Kronologi Perambahan Hutan di Siosar
Kabupaten Tanah Karo terdiri dari 13 Kecamatan dengan luas 212.725 hektar. 30 persen lebih dari luas itu adalah kawasan hutan. Namun kini kondisi hutannya sudah porakporanda. Salah satu wilayah perambahan hutan tersebut adalah Siosar, Kecamatan Merek. Segenap warga daerah ini menuntut para pelaku kerusakan itu segera ditangkap dan diseret ke meja hijau.
Advokasi pun dilakukan oleh masyarakat yang didampingi dr Robert Valentino Tarigan SPd. Semula gerakan memang hanya seputar Tanah Karo. Perlahan, tapi pasti, gerakan menyebar sedemikian rupa. CD-CD pun beredar ke berbagai tempat bahkan ke luar negeri. Begitu juga dengan berita-berita di media massa, terus mengangkat masalah ini ke permukaan.
Soal hutan lindung Siosar yang dirusak oleh PT Kastil milik Sudarto pun merupakan bagian dari advokasi. Mengapa tidak, Siosar merupakan hutan konversi. Kerusakan berawal dari izin penebangan 100 hektar yang diusulkan kepada Menteri Kehutanan 2600 hektar. Meski tidak ada izin ke luar tapi mereka merambah terus maka terjadi kerusakan 600 hektar.
Tim advokasi masyarakat bersama Valentino masuk ke Siosar pada 8 Agustus 2002 dan terlihat petugas berpakaian seragam menjaga tempata itu. Kalau tim tidak masuk, hutan itu pasti habis. Padahal, dua aliran sungai yang menuju Danau Toba, berasal dari sini. Makanya sekarang, kalau hujan di Karo, maka Danau Toba naik, rusaklah sawah ladang masyarakat. Kalau sungai menyusut, maka ketinggalan pasir di sawah-sawah ladang di pesisir Danau Toba.
Pada 14 Oktober 2003 telah dilakukan pertemuan di Kantor DPRD SU, antara Komisi I, II, pihak Pemkab Karo, DPRD Karo, masyarakat yang didampingi Robert Valentino Tarigan SPd, dan undangan lainnya. Ketika itu ditetapkan pada Rabu, 22 Oktober 2003 dilakukan peninjauan.
“Poldasu harus menangkap Sudarto. Kalau tidak, kita akan adukan ke Mabes Polri,” demikian Victor M Simamora menandaskan kepada wartawan dalam peninjauan perambahan hutan di Kacinambun dan Siosar pada 20 Oktober 2003 tersebut dan juga telah disiarkan TPI 22 Oktober 2003.
Alasan Victor meminta Poldasu dan jajarannya menangkap Sudarto, sebab yang bersangkutan menodongkan senjatanya kepada dr Robert Valentino T SPd, dan hal ini sudah diadukan. “Andai Sudarto tak punya kepentingan apa-apa terhadap hutan, rasanya tak masuk akal kalau advokasi yang dilakukan oleh dr Robert Valentino terkesan dihalang-halangnya,” jelas Simamora pula.
Apa yang dikemukakan Victor terindikasi pada persidangan keempat Perkara Pidana No. 274/Pid.B/2003/PN-Kbj. antara Valentino versus Sudarto, Senin 26 Januari 2004. Saat itu Velentino sebagai terdakwa, ketika terjadi dialog Sudarto mengaku bahwa ia memang pengusaha kayu di Tanah Karo.
“Bang Darto, saya ingin bertanya kepada Abang. Tetapi, sebelum dijawab, Abang harus pikir-pikir dulu. Pertanyaannya, apakah Abang pengusaha kayu di Karo?” tanya Valentino ketika itu.
“Ya, di Siosar,” jawab Sudarto dan menyebutkan luasnya 100 hektar. Dan ingat, izin 100 hektar itu – walaupun otonomi – tidak ada hak bupati, karena itu hutan konversi. Hak bupati, kalau memang mau taat undang-undang adalah hutan rakyat. Kalau hutan konversi bupati hanya bisa mengusulkan, haknya adalah Menteri Kehutanan.
Kepentingan Sudarto terhadap hutan dapat pula dikaitkan dengan peristiwa pada 14 Oktober 2003 di salah satu ruang Novotel Soechi Medan. Saat itu, Kapolres Karo, DL Tobing mengenalkan Valentino dengan Sudarto alias Liong Cie Leng. Dalam percakapan, terungkap bahwa Bupati Karo menggunakan tangan Sudarto untuk ‘memukul’ atau menakut-nakuti Valantino. “Tangan saya digunakan bupati untuk memukul Robert,” tutur Sudarto, lelaki bermata sipit ini.
Selanjutnya, peninjauan perambahan hutan dilakukan oleh Victor Simamora atas nama DPRD SU, Komisi I dan II. “Seyogianya kami semua akan turun, tetapi karena sesuatu hal, hanya kita sajalah,” jelas Simamora ketika itu.
DPRD SU tidak sendiri, Polisi Kehutanan yang dikomandoi oleh Kadis Kehutanan Sumut Ir Prie Supriadi MM, dr Robert Valentino Tarigan Cs, pihak UML (Unit Manajemen Leuser), serta masyarakat ikut dalam peninjauan tersebut.
Usai meninjau Kacinambun Kecamatan Tiga Panah – setelah makan siang di Kabanjahe – rombongan meninjau hutan Siosar Kecamatan Merek yang berbatasan dengan Tiga Panah. Di Siosar memang tak terlihat lagi bongkahan-bongkahan kayu yang ditebang. Cuma, hutan pinus tersebut telah dibabat sedemikian rupa, diperkirakan setengah dari 2.600 hektarnya telah habis.
Rencananya, rombongan akan meninjau Barusjahe, tapi Prie Supriadi menuturkan dua sample saja sudah cukup menggambarkan betapa porakporandanya hutan di Tanah Karo. “Kita akan memanggil Kadis Kehutanan Tanah Karo, kenapa hutan-hutan Karo begitu porakporanda. Ini tak masuk akal,” tandas Prie sembari menggeleng-gelangkan kepalanya di hutan Siosar ketika itu.
Secara spontan, Prie mengungkapkan bahwa apa-apa yang selama ini diberitakan oleh media massa tentang krisis dan kerusakan hutan-hutan di Tanah Karo adalah benar. Sehingga, peninjauan yang dilakukan Rabu (20/10-2004) itu merupakan realisasi total segala bukti fisik dan kronologis soal adanya aksi dan bisnis perambahan hutan selama ini, yang antara lain terekam dalam bentuk CD-CD yang beredar luas. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar