang tepat bagi pengikutnya (rakyat).
Banyaknya rakyat yang menjadi TKI ilegal merupakan refleksi bahwa mereka belum punya tempat yang tepat, bahkan di negerinya sendiri. Maka para saudaraku, jangan lagi menuntut (baca mengemis) kata “maaf” dari Malaysia dan Negara mana pun yang telah mencederai martabat kita. Itu justru refleksi dari tergerusnya martabat kita sampai ke titik nadir. Kita tak perlu maaf, kita perlu rasa hormat mereka. Dan itu tugas para pemimpin untuk bekerja lebih “sehat”!
Demikian pulalah saya di tahanan ini, saya harus bertahan dalam kehidupan yang bermartabat, tidak perlu memohon (mengemis) penangguhan penahanan terhadap kesalahan yang tidak saya lakukan. Jika itu dilakukan, sama saja dengan melegetimasi kesewenangan yang dilakukan pihak-pihak tertentu.
Pertanyaannya, jika martabat aktivis seperti saya rontok, dalam skala lebih luas tidakkah merontokkan martabat bangsa pula? Atau memang kita akan membiarkan terus-menerus bangsa ini kehilangan martabat? Entahlah.
Prasangka pihak tertentu telah menjadikan saya sebagai TO. Gerakan advokasi hutan yang saya lakukan bersama rakyat sejak belasan tahun lampau, sangat boleh jadi membuat berbagai pihak yang terkena dampaknya menjadi gerah. Sebelum ditahan, saya kerap mendapat teror.
Pada 15 Juli 2003, Sudarto menodongkan pistolnya ke arah perut kanan saya di teras Kantor Bupati Karo. Selanjutnya, penodongan itu saya adukan ke Polres Tanah Karo. Karena kurang mendapat respon, saya kembali mengadu ke Poldasu. Karena locus de licty-nya di Tanah Karo, maka pengaduan dilimpahkan kembali ke Polres Tanah Karo. Dalam pada itu Sudarto pun mengadukan saya atas dasar pencemaran nama baik. Maka perkara ini disidangkan bersamaan (split). Ketika Sudarto sebagai terdakwa saya dan yang lainnya sebagai saksi. Dan ketika Valentino (saya) sebagai terdakwa, Sudarto dan lainnya sebagai saksi.
Perkara pidana Regno: 274/Pid.B/2003/PN Kabanjahe tersebut, mulai disidangkan sekitar September 2003 dan pembacaan vonis 14 April 2004, dengan hasil bebas murni untuk saya (Valentino) dan bebas murni pula untuk Sudarto. Pada sidang pertama, saya dibentak-bentak oleh Majelis Hakim dan para wartawan tidak dibenarkan meliput jalannya persidangan, padahal itu adalah sidang terbuka.
Karena merasa keputusan pengadilan tak memenuhi rasa keadilan, saya meminta kepada Kejaksaan Negeri Kabanjahe untuk melakukan kasasi. Sebab, seandainya memang Sudarto tak terbukti melakukan penodongan, tentu saya yang harus divonis telah melakukan pencemaran nama baik. Atau sebaliknya, jika memang tak terbukti saya melakukan pencemaran nama baik, tentu Sudarto yang harus dihukum.
Berikutnya pada Jumat malam 20 Oktober 2005, sekitar pukul 23.00 Wib, lokasi BT/BS BIMA di Jalan Bantam No 6 A Medan – pusat bimbingan test dan study yang saya kelola – dikepung oknum-oknum yang menurut dugaan adalah aparat Polres Deli Serdang, Asahan dan Polsek Medan Baru serta Polsek Helvetia. Jumlah mereka lebih dari 50 orang. Pengepungan itu kemudian saya adukan ke Propam Poldasu. Berikutnya, sekitar Maret 2006, PGRI Sumut pun mempertanyakan pengaduan atas pengepungan itu, juga tak ada tanggapan.
Informasi yang saya dapatkan, pengepungan tersebut dipimpin langsung oleh Saudara Mahfud yang pada waktu itu adalah Kapolres Asahan dan Saudara Sandy Nugroho yang pada waktu itu adalah Kasat Reskrim Polres Asahan. Indikasi ini terlihat, keduanya – ketika itu – lebih banyak waktunya berada di Medan dibanding di Asahan.
Apa tujuan dilakukan pengepungan lokasi BT/BS BIMA tersebut, saya juga tidak tahu pasti. Mungkin saja untuk menakut-nakuti saya yang hanya seorang guru agar berhenti dari gerakan advokasi lingkungan yang selama ini saya lakukan. Yang pasti, pengaduan saya tersebut tak jelas rimbanya.
Ketika peristiwa pengepungan tersebut saya tanyakan kepada Saudara Yusfhi sebagai Kapolsek Medan Baru (ketika itu), jawabnya mengambang. Ketika itu Yusfhi hanya mengatakan: “saya harus menghormati senior saya”. Pertanyaannya, apakah boleh hanya karena menghormati senior, melakukan tindakan yang tidak sewajarnya dilakukan?
Selanjutnya, seorang staf BT/BS BIMA bernama Reza sempat ditabrak sepeda motornya di seputar Jalan Hayam Wuruk dekat lokasi BIMA sekitar bulan Juni 2007, namun dalam waktu sangat singkat muncul seorang aparat polisi mengaku anggota intel dari Polsek Medan Baru. Akibatnya staf tersebut ketakutan padahal situasinya, dia adalah korban penabrakan. Peristwa ini terjadi, setelah Reza tidak mau diajak kerja sama dengan mereka.
Kemudian, pada Maret.2007 saya dipanggil penyidik Polda Sumut, dimintai keterangan terkait pemuatan logo Poldasu dalam salah satu selebaran/promosi BT/BS BIMA. Sebagi warga yang baik panggilan ini saya penuhi dan menyatakan bahwa tidak ada memerintahkan staf memuat lambang Poldasu. Namun puluhan karyawan BT/BS BIMA turut diperiksa bahkan seorang staf bernama Baginda dijadikan tersangka.
Setelah tiga kali pemeriksaan, akhirnya pada Rabu (29 Agustus 2007) ditahan di Reskrim Poldasu. Padahal, sama sekali saya tidak mengetahui pemuatan lambang (logo) Poldasu tersebut. Ini benar-benar sebuah skenario yang tersistematis untuk melemahkan perjuangan penyelamatan hutan.
Kini, saya di tahanan Poldasu, apalagi targetnya, kalau bukan ingin menghancurkan martabat aktivis seperti saya? Apakah pantas saya diperlakukan seperti ini dan harus mengemis penangguhan penahanan? Kalau memang secara hukum saya pantas ditahan, akan saya lakono dengan khidmat. Tapi, dalam hati saya bertanya, kalau beginilah cara memperlakukan anak bangsa, bagaimana mungkin Malaysia yang penduduknya hanya sejumlah penduduk Sumatera Utara kurang lebih, mau menghargai martabat kita. ***

Pimpinan BT/BS BIMA Berpusat di Medan

Tidak ada komentar: