Rabu, 24 Desember 2008

Kronologi Perambahan Hutan di Sigerat Ni Padang

Kronologi Perambahan Hutan di Sigerat Ni Padang

Menurut data, sudah lebih 40 persen masyarakat Karo hidup di bawah garis kemiskinan. Kenapa ini terjadi? Tak lain, hutannya dibabat habis. Sekitar 70 persen sudah hutan Karo dihabisi, sementara masyarakatnya sangat bergantung kepada alam.
Anehnya, walau pemberitaan tentang kasus ilegal loging begitu gencar, tetapi hutan Tanah Karo masih juga dirambah. Kali ini atas nama pembangunan Taman Simalem Resort, hutan Sigerat Ni Padang, perbatasan Karo-Dairi habis dirambah.
Pada Minggu, 19 Desember 2004, dr Robert Valentino Tarigan SPd dan tim, berikut beberapa wartawan media cetak lokal maupun nasional ikut serta. Ketika itu, hutan reboisasi dan hutan lindung yang merupakan mata air Desa Pangambatan kurang lebih 250 KK, Tongging kurang lebih 250 KK, Sikodon-kodon kurang lebih 50 KK (ketiganya Kecamatan Merek), Paropo kurang lebih 300 KK, dan Silalahi kurang lebih 250 KK (Kecamatan Sumbul – Dairi) terlihat gundul.
Di Pangambatan, Valentino dan tim mendapat keterangan dari Osden Sidewang, 46, Jowangson Sidewang, 29, serta beberapa masyarakat lainnya.
Menurut masyarakat Pangambatan, pada tahun 1980 – ketika itu kepala desanya Japitu Matheus Simanjorang dan bupatinya Tampak Sebayang – hutan rakyat (hutan reboisasai) itu ditanami pinus, bibitnya dari pemerintah. Lalu pada 2003-2004, saat kepala desanya Sariaman Munthe dan bupatinya Sinar Peranginangin, wilayah itu dibabat habis. Pertanyaannya, izin dari siapa, sehingga mereka bisa membabat hutan reboisasi dan hutan lindung tersebut.
Sekarang wilayah tersebut dibangun Taman Simalem Resort dengan lokasi puluhan bahkan mungkin ratusan hektar. Namun dampaknya, kayu-kayu di wilayah itu habis ditebangi.
Dipaparkan masyarakat, sekitar tahun 2002, oleh yang mengatasnamakan panitia pembagian tanah, mereka ditawari hak kepemilikan tanah. Ada Tipe A, B, dan C. Tipe A 10 rante, B 6 rante dan C 5 rante. Untuk pendaftaran pemilikan tanah, masyarakat dikenakan Rp 250 ribu. Bagi yang tak memiliki uang, panitia yang mendahulukannya. Lalu, keluarlah surat dari camat. Selanjutnya, panitia mengatakan apabila dalam dua minggu tidak ada pembeli kayu-kayu yang ada di atas tanah tersebut, maka kayu itu utuk panitia. Tapi, jika ada yang membeli, masyarakat akan mendapatkan uang dari pembelian kayu. Kenyataannya tak seorang pun memperoleh penjualan kayu karena memang selama dua minggu tidak ada pembelinya.
Setelah surat-surat keluar, tanah itu kembali dibeli oleh panitia dengan harga Rp 2-5 juta. Sekarang tanah itu diusahai oleh PT MIL (Merek Indah Lestari) dan dibangun Taman Simalem Resort, yang menurut para pekerja, di lokasi itu sedang dibangun hotel, kantin, kolam renang, tempat hiburan, dan lainnya.
Berikutnya Valentino mendapat informasi dari masyarakat Sikodon-kodon tentang dampak dari perambahan hutan yang berakibat langsor. Terakhir terjadi 30 November 2004. Parlindungan Simanjorang, 42, mengaku, lahannya seluas 1000 meter rusak. Lahan yang rusak secara keseluruhan sekitar 20 hektar.
“Kini asal hujan tiba kami cemas. Sebab, setiap saat longsor dapat saja terjadi. Air minum pun jadi susah. Air dari mata air yang dulunya bisa langsung dimasak, kini harus diendapkan selama dua hari. Kalau tidak diendapkan, air tersebut mengandung pasir. Jika hal ini tidak ditanggulangi sesegera mungkin, diperkirakan Desa Sikodon-kodon kelak akan tertimbun,” cerita masyarakat Sikodon-kodon.
Disebutkan lagi, sebagian dari anggota masyarakat, sudah ada yang mendapat ganti rugi dari pemerintah setempat, berkisar Rp 2 – 5 juta.
Parlindungan sendiri ketika itu dijanjikan Rp 3,5 juta tetapi hingga saat ini tak menerimanya. Padahal, dari ladang tersebut, ia bisa tiga kali panen bawang setiap tahunnya. Sekali panen, tidak kurang memperoleh hasil Rp 1 juta. Belum lagi mangga dan pokat, sertas padi. Kini, semua itu tak dirasakan lagi.
Jadi untuk memenuhi kebutuhan hidup, Parlindungan ayah empat orang anak ini, mengolah sawahnya yang tak terkena longsor, sekitar 1 km dari kediamannya. Begitu juga dengan anggota masyarakat lain, mengolah lahan yang tak terkena longsor atau mencari upahan di tanah orang lain. “Karena itu, kami akan mengadukan masalah perambahan hutan ini ke pihak terkait,” masyarakat.
( ).

Tidak ada komentar: