Jumat, 14 Maret 2008

Mari Hidup Bermartabat



Oleh: dr Robert Valentino Tarigan SPd


Ketika masalah pemukulan semena-mena polisi Malaysia terhadap wasit dari Indonesia Donald PL Colopita karena “dianggap” TKI ilegal meramaikan media-media masa baik cetak maupun tulis, saya sedang berada ditahanan Poldasu. Saya mulai ditahan Rabu (29/8) terkait masalah pemakaian logo Poldasu tanpa izin di brosur yang pencetakannya sama sekali tidak saya ketahui. Yang mencetak brosus itu adalah staf saya bernama Baginda Aritonang. Karena kesalahan yang tidak saya ketahui itu, saya dijerat pasal 378 dan 228 dan harus masuk sel.

Penangguhan Penahanan
Berbagai elemen masyarakat, seperti mahasiswa, ormas, LSM, keluarga, dan lainnya, menganjurkan agar saya memohon penangguhan penahanan. Sembari mengenang proses penahanan yang terkesan unik, dan permintaan berbagai elemen itu, saya bertanya dalam hati: apa salah saya, sehingga harus memohon penangguhan penahanan? Apakah saya tidak boleh menguji sejauh mana hukum dan aparatnya telah berjalan di rel yang benar?


Apakah permohonan penangguhan penahanan, bukan merupakan upaya merontokkan martabat aktivis seperti saya? Dengan memohon penangguhan penahanan, berarti saya mengakui kesalahan yang dituduhkan. Apakah wajar saya mengakui kesalahan yang tidak saya lakukan? Sementara permohonan ini itu pastilah dibarengi dengan barter: mencabut gugatan praperadilan yang sudah didaftarkan tim pengacara saya ke Pengadilan Negeri Medan (Jumat. 31/08-07) dan menghentikan advokasi hutan yang sudah belasan tahun saya lakoni.
Saya adalah Direktur LSM Pelindung Bumimu yang kerap mengadvokasi hutan dan mungkin sudah jadi TO (target operasi) pihak-pihak tertentu seraya menunggu peluang (celah) untuk menjerat dan pada akhirnya meluluhlantakkan upaya saya bersama masyarakat luas menyelamatkan hutan. Sekalai lagi, apakah harus saya terima permintaan berbagai elemen agar saya memohon penangguhan penahanan?
Mengingat nasib saya yang dianjurkan untuk memohon (baca: mengemis) agar tidak ditahan, saya jadi ingat nasib bangsa ini di mata dunia, terutama tetangga kita Malaysia dan Australia yang telah merendahkan martabat kita. Uniknya, kita ramai-ramai “mengemis maaf” kepada mereka. Apakah kita rela hidup tanpa martabat.

Pemukulan Wasit
Di tahanan saya tetap mengikuti berita-berita maupun ulasan-ulasan tentang pemukulan semena-mena polisi Malaysia terhadap wasit berskala internasional dari Indonesia yang sedang bertugas di Malaysia karena “dianggap” TKI ilegal. Kasus ini merupakan simbol telak manusia Indonesia tanpa martabat di mata (orang) Malaysia, kita hanyalah “sekumpulan” bangsa TKI illegal yang disebut dengan “indon”. Maka siapa pun kita orang Indonesia ketika berada di negeri jiran itu, jika penampilan fiskal kita cenderung mirip TKI ilegal, sangat mungkin mendapat perlakukan yang sama.


Dalam kasus yang lain, kita tentu masih ingat Sutiyoso juga diperlakukan kurang sedap di Australia. Telah tercipta stigmatisasi negatif dari negara-negara luar terhadap bangsa Indonesia.
Martabat bangsa luluh lantak! Secara psikologi, gejala luluh lantaknya martabat bangsa


itu ditandai oleh merebaknya prasangka orang luar terhadap kita. Prasangka (prejudice) lebih intens dan jahat dari ketidakpercayaan (distrust). Bangsa kita bukan hanya tidak dipercaya orang luar tetapi sudah diprasangkai.


Dan prasangka itulah yang terjadi pada wasit kita di Malaysia. Dia bukan TKI illegal, dia tidak berbuat apa pun, tetapi karena diprasangkai sebagai TKI ilegal sebagai cermin “serba buruk dan menyebalkan” orang Indonesia, dia diperlakukan semena-mena.


Saya bukan pelaku pencetakan brosur berlogo Poldasu, tetapi karena diprasangkai bersalah, saya harus masuk sel. Saya benar-benar merasa diperlakukan semena-mena oleh pihak-pihak tertentu. Saya yakini, perilaku semena-mena ini merupakan rangakaian konspirasi jahat guna menghancurkan martabat dan usaha saya yang mempekerjakan sedikitnya 1200 orang dari tamatan SD, hingga S2 bahkan S3.


Pegawai-pegawai saya, tidak ada yang berpenghasilan di bawah UMR (upan minimum regional). Bahkan setelah 3 bulan bekerja, para karyawan berpenghasilan minimal Rp 1 juta. Karena prasangka, semua yang telah saya bangun dengan susah payah bertahun-tahun akan dihancurkan.


Prasangka sendiri secara bebas bisa diartikan sebagai sebuah sikap (mental) yang tak kondusif, merugikan (kedua pihak), negatif, yang mengarah pada anggota kelompok atau kelompok tertentu. Prasangka ini sungguh jahat dan sering tidak manusiawi. Orang-orang yang kepribadiannya dipenuhi prasangka ini sendiri tentu saja tidak sehat (patalogis), irasional, dan subyekrif. Dan jelas, negara-negara tetangga (baik oknum maupun sebagai kelompok bangsa) yang dipenuhi prasangka terhadap kita juga patalogis secara kejiwaan.


Kondisi kita sebagai “obyek” prasangka ini juga tidak kalah sakitnya secara kejiwaan sebab hal ini merupaklan simtom dari martabat bangsa yang tergerus. Itu sebabnya sebagai obyek prasangka kita juga cenderung berperilaku patalogis juga. Tandanya, kita juga cenderung reaktif-emosional, irasional, dan subyektif, mau membalas dengan prinsip an aye for an aye, melakukan sweeping orang Malaysia, dan mengusir atletnya, dan banyak lainnya.


Namun, bukan itu esensi masalahnya! Ini problem kepemimpinan bangsa. Salah satu tugas utama pemimpin adalah menegakkan martabat organisasi (Indonesia). Jika rakyat kehilangan martabat, dan dijadikan obyek prasangka, bukan mereka yang salah, tetapi para pemimpinnya.
Kita tidak bisa melawan mereka dengan sikap-perilaku patalogis juga (serba reaktif, irasional, subyektif). Maka kepemimpinan para pemimpin haruslah “sehat”, tidak patalogis: semua sikap dan perilaku kepempinan harus dilandasi oleh proses kerja dan tujuan yang “rasional-obyektif”.


Rasional-obyektif berhubungan dengan data dan fakta, tidak hanya opini. Maka proses dan tujuan kepemimpinan adalah bagaimana mengubah “data dan fakta” kondisi rakyat dari status para TKI ilegal, yang liar mengendap-endap mencari sesuap nasi di negara tetangga, disiksa, diperkosa, dibunuh, berubah menjadi tuan di negeri sendiri (yang tidak kelaparan, tak kelayapan karena tidak punya rumah, dan aman bekerja di negara sendiri).


Para penguasa atau petinggi negeri adalah orang-orang hebat dan sukses, tetapi belum tentu mereka layak disebut pemimpin sukses – pendapat John Maxwell – jika mereka belum menemukan “tempat” yang tepat bagi pengikutnya (rakyat).


Banyaknya rakyat yang menjadi TKI ilegal merupakan refleksi bahwa mereka belum punya tempat yang tepat, bahkan di negerinya sendiri. Maka para saudaraku, jangan lagi menuntut (baca mengemis) kata “maaf” dari Malaysia dan Negara mana pun yang telah mencederai martabat kita. Itu justru refleksi dari tergerusnya martabat kita sampai ke titik nadir. Kita tak perlu maaf, kita perlu rasa hormat mereka. Dan itu tugas para pemimpin untuk bekerja lebih “sehat”!


Demikian pulalah saya di tahanan ini, saya harus bertahan dalam kehidupan yang bermartabat, tidak perlu memohon (mengemis) penangguhan penahanan terhadap kesalahan yang tidak saya lakukan. Jika itu dilakukan, sama saja dengan melegetimasi kesewenangan yang dilakukan pihak-pihak tertentu.


Pertanyaannya, jika martabat aktivis seperti saya rontok, dalam skala lebih luas tidakkah merontokkan martabat bangsa pula? Atau memang kita akan membiarkan terus-menerus bangsa ini kehilangan martabat? Entahlah.


Prasangka pihak tertentu telah menjadikan saya sebagai TO. Gerakan advokasi hutan yang saya lakukan bersama rakyat sejak belasan tahun lampau, sangat boleh jadi membuat berbagai pihak yang terkena dampaknya menjadi gerah. Sebelum ditahan, saya kerap mendapat teror.


Pada 15 Juli 2003, Sudarto menodongkan pistolnya ke arah perut kanan saya di teras Kantor Bupati Karo. Selanjutnya, penodongan itu saya adukan ke Polres Tanah Karo. Karena kurang mendapat respon, saya kembali mengadu ke Poldasu. Karena locus de licty-nya di Tanah Karo, maka pengaduan dilimpahkan kembali ke Polres Tanah Karo. Dalam pada itu Sudarto pun mengadukan saya atas dasar pencemaran nama baik. Maka perkara ini disidangkan bersamaan (split). Ketika Sudarto sebagai terdakwa saya dan yang lainnya sebagai saksi. Dan ketika Valentino (saya) sebagai terdakwa, Sudarto dan lainnya sebagai saksi.


Perkara pidana Regno: 274/Pid.B/2003/PN Kabanjahe tersebut, mulai disidangkan sekitar September 2003 dan pembacaan vonis 14 April 2004, dengan hasil bebas murni untuk saya (Valentino) dan bebas murni pula untuk Sudarto. Pada sidang pertama, saya dibentak-bentak oleh Majelis Hakim dan para wartawan tidak dibenarkan meliput jalannya persidangan, padahal itu adalah sidang terbuka.


Karena merasa keputusan pengadilan tak memenuhi rasa keadilan, saya meminta kepada Kejaksaan Negeri Kabanjahe untuk melakukan kasasi. Sebab, seandainya memang Sudarto tak terbukti melakukan penodongan, tentu saya yang harus divonis telah melakukan pencemaran nama baik. Atau sebaliknya, jika memang tak terbukti saya melakukan pencemaran nama baik, tentu Sudarto yang harus dihukum.


Berikutnya pada Jumat malam 20 Oktober 2005, sekitar pukul 23.00 Wib, lokasi BT/BS BIMA di Jalan Bantam No 6 A Medan – pusat bimbingan test dan study yang saya kelola – dikepung oknum-oknum yang menurut dugaan adalah aparat Polres Deli Serdang, Asahan dan Polsek Medan Baru serta Polsek Helvetia. Jumlah mereka lebih dari 50 orang. Pengepungan itu kemudian saya adukan ke Propam Poldasu. Berikutnya, sekitar Maret 2006, PGRI Sumut pun mempertanyakan pengaduan atas pengepungan itu, juga tak ada tanggapan.


Informasi yang saya dapatkan, pengepungan tersebut dipimpin langsung oleh Saudara Mahfud yang pada waktu itu adalah Kapolres Asahan dan Saudara Sandy Nugroho yang pada waktu itu adalah Kasat Reskrim Polres Asahan. Indikasi ini terlihat, keduanya – ketika itu – lebih banyak waktunya berada di Medan dibanding di Asahan.


Apa tujuan dilakukan pengepungan lokasi BT/BS BIMA tersebut, saya juga tidak tahu pasti. Mungkin saja untuk menakut-nakuti saya yang hanya seorang guru agar berhenti dari gerakan advokasi lingkungan yang selama ini saya lakukan. Yang pasti, pengaduan saya tersebut tak jelas rimbanya.


Ketika peristiwa pengepungan tersebut saya tanyakan kepada Saudara Yusfhi sebagai Kapolsek Medan Baru (ketika itu), jawabnya mengambang. Ketika itu Yusfhi hanya mengatakan: “saya harus menghormati senior saya”. Pertanyaannya, apakah boleh hanya karena menghormati senior, melakukan tindakan yang tidak sewajarnya dilakukan?


Selanjutnya, seorang staf BT/BS BIMA bernama Reza sempat ditabrak sepeda motornya di seputar Jalan Hayam Wuruk dekat lokasi BIMA sekitar bulan Juni 2007, namun dalam waktu sangat singkat muncul seorang aparat polisi mengaku anggota intel dari Polsek Medan Baru. Akibatnya staf tersebut ketakutan padahal situasinya, dia adalah korban penabrakan. Peristwa ini terjadi, setelah Reza tidak mau diajak kerja sama dengan mereka.


Kemudian, pada Maret.2007 saya dipanggil penyidik Polda Sumut, dimintai keterangan terkait pemuatan logo Poldasu dalam salah satu selebaran/promosi BT/BS BIMA. Sebagi warga yang baik panggilan ini saya penuhi dan menyatakan bahwa tidak ada memerintahkan staf memuat lambang Poldasu. Namun puluhan karyawan BT/BS BIMA turut diperiksa bahkan seorang staf bernama Baginda dijadikan tersangka.


Setelah tiga kali pemeriksaan, akhirnya pada Rabu (29 Agustus 2007) ditahan di Reskrim Poldasu. Padahal, sama sekali saya tidak mengetahui pemuatan lambang (logo) Poldasu tersebut. Ini benar-benar sebuah skenario yang tersistematis untuk melemahkan perjuangan penyelamatan hutan.


Kini, saya di tahanan Poldasu, apalagi targetnya, kalau bukan ingin menghancurkan martabat aktivis seperti saya? Apakah pantas saya diperlakukan seperti ini dan harus mengemis penangguhan penahanan? Kalau memang secara hukum saya pantas ditahan, akan saya lakono dengan khidmat. Tapi, dalam hati saya bertanya, kalau beginilah cara memperlakukan anak bangsa, bagaimana mungkin Malaysia yang penduduknya hanya sejumlah penduduk Sumatera Utara kurang lebih, mau menghargai martabat kita. ***


Pimpinan BT/BS BIMA Berpusat di Medan

Rabu, 12 Maret 2008

Manusia, Lingkungan dan Sastra*



Oleh: dr Robert Valentino Tarigan SPd**


Kapasitas Bumi
Kita bangsa manusia di belahan bumi mana saja: barat, timur, selatan, utara dan lainnya, haruslah sama menyadari bahwa bumi yang kita tempati ini punya batas kesanggupan memikul beban. Bumi yang tabah dan tak pernah mengeluh adalah milik satu-satunya yang harus dijaga demi kehidupan yang berkelanjutan.
Jika kapasitas bumi terlampauai – tidak bisa tidak – bencanalah yang harus kita terima. Bencana itu, tidak saja menimpa orang-orang yang selama ini memperlakukan alam dengan semena-mena. Bencana – bila itu datang – akan menghantam siapa saja. Bencana tidak mengenal si ‘raja hutan’ yang dengan perkasa membabat pohon, tidak mengenal si pemilik pabrik yang tidak mengindahkan dampak lingkungan dari limbah pabriknya, tidak mengenal si pemilik pukat harimau yang menguras habis ikan laut sampai ke benur-benurnya. Bencana itu, juga harus dirasakan si Tongat dan keluarganya yang tinggal di kaki gunung atau pinggiran sungai sekalipun.
Jumlah penduduk bumi yang kini melampaui lima miliar lebih merupakan peringatan bagi kita bangsa manusia. Menurut para ahli – termasuk Steven Hawking sang fisikawan kondang itu – bumi kita hanya mampu menampung penduduk tidak lebih dari 10 miliar saja. Jadi, andaikata kita tidak mampu menekan laju pertumbuhan manusia, niscaya kesempatan hidup di planet bumi ini perlu jadi perhatian serius.
Peradaban bangsa manusia yang menuju 6 miliar menghadapi risiko bagi kehidupan yang berkelanjutan. Pasalnya, kita telah memaksa bumi sampai ke batas kemampuannya. Sejak revolusi industri, jumlah penduduk meningkat sampai delapan kali lipat. Sementara itu, produk kegiatan industri telah naik lebih dari 100 kali lipat dibanding 100 tahun lampau.
Peningkatan jumlah penduduk serta kegiatan yang tak terduga ini menimbulkan dampak yang luar biasa pada lingkungan. Kemampuan bumi untuk mendukung kehidupan manusia dan kehidupan lain berkurang sekali. Dalam waktu kurang dari 200 tahun planet ini telah kehilangan enam juta kilometer persegi hutan; beban sedimen dari erosi tanah telah meningkat tiga kali lipat di palung-palung sungai yang dimanfaatkan secara intensif; pemakaian air telah berkembang dari 100 menjadi 3600 kilometer kubik pertahun.
Sitem-sistem atmosfer juga telah terganggu, dan mengancam tata iklim yang sejak lama sekali diadaptasi oleh manusia dan bentuk-bentuk kehidupan lain. Sejak pertengahan abad kedelapan belas, kegiatan manusia menghasilkan lebih dari dua kalilipat metana di atmosfer; meningkatkan kosentrasi karbondiaksida sebanyak 27 persen dan nyata-nyata merusak lapisan ozon di stratosfer. (Lengkapnya baca “Bumi Wahana” Gramedia Pustaka Utama halaman 4, 1993).






Keseimbangan Terganggu
Majalah Jepang Bergambar Vol 13 No 2 Tahun 1990 mengatakan, keseimbangan yang diperlukan bagi pertukaran bahan-bahan kimia secara normal antara bumi dan atmosfer yang begitu vital bagi kehidupan bumi nampaknya telah terganggu dalam tahun-tahun belakangan ini. Salah satu sebabnya adalah penggundulan hutan-hutan yang menyediakan oksigen bagi kita. Bersamaan dengan itu, obat-obat semprot dan pupuk pertanian telah menyerap ke dalam air tanah, dengan demikian mengakibatkan pencemaran air dan rusaknya tanah.
Sementara itu, karbondioksida dan gas metana, produk bungan dari potreleum, batubara dan bahan bakar fosil lainnya telah meninggikan tempratur bumi. Sedangkan sulfurdioksida telah mengakibatkan hujan asam yang mengancam flora bumi. Kini produk baungan seperti gas-gas CFC (cloroflurocarbon) sedang merusak lapisan ozon yang melindungi kehidupan di bumi dari sinar-sinar ultraviolet yang membahayakan dipancarkan oleh matahari.
Kesadaran akan pentingnya hidup yang berkelanjutan adalah merupakan gagasan yang harus terus-menerus diaktualisasikan. Sebab, sumber daya yang ada di bumi sekarang ini sudah tidak memadai, dan tanpa bencana alam atau peperangan yang memakan banyak korban, penduduk dunia tidak dapat mencapai jumlah yang mantap, yaitu kurang dari 10 miliar jiwa. Tanpa adanya bencana, penduduk dunia sekarang ini mungkin telah mencapai 12 miliar yang tak mungkin ditampung oleh bumi, makanya dunia mencanangkan program keluarga berencana.
Sistem Pendukung
Sitem-sistem pendukung kehidupan adalah prses-proses ekologi yang membentuk iklim, membersihkan udara serta air, mengatur aliran air, mendaur ulang unsur-unsur esensial, menciptakan serta meregenerasi tanah dan menjaga agar planet tetap layak untuk kehidupan.
Sementara kegiatan manusia dewasa ini secara tidak tanggung-tanggung mengubah proses-proses ini melalui pencemaran global dan perusakan atau pengubahan ekosistem-ekosistem. Gas-gas rumah kaca, terutama yang dihasilkan oleh pembakaran bahan bakar fosil, pembakaran hutan, dan pertanian serta peternakan, terkumpul di atmosfer dan menyebabkan terperangkapnya gas bumi. Jika kenderungan ini serta jika model iklim bumi yang sekarang ini benar, tempratur rata-rata planet kita diduga akan meningkat 1 derajat celcius antara tahun 1990 dan 2025 dan 5 derajat celscius sebelum akhir abad mendatang.
Sepintas ini tidak banyak, tetapi ini perubahan yang lebih cepat dibanding perubahan selama 10.000 tahun terakhir. Jika ini terus berlangsung, daerah-daerah iklim akan bergewer, pola-pola persipitasi akan berubah, permukaan air laut akan naik, dan taufan serta badai akan makin sering terjadi serta dahsyat.
Lapisan ozon yang berfungsi sebagai pelindung di stratosfer, terutama akibat CFC yang juga termasuk gas rumah kaca, dan hanya diproduksi oleh kegiatan manusia modern. Lapisan ozon bertugas menyaring sinar-sinar ultraviolet dari matahari yang bila dibiarkan lewat akan mengurangi produktivitas laut, menghilangkan kekebalan tubuh manusia terhadap penyakit, serta menyebakan kerusakan pada mata dan menimbukan kanker kulit.







Kalpataru dan Chipko
Sebenarnya Indonesia pun sudah sadar akan bahaya dari rusaknya lingkungan. Ini dapat ditandai dengan pemberian hadiah kalpataru bagi penyelamat lingkungan hidup. Ini memperlihatkan suara dari pembela lingkungan hidup masih dihargai.
Di India, dengan semangat antikekerasannya, gerakan Chipko telah berhasil menyelamatkan hutan-hutan yang akan ditebang kontraktor. Dengan semangat antikekerasan penduduk Desa Kilari India, selalu memeluk pohon-pohon bila kontraktor datang akan menebangnya. Dengan demikian kontraktor gagal menebangi pohon karena bila memaksa, berarti orang-orang desa yang memeluk pohon itu akan tertebang. Akhirnya hutan itu selamat dan kontraktor meninggalkan niatnya.
Hadiah Kalpataru dan gerakan Chipko merupakan salah satu contoh dari penghargaan dan pembelaan tanpa kekerasan terhadap lingkungan hidup. Tetapi, semakin pesatnya kemajuan teknologi dan investasi, langkah kaum industrialis akan semakin gagah dan luas. Justru itu, hari ini dan ke depan, sangat diperlukan industri yang tidak merusak lingkungan. Ini memang menyangkut masalah kesadaran, mentalitas dari masyarakat luas, baik pemilik modal maupun pembela lingkungan hidup. Kalau tidak, bisa jadi pembangunan nantinya dapat menggiring bangsa manusia ke arah alienasi (keterasingan). Bahkan tidak mustahil pula pembangunan akan menggiring kepada proses pemusnahan bangsa manusia dari permukaan bumi. Suatu kondisi yang sangat paradoks.
Bila saja terjadi kaum pembela lingkungan hidup memusuhi industri, maka laju indistri akan terhambat. Bagaimana mungkin bangsa manusia akan maju? Demikian pula sebaliknya, jika sampai terjadi kaum industrialis menganggap sepi suara gerakan pembelaan terhadap lingkungan hidup, niscaya alam akan semakin compang-camping.

Lingkungan dan Sastra
Persoalan hidup yang berkelanjutan dikaitkan dengan sastra, saya pikir, bukanlah sesuatu yang dilekat-lekatkan begitu saja. Panitia memilih topik ini – masih menurut saya – adalah hal yang tepat. Mengapa tidak, sastra dapat menggarap persoalan apa pun menjadi menarik dan aktual dengan waktu yang panjang. Bahkan tidak menutup kemungkinan karya sastra yang baik dapat hidup di sepanjang zaman.
Masalah-masalah lingkungan hidup yang ditulis para wartawan, sungguh berbeda bila digarap oleh para sastrawan. Wartawan punya banyak sensor yang berkaitan dengan perbedaan kepentingan. Sensor pertama mungkin datang dari pemasang iklan yang perusahaannya terkena dalam pemberitaan dimaksud.
Sensor kedua mungkin datang dari redaktur yang berkecenderungan kepada sumber-sumber yang kapabel. Sensor ketiga juga mungkin datang dari bagian perusahaan yang berkaitan dengan tiras atau sirkulasi koran (majalah). Sensor keempat tidak menutup kemungkinan berkaitan dengan pencabutan SIUP (Surat Izin Usaha Penerbitan) yang cenderung berlaku pada masa Orde Baru dulu. Dan sensor-senor lainnya.
Ini bukan berarti bahwa peran sastrawan jauh lebih hebat dari wartawan. Tidak, bukan itu maksudnya.
Perbedaan fungsi (tugas) masing-masing media itu tidak terletak kepada hebat atau tidaknya, melainkan kepada cara penyampaian. Bila media elektronik dapat menyampaikan berita yang sedang terjadi secara langsung, media cetak hanya akan dapat menyajikan setelah berlangsung atau akan berlangsung. Sementara sastrawan dapat mengabadikan kisah-kisah aktual itu menjadi bacaan yang mungkin untuk sepanjang zaman.
Bagaimana kisah orang tua dan laut (The Old Man and The Sea) yang digarap Ernest Hemingwey puluhan tahun yang lampau, masih enak dibaca sekarang. Bagaimana kisah perlawanan Nyi Onto Soroh dan Minke dalam menentang kapitalisme ortodoks yang digambarkan Pramudya Ananta Toer, juga puluhan tahun lampau, masih juga menarik kita baca saat ini.
Begitu pula kisah kawin paksa yang digambarkan Marah Rusli dalam Siti Nurbaya, juga tak kalah menariknya untuk dinikmati. Perjuangan Multatuli dalam membela kaum tertindas pun tak jauh beda.
Kisah-kisah yang pernah terjadi, akan terjadi dan mungkin terjadi adalah sesuatu yang dapat menjadi sumber ilham bagi pengarang (sastrawan). Sepanjang penggarapan tidak artifisial dan dapat menyentuh hal-hal yang substansi, karya itu berkemungkinan akan tetap menarik dibaca kapan dan di mana saja. Sesungguhnya karya sastra yang baik tak mengenal batas waktu dan wilayah.
Konsep Horace dulce dan utile merupakan landasan sikap bagi sastrawan. Para pembaca tidak saja dapat menarik manfaat (utile) dari karya sastra yang dibacanya, juga dapat merasakan nikmat (dulce) – yang menurut saya – tidak sekadar profan. Nikmat di dalam karya sastra dapat mencapai puncak imanen karena ia telah melalui proses katarsis.
Karena itulah, persoalan-persoalan lingkungan hidup dapat menjadi tema yang menarik bagi karya sastra. Misalnya proses pendangkalan danau, pelurusan sungai, tercemarnya sungai, laut dan udara merupakan hal yang menarik untuk disajikan dalam karya sastera (puisi, cerpen, maupun novel).
Tidak hanya masalah kerusakan, juga bagaimana akrabnya seorang anak nelayan dengan laut, akrabnya seroang anak desa dengan lingkungannya dan persolan-persoalan lainnya. Semua merupakan bahan yang dapat diramu ke dalam karya sastra.
Hal yang terpenting, karya sastra dapat menulis banyak soal tanpa harus menghujat. Karya sastra, meskipun bersifat sosial kontrol, tetap saja dengan pendekatan yang humanistis, sehingga memungkinkannya jadi universal. Sebab sesungguhnyalah esensi sastra untuk membawa pembacanya kepada proses katarsis (penyucian diri).
Nah, 14 sastrawan Sumatera Utara: Afrion, Aishah Basar, Ali Yusran, Antilan Pruba, Harta Pinem, Hidayat Banjar, Indris Pasaribu, Jones Gultom, M Raudah Jambak, M Yunus Rangkuti, Rida HR, Siti Aisyah, S Ratman Suras, dan Suyadi San sudah bicara lewat puisi-puisi ekologinya. Apakah kelak puisi-puisi itu bermakna atau tidak bagi kehidupan, waktu jualah yang akan menjawabnya. Yang pasti, Jelajah – nama kumpuluan puisi yang menghimpun 115 puisi itu – telah menorehkan jejak bahwa di negeri ini telah dan mungkin terjadi krisis lingkungan sebagaimana yang digambarkan. ***




*Disampaikan pada acara
Peluncuran Buku Kumpulan Puisi Ekologis
di Taman Budaya Sumatera Utara (TBSU)
Medan, 14 Agustus 2006

**Direktur LSM Pelindung Bumimu
dan Pimpinan BT/BS BIMA Medan