Rabu, 17 Desember 2008

Valentino Menyongsong Kepastian Hukum

Oleh: Hidayat Banjar*

Lelaki 40-an ini lahir di Tanjung Morawa, yang ketika itu sangat ndeso. Tentu saja ia demikian akrab dengan pohon bahkan menyatu dalam kehidupannya. Di depan, di belakang, dan di samping rumah terhampar pepohonan nan rindang. Seluruh permainan desa kerab melibatkan pohon; perang-perangan, motor-motoran, petak umpet, tam-tam buku, dan lain sebagainya. Karena itu, Valentino – lengkapnya dr Robert Valentino Tarigan SPd – meyakini pohon adalah kehidupan.
Makanya, ketika suatu kali, keluarga menebang pohon mangga di halaman rumahnya, Valentino kecil, yang ketika itu berkisar 8 tahun meraung-meruang. Sahabatnya, sang pohon telah tumbang, telah mati dan berubah jadi kayu. Sang ibu tentu saja gelagapan membujuk Valentino kecil agar tak menangisi kematian sahabatnya (pohon mangga).
Itulah sedikit masa kanak, kelaki yang dilahirkan 30 November 1963 ini, yang dibawa dalam benaknya hingga dewasa. Wajar saja, ketika ia melihat orang-orang dengan sesukanya menebangi pohon, Valentino berteriak. Gemanya sampai ke mana-mana. Tentu ada yang gerah. Valentino pun terus ‘diincar’. Kalau perlu dicecar, bahkan dilumat sekalian. Tapi tak ada celah.

Menyertakan Logo
Syahdan seorang staf – entah dengan maksud apa – menyertakan logo Poldasu di dalam brosur bimbingan untuk ujian tulis calon Bintara. Celah itu pun terbukalah, Valentino kemudian ditahan di Poldasu. Sementara sang staf yang beranama Baginda Aritonang SH, ketika jadi tersangka, tidak ditahan di polisi. Baginda ditahan saat berkasnya dilimpahkan ke Kejatisu.
Valentino pun mulai ditahan Rabu (29/8) terkait masalah pemakaian logo Poldasu tanpa izin di brosur yang pencetakannya sama sekali tidak diketahuinya. Sekali lagi, yang mencetak brosur itu adalah stafnya bernama Baginda Aritonang. Karena kesalahan yang tidak ketahuinya itu, Valentino dijerat pasal 378 dan 228 dan harus masuk sel.
Berbagai elemen masyarakat, seperti mahasiswa, ormas, LSM, keluarga, dan lainnya, menganjurkan agar Valentino memohon penangguhan penahanan. Sembari mengenang proses penahanannya yang terkesan unik, dan permintaan berbagai elemen itu, Valentino bertanya kepada penulis: apa salah saya, sehingga harus memohon penangguhan penahanan? Apakah saya tidak boleh menguji sejauh mana hukum dan aparatnya telah berjalan di rel yang benar?
“Apakah permohonan penangguhan penahanan, bukan merupakan upaya merontokkan martabat aktivis seperti saya? Dengan memohon penangguhan penahanan, berarti saya mengakui kesalahan yang dituduhkan. Apakah wajar saya mengakui kesalahan yang tidak saya lakukan? Sementara permohonan ini itu pastilah dibarengi dengan barter: mencabut gugatan praperadilan yang sudah didaftarkan tim pengacara saya ke Pengadilan Negeri Medan (Jumat 31/08-07) dan menghentikan advokasi hutan yang sudah belasan tahun saya lakoni,” ungkapnya berkali-kali pada penulis.
Gugatan praperadilan itu kandas alias ditolak. Sidang terakhir gugatan peraperadilan berlangsung Senin (17/9) di Ruang Sidang 4 Pengadilan Negeri (PN) Medan. Karena itu, atas nama tim advokasi, Afrizon Alwi mengemukakan, sejak awal pihaknya sudah menduga gugatan akan ditolak. “Ini karena hakim masih berparadigma lama dalam memandang bukti awal yang cukup,” tuturnya.
Katanya, berdasarkan bukti-bukti yang ditampilkan di persidangan, memperlihatkan lemahnya kasus sangkaan terhadap pemohon. Terbukti pelaku utamanya Baginda Panuturi Aritonang SH selama proses penyelidikan dan penyidikan, tidak pernah ditangkap dan ditahan di Poldasu, meskipun belakangan tersangka/terdakwa utama dan berkasanya telah diserahkan ke Kejaksaan.

Tempat Menguji
Praperadilan seyogianya sebagai tempat untuk menguji sah tidaknya tersangka dalam status penangkapan dan penahanan. Berdasarkan bukti-bukti BAP yang dijadikan termohon justru secara faktual disangkal langsung oleh tersangka utama, yakni Baginda Panuturi Aritonang SH.
Karena hakim masih dengan paradigma lama, tidak punya keberanian moral untuk melakukan terobosan hukum, maka gugatan itu pun ditolak. Hakim mengatakan, prosedur penahanan sudah tepat. Pijakan hakim adalah adanya surat penahanan dan BAP (Berita Acara Pemeriksaan).

Sudah Jadi TO
Valentino adalah Direktur LSM Pelindung Bumimu yang kerap mengadvokasi hutan dan mungkin sudah jadi TO (target operasi) pihak-pihak tertentu seraya menunggu peluang (celah) untuk menjerat dan pada akhirnya meluluhlantakkan upaya dirinya bersama masyarakat luas menyelamatkan hutan.
Valentino benar, anjuran untuk memohon (baca: mengemis), penangguhan penahanan tersebut memang tidak harus dipenuhinya. Menderita? Valentino, saya yakini memang benar-benar menderita di tahanan berbaur dengan beragam manusia, dari penjahat kelas teri sampai kelas kakap. Berbaur dengan orang yang terpaksa membunuh/berbuat jahat atau sudah kawakan.
Menderita? Ya, Valentino benar-benar menderita. Tapi, tidakkah lebih menderita, orang-orang yang selamat dari bencana banjir dan longsor akibat pencurian kayu besar-besaran? Korban-korban itu hidup di tenda-tenda dalam keadaan dingin, kekurangan makanan, sanitasi yang buruk dan lain sebagainya. Sementara puluhan, ratusan bahkan ribuan nyawa meregang secara bersama-sama. “Makanya, walaupun pahit, penderitaan ini harus saya pikul,” tegasnya.

Hari-hari di Sel
Jujur saja, hari-hari di sel memang memuakkan, tidak saja bagi sosok sekaliber Valentino. Siapa pun, jika berada di dalam sel, pastilah merasa jerih, muak, bahkan nausea. “Tapi mau bilang apa lagi kalau sudah demikian adanya. Pekerjaan-pekerjaan kantor harus saya selesaikan di tahanan,” ungkapnya.
Hari-hari di sel tentu dirasakan Valentino yang dinamis, berjalan demikian lambat, menyebalkan dan membuat depresi. Para piket yang terkadang agak longgar, dan terkadang sangat kaku, ini juga merupakan tekanan psikologis.
Yang ironis, pernah pada Jumat (7/9) panas badanya mencapai 39 derajat C. Valentino meriang dan menggigil. Tensi dokter Polda Sumut 170/120. Yang Valentino membuat bingung ketika minta berobat di luar terus dibola-bola. Terakhir panas badannya 39 derajat C, ia menjerit-jerit kesakitan. Ia minta valium, supaya bisa tidur dan tidak kesakitan, tak diberikan.
Padahal, 4 hari sebelumnya (3/9) – menurut Valentino – ada tahanan kasus togel (toto gelap), kondisinya seperti gejala yang ia alami. Begitu menggigil, dokter dan ambulans cepat sekali datang. “Kenapa kepada saya tidak dilakukan hal yang sama. Dari pukul 10 pagi hingga pukul 13.00 baru datang bantuan pengobatan. Bukankah ini perlakuan diskriminasi? Saudara-saudaralah yang mejawabnya. Cuma, apa oknum-oknum ini gemar mendengar orang menjerit-jerit?” tanyanya. Hanya waktulah yang menjawabnya. Ya, hanya waktu pulalah yang akan menjawab akankah perkara Valentino sampai ke pengadilan atau di-SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan)-kan? ***

Peminat Masalah Sosial Budaya
Tinggal di Medan

Tidak ada komentar: