FK Pengacara 61: Dakwaan terhadap Valentino Upaya Pembunuhan Karakter
Terungkap di Persidangan
Terungkap di Persidangan
* Sudarto Mengaku Pengusaha Kayu
* Sang Sopir Membawa Senjata Majikan
* Sang Sopir Membawa Senjata Majikan
Medan ( ) – “Dakwaan terhadap dr Robert Valentino Tarigan SPd terkesan dipaksakan. Dari kelima saksi yang memberikan keterangan – termasuk Sudarto – belum ditemukan bukti-bukti atau keterangan yang mengarah ke pembuktian bahwa apa yang dilakukan terdakwa adalah benar,” tutur Al Fahmi Khairi SH dari Forum Komunikasi (FK) Pengacara 61 Medan-Sumut kepada wartawan kemarin di kantornya Jalan Bambu No 30 A Medan.
Yang lebih fatal lagi, kata Fahmi, menurut UU No 40 Tahun 1999 Pasal 12, yang bertangung jawab penuh terhadap pemberitaan adalah peminpin redaksi (pemred). Lalu, kenapa Valentino yang didakwa. “Ini merupakan eror in persona (salah terkdawanya). Seyogianya bukan Valentino terdakwa, melainkan koran-koran yang membuat berita tersebut. Pertanyaannya, kenapa bisa demikian? Ada apa?” Fahmi dalam nada tanya.
Terindikasi, adanya keinginan sekelompok orang melakukan pembunuhan karater (character assassination) Valentino secara sistematis. Bagi masyarakat Karo dan pencinta kelestarian lingkungan serta pendidikan, Valentino kan merupakan tokoh yang sangat diharapkan mereka. “Ini yang ingin mereka bunuh, bukan fisik Valentino,” tekannya.
“Kita harapkan ke depan, para penegak hukum jangan seperti ini. Pemaksaan kehendak sebagaimana yang dialami Valentino, jangan terulang lagi. Tambahan pada 24 Januari lalu, Mahkamah Agung telah mengeluarkan ketentuan, setiap kasus pers harus memakai UU Pers No 40 itu. Sementara, dakwaan terhadap Valentino dilakukan berdasarkan pemberitaan koran, lho kok Valentino yang didakwa,” tandas Fahmi.
Dalam pada itu, di dalam persidangan penodongan dr Robert Valentino Tarigan SPd terungkap bahwa Sudarto adalah pengusaha kayu. Saat Valentino sebagai terdakwa pengancaman dan pencemaranan nama baik, Sudarto sebagai saksi. Begitu juga saat Sudarto sebagai terdakwa pengancaman, Valentino sebagai saksi.
Sidang dimulai pukul 13.00 dan berakhir pukul 17.15 diawali Valentino sebagai terdakwa, dengan pengunjung ratusan orang. Ketika itu terjadi dialog antara terdakwa dan saksi.
“Saya ingin bertanya kepada Abang, tapi jawabannya, harus dipkirkan masak-masak,” kata Valentino, Sudarto mengangguk. “Apakah Abang punya usaha kayu di Karo ini?” lanjut Valanetino.
“Ya, saya pengusaha kayu, di Siosar,” jawab Sudarto. Cuma, soal menodongkan senjata, Sudarto terus membantah.
Yang terungkap lainnya dalam persidangan, seorang supir membawa senjata majikannya sebagai barang contoh, seolah rokok saja. Dalam persidangan di PN Kabanjahe 26 Januari 2004 itu, Tenov Sami, supir Sudarto yang dalam persidangan tersebut sebagai saksi menceritakan, saat majikannya berada di dalam kamar Wakil Bupati Tanah Karo Ziddin Sebayang, ajudan wakil bupati – Diana br Ginting – datang mendekati mobilnya – yang diparkir di halaman kantor bupati – untuk membawa contoh senjata itu.
“Biar saya saja yang membawa,” jawab Tenov kepada sang ajudan sembari mebawa senjata yang sebelumnya berada di dalam mobil, ke kamar Wakil Bupati Tanah Karo. Sebab, Wakil Bupati Karo, kata Tenov, ingin membeli senjata.
“Jika demikian,” tutur beberapa praktisi hukum yang hadir pada persidangan itu, “majelis hakim sebaiknya mempertanyakan, adakah izin Sudarto memperdagangkan senjata, kemudian mengaitkannya dengan UU Darurat No 51,” lanjut mereka.
Persidangan keempat kali ini dipimpin Hakim Ketua Maringan Sitompul SH, Hakim Anggota Haran Tarigan SH dan Sutiyo SH serta Jaksa Penuntut Umum (JPU) Darbin Pasaribu SH, dan Panitera Ukurken Ginting SH, mendengarkan keterangan saksi-saksi dari keduabelah pihak. Saksi yang tidak hadir, Ir Ferdinan S Depari, Ir Zuki Tarigan, Surya Bakti Sembiring, Maju Ginting, Diana br Ginting dan Drs Frans S Sihobong.
Dalam pada itu, Penasehat Hukum Valentino yang sebelumnya hanya Kaliasa Sitinjak SH, kali ini ditambah dengan Nur Alamsyah SH, Afrizon Alwi SH dan Al Fahmi Khairi Manurung SH dari FKP (Forum Komuninkasi Pengacara) 61. Penasehat Hukum Sudarto Chan Wai Khan SH dan Lihardo Sinaga SH.
Hal lain, kalau pada sidang pertama dan kedua, para wartawan tidak dibenarkan untuk memoto maupun merekam, di persidangan ketiga dan keempat ini, telah dibolehkan. Padahal, sidang pertama dan kedua, tidak beda dengan yang ketiga dan keempat – sebagaimana dikatakan majelis hakim – terbuka untuk umum. Karenanya, pada persidangan kedua, wartawan Metro TV, SCTV, Media Indonesia dan lainnya, pulang dengan rasa kecewa seraya bertutur: bullshirt.
Pada persidangan ketiga, Ken Norton dari Media Indonesia memohon izin kepada hakim untuk memoto. Semula memang tak diperkenankan. Lalu, Ken mengingatkan, UU Pers No 40 Tahun 1999 menyebutkan, barang siapa yang menghalang-halangi tugas wartawan dapat dituntut sebesar-besarnya Rp 500 juta atau 5 tahun penjara. Mungkin, inilah sebabnya, Majelis Hakim PN Kabanjahe pada sidang ketiga dan keempat membolehkan para wartawan memoto dan merekam jalannya persidangan dengan handycam.
Keseluruhan saksi – kecuali Tenov – yang hadir dalam persidangan keempat tersebut, menyatakan melihat moncong senjata (pistol) diarahkan ke perut kanan Valanetino. Para saksi yang dimintai keterangannya: Rail Ginting, Wartawan Perjuangan, Thomas Tarigan SH (staf pengajar), Pendapatan Tarigan, Zakaria Tarigan dan Rifin Tarigan, ketiganya masyarakat Barusjahe.
Begitupun, Sudarto alias Tan Aleng tetap membantah, ia tak pernah bermaksud menodong Valentino. Kata-kata sebagaimana yang ada di dalam berita-berita media massa pun, tak pernah diucapkannya maupun Valentino. Sudarto mengaku, ia dan Valentino hnya bersalaman. Sudarto juga mengaku tak pernah melambaikan tangan memanggil Valentino, melainkan Valentinolah yang memanggilnya.
“Kalau begitu, kenapa Valentino yang diadukan, bukan media massa?” tanya Afrizon Alwi SH.
“Saya tak mengerti hukum,” jawab Sudarto.
“Apakah ucapan-ucapan Valentino ada mengancam dan mencemarkan nama baik Anda?”
“Pada pertemuan di kantor bupati, tidak ada, melainkan yang ditulis Koran-koran,” jawabnya.
“Apakah dengan berita Koran itu Anda merasa terancam?” tanya Afrizon lagi.
“Tidak,” jawab Sudarto, “cuma saya merasa malu,” tambahnya.
“Lalu, kenapa Valentino yang diadukan?” Afrizon mengulangi pertanyaanya.
“Saya tak mengerti hukum,” jawab Sudarto lagi.
Diungkapkan, peristiwa penodongan Valentino itu terjadi pada 15 Juli 2003 di teras Kantor Bupati Karo. Kemudian, Valentino mengadu ke Poldasu, yang selanjutnya melimpahkan perkara ini ke Polres Tanah Karo. Dalam dakwaan jaksa, Sudarto dikenai pasal 335.
Berita-berita seputar penodongan ini kemudian meramaikan media-media massa. Merasa nama baiknya dicemarkan, Sudarto alias Tan Aleng ini pun balik mengadu. Atas pengaduan itu, Valentino didakwa melanggar Pasal 335, 310 dan 311. Bagaimana kisah selanjutnya, kita tunggu saja.
Melihat dakwaan terhadap Valentino yang berlapis (tiga pasal), beberapa praktisi hukum yang belum bersedia menyebutkan jatidirinya, kemarin di Medan mengatakan, hal itu aneh.
( ).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar