Rabu, 24 Desember 2008

Mengenang Tragedi Bohorok - Membuka Catatan Buram Hutan Kita

Mengenang Tragedi Bohorok
Membuka Catatan Buram Hutan Kita
Oleh dr Robert Valentino SPd*


Mengenang tragedi Bohorok hampir setahun yang lalu (2 November 2003 malam) sesungguhnya adalah membuka catatan buram tentang hutan kita. Tak perlu memang saling menyalahkan, yang penting ke depan semua kita harus introspeksi dan mawas diri. Sebab, bencana tetaplah bernama bencana meskipun dibolak-balik dengan berbagai apologi dan dibungkus kalimat-kalimat manis penuh retorika.
Yang pasti, luka para korban yang ditinggal mati keluarga tetaplah bernama luka, meskipun sudah dibalut dengan perban sutra. Justru itu, mengenang tragedi Bohorok yang terjadi hampir setahun lalu, bukanlah upaya membungkus luka dengan perban sutra atau membuka kembali luka yang mulai terkatup. Tidak! Mengenang tragedi Bohorok setahun yang lalu adalah upaya mengingatkan kita semua agar jangan lagi abai mengurus lingkungan (hutan).
Dari pantauan secara umum, nadi kehidupan di Bukit Lawang sudah berdenyut, bahkan cukup kuat. Masyarakat giat bekerja untuk memulihkan kembali kondisi kehidupan mereka. Berseri dan bersemangat untuk menata kembali kehidupan yang sempat porak-poranda dihempas amukan alam.
Di tempat penampungan bagi para korban, anak-anak kelihatan tertawa riang, berlari kian ke mari sambil bercanda dengan beberapa orang turis asing yang membaur di pengungsian. Mereka terlalu muda untuk mengenal duka orangtua. Di beberapa barak, para pengungsi memberdayakan diri kembali.
Ada yang membuat kerajinan tangan dari bahan-bahan alam sekitar, seperti bambu. Ada juga keluarga yang menekuni pembuatan roti dengan berbagai rasa. Kondisi perekonomian mereka mulai membaik. Beberapa kantor agen perjalanan sudah pula dibuka. Turis-turis lokal mulai berdatangan. Pokoknya, hidup sudah semakin hidup. Itulah kondisi secara umum.

Mayat-mayat Bergelimpangan
Begitupun, jika kita mengenang tragedi hampir setahun yang lalu, rasanya dunia sudah kiamat bagi warga yang terkena musibah. Ya – ketika itu – bulu kuduk siapa yang tak meremang menyaksikan 152 mayat bergelimpangan dan 100 orang hilang, 400 rumah, penginapan serta cottage dan lainnya porak-poranda. Mayat-mayat itu berjejer rapi di depan sebuah Mushalla menanti giliran dimakamkan. Mayat-mayat itu, sebelumnya adalah manusia yang berjiwa dan dalam seketika bagai seonggok daging tak berharga. Jiwa-jiwa mereka meregang dan lepas dari tubuh di dingin malam dalam hempasan bah yang membawa balok-balok kematian.
Ini adalah bencana nasional akibat ulah manusia yang serakah. Senin (3 November 2003) hampir setahun yang lalu, saya dan rekan-rekan sempat menyaksikan peristiwa tragis itu. Apa pun kesimpulan yang diambil para pemegang kebijakan, yang pasti – ketika bencana tiba – di kawasan Bukit Lawang terdapat ribuan meter kubik kayu log.
Tak seorang pun mengira, Minggu (2 November) malam itu, kilat yang menyambar-nyambar di antara gelapnya awan di puncak Gunung Leuser akan membawa malapetaka bagi manusia yang menghuni kawasan bagian hilir (Bukit Lawang). Semuanya sangat cepat. Cuma 20 menit, demikian warga Desa Bukit Lawang, Langkat Sumatera Utara, sambil berlinang air mata, menceritakan kepada penulis di 3 November 2003 lampau.
Banjir berawal sekitar pukul 19.00. Tepat pukul 22.00, suara gemuruh, langsung menghantam apa saja yang berada di sepanjang daerah aliran sungai Bohorok. Pusaran air yang begitu kuat menyebabkan Budi – salah seorang warga yang bercerita pada saya – tidak mampu menyelamatkan istri dan ketiga anaknya. Di tengah gemuruh air dan derak kayu yang menerobos perkampungan, Budi masih mendengar jeritan-jeritan minta tolong. Akan tetapi seperti warga lainnya, dia hanya mampu menyelamatkan diri sendiri.
Hanya dalam waktu 20 menit, desa itu sudah rata dengan tanah. Tidak ada yang tersisa. Yang nampak dalam peninjauan kami itu, gunungan kayu gelondongan tanpa kulit dan kedua ujungnya bekas potongan sinso. Hanya sebagian kecil kayu-kayu bersama akarnya, tersebar di beberapa titik di kampung wisata itu. Kayu-kayu itu terdiri dari merbau, meranti batu, dan kayu-kayu hutan primer lainnya. Tak sedikit dari kayu-kayu itu berdiameter mencapai dua meter dengan panjang sedikitnya 30 meter. Juga terlihat rumah-rumah, penginapan, cottage dan lainnya yang porak-poranda.

Akar Bagian yang Paling Kuat
Menurut Dr Majid Damanik ahli kehutanan Universitas Sumatera Utara, bagian yang paling kuat dari pohon kayu adalah akar. Jadi, jika batang pohon kayu yang dijumpai di Bukit Lawang – tumbang akibat longsor – seharusnya seluruh kayu tersebut lengkap dengan akarnya. Kalaupun terjadi benturan kayu dengan bebatuan dan tebing batu di sepanjang sungai, maka yang hancur bukan akarnya tetapi dominan dari yang paling lunak yaitu ranting selanjutnya batang dan terakhir akarnya. Di Bukit Lawang akar pohon kayu sangat minim dijumpai, yang dominan adalah batangan kayu gelondongan dengan kedua sisinya dipotong.
Terlihat juga lima mobil pribadi dan dua bus berbadan besar yang sedang berada di areal parkir tidak luput dari terjangan banjir. Satu bus besar bermerek Pembangunan Semesta – yang biasa melayani trayek Bukit Lawang-Medan bernomor polisi BK 7020 LB – ikut terjungkal bersama satu jip Daiahtsu Taft Rocky. Sisanya terjepit di antara balok-balok kayu yang berukuran besar.

Setiap Malam Kayu Dihanyutkan
Dalam kunjungan saya dan kawan-kawan ke Aula RSU Djoelham Jumat (7/11) sore, korban-korban yang dirawat juga mengatakan bahwa kayu-kayu yang dirambah dihanyutkan dari hulu pada malam hari. Setiap malam sedikitnya sepuluh balak dihanyutkan, tutur Hendrik Cs kepada kami.
Seorang saksi hidup tragedi Bukit Lawang yang berusia 24 tahun ini, menerangkan, waktu ia mengantar turis, terdengar suara sinso meraung-raung di tengah belantara Leuser. Tetapi karena daerah tersebut dikatakan oleh Dinas Kehutanan Langkat adalah daerah terlarang, mereka tak berani masuk. Karena Polisi Khusus (Polsus) alias ranger dari Dinas Kehutanan terlihat malang-melintang dan bebas berkeliaran di daerah itu, ungkap Hendrik.
Menurut Hendrik, aksi itu sudah barlangsung selama sekitar satu tahun, sebelum tragedi yang mengenaskan terjadi. Sayangnya aparat penegak hukum tidak berani bertindak.
Lebih jauh, mahasiswa D3 Jurusan Informatika di IBI (Institut Bisnis Indonesia) Medan ini, mengatakan, mereka mendiamkan aksi perambahan hutan tersebut, karena takut diteror. “Jika melarang, bisa-bisa masa depan kami untuk tinggal lama di kawasan Bukit Lawang hanya impian. Bahkan ancaman dan teror akan kami rasakan bila terlalu mengurusi aksi liar itu,” tegas Hendrik yang orangtuanya jadi korban dalam musibah itu.

Malapetaka Terbesar
Menurut catatan, kejadian Bohorok merupakan malapetaka yang tergolong besar terjadi di Indonesia sepanjang tahun 2003. Kejadian itu, menelan korban 152 orang dan 100 orang hilang, 400 rumah dan cottage porak-poranda yang diperkirakan kerugian material sebesar Rp 200 miliar.
Mengenai illegal logging di Indonesia, terutama pulau Sumatera, Jawa dan Kalimantan di bulan Juni 2003 lalu sudah menjadi masalah internasional. Karena, kelompok pecinta lingkungan kelas tingkat dunia “Greenpeace” di Inggris mengekspos kepada media elektronik dan pers hasil investigasinya di Indonesia terhadap 30 sampel, yaitu Sumatera, Jawa dan Kalimantan. Disebutkan, 70% - 80% produksi kayu Indonesia berasal dari kegiatan illegal logging yang melibatkan militer dan merampas hak-hak penduduk sekitar hutan, sehingga penyusutan hutan di Indonesia merupakan yang tertinggi di dunia (Majalah Gatra, 28 Juni 2003).
Tentang kondisi hutan di Indonesia secara menyeluruh disebutkan mengalami penyusutan 1,6 huta hektar setiap tahun. Sedangkan khusus Pulau Jawa, hutan kritis telah mencapai 375.000 hektar. Hal ini diungkapkan Ir Marsono, Direktur Utama Perum Perhutani pada acara Workashop Nasional Kehutanan yang diselengarakan Sumber Daya Alam Watch di Kota Tegal, Selasa (3 Februari 2004).
Data Dephut 2003 mencatat, luas hutan yang rusak atau tak dapat berfungsi optimal mencapai 43 juta hektar dari total 120,35 juta hektar. Sedangkan laju degradasi dalam tiga tahun terakhir mencapai 2,1 juta hektar per tahun.
Laporan lain menyebut 1,6 sampai 2,4 juta hektar hutan Indonesia hilang setiap tahun. Bisa dikalkulasikan, setiap menit lahan hutan Indonesia yang hilang setara dengan enam kali luas lapangan sepak bola.
Jika percepatan degradasi dan kerusakan hutan tersebut dibiarkan berlanjut, Bank Dunia memprediksi, hutan daratan rendah di Sumatera musnah pada 2003, Kalimantan 2005 dan Sulawesi 2010.
Dalam pertemuan dengan lembaga donor Consultative Group on Indonesia (CGI) Januari 2003, Indonesia mengaku mengalami kerugian 679 juta dolar AS per tahun akibat aktivitas penebangan kayu secara liar.
Dalam pada itu, Yayasan Wana Lestari (Walet) membuktikan kebenaran informasi adanya aktivitas pencurian kayu di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) di Besitang, Kabupaten Langkat. Investigasi yang dilakukan bersama Unit Manajemen Leuser (UML) pada Desember 2003 hingga Januari 2004, ditemukan ribuan hektar kerusakan hutan di kawasan itu.
Firmansyah Putra SE, Kordinator Operasional Walet dalam keterangan persnya, Kamis (5/2) mengatakan, kerusakan hutan diduga kuat sebagai ekses dari penebangan liar yang berlangsung cukup lama. “Buktinya, dalam hitungan kami, hutan yang gundul meliputi kawasan seluas 3.000-4.000 hektar,” katanya.
Dengan demikian, jelas bagi kita semua rakyat Indonesia, bahwa pencurian kayu atau illegal logging di hutan lindung di Indonesia, sudah terencana dengan rapi dan professional. Kegiatan ini, melibatkan aparat kehutanan, kepolisian, militer, bea cukai dan kepala daerah.

Tim Investigasi
Untuk membuktikan dugaan bahwa bencana Bohorok disebabkan illegal logging atau bencana alam biasa, saya – dr Robert Valentino Tarigan SPd – menurunkan tim investigasi yang menyusuri tepian sungai sekitarnya dari hilir sampai ke hulu. Hasilnya, merupakan hadiah Tahun Baru 2004 yang telah diedarkan lewat CD (Compact Disc). Tak dapat disangkal, banjir Bukit Lawang menegaskan adanya illegal logging bukan bencana alam semata. Di samping CD, masalah ini pun saya sebarluaskan melalui website www.jungle-robertvalentino.com.
Dari investigasi tim – dilakukan berulang kali – terbukti bahwa banjir bandang yang menewaskan ratusan warga dan memporakporandakan ratusan hektar persawahan di kawasan Wisata Bukit Lawang itu – sekali lagi – bukan bencana alam murni, melainkan karena ulah tangan manusia. Hutan di sekitar DAS (Daerah Aliran Sungai) Bohorok porakporanda. Kayu-kayu hasil tebangan tersebut, ditumpuk, kemudian dihanyutkan lewat sungai dan ditampung di Pantai Pisang, selatan Bukit Lawang.
Akibat perambahan hutan itu, daerah pegunungan di sepanjang aliran sungai tanahnya menjadi retak dan gampang longsor. Pasalnya akar-akar kayu yang besar sebagai resapan air dan penyangga pori-pori tanah agar tetap stabil – tak mudah longsor – habis dibabat. Kayu-kayu besar, punah di tebang para maling kayu untuk dijadikan papan maupun broti yang dihanyutkan melalui sungai itu.
Ternyata – setelah melalui proses yang tak gampang – diketemukan, penebangan kayu secara liar, hanya sekitar ratusan bahkan puluhan meter saja dari atas bukit ke aliran Sungai Bohorok. Kayu-kayu tersebut – setelah ditebang – dijatuhkan melalui jurang ke sungai untuk dihanyutkan menuju lokasi pengolahan guna dijadikan papan atau broti. Adanya bekas jalan untuk menjatuhkan kayu ini – apabila hari hujan – air akan mengalir dari sana, maka terjadilah longsor.
Di lokasi hutan TNGL (Taman Nasional Gunung Leuser) dan hutan lindung tersebut, tidak terlihat lagi kayu-kayu besar. Yang ditemui tim dalam tiap kali investigasi hanyalah kayu kecil-kecil. Manalah mungkin hutan lindung yang berumur ratusan tahun tidak memiliki kayu besar. Ke mana perginya kayu-kayu besar, kalau bukan dibabat habis.
Jadi, tidak salah kalau masyarakat sekitar daerah tujuan Wisata Bukit Lawang setiap malam melihat ada balok yang hanyut, meski mereka tidak mengetahui siapa pemiliknya. Guna mengatisipasi longsor, masyarakat yang mendiami DAS Bohorok – khususnya masyarakat yang ada di daerah Wisata Bukit Lawang – membuat surat undangan rapat. Ternyata, sebelum diadakan rapat, banjir bandang terlebih dahulu datang. Sangat tiba-tiba sekali, dalam hitungan menit, bencana itu meluluhlantakkan Bukit Lawang. Kasihan nasib para saudara kita yang ada di sana.

Kenapa Petugas Tak Melihatnya?
Nah yang menjadi pertanyan, apakah para Polhut atau petugas kehutanan lainnya di daerah itu tidak melihatnya ? Kita khawatirkan dalam kegiatan pencurian kayu ini ada kerja sama yang baik antara Polhut dengan para maling yang beroperasi di daerah ini. Kalau kita tanyakan kepada warga di sana, mereka enggan berbicara tentang pencurian kayu. Kenapa? Kemungkinan mereka mendapat intimidasi dari orang tertentu sehingga takut berbuat bahkan berbicara. Untuk membuktikan hal ini, tidak ada jalan lain, selain kita harus turun ke lapangan.
Makanya tim, melihat secara langsung apa yang terjadi di atas Daerah Aliran Sungai Bohorok itu. Ternyata yang ditemui tim di sepanjang aliran sungai itu ada kegiatan illegal logging secara besar-besaran. Anehnya, para pejabat pemerintah kita mengatakan kejadian banjir bandang dikarenakan bencana alam murni. Karena itulah saya edarkan CD sebagai hadiah Tahun Baru 2004 ketika itu.
Banyak kalangan tidak sudi kasus Bohorok ini diperlakukan seperti kasus Banjir Sunggal pada 2002 yang merenggut 13 jiwa, tetapi tidak dapat berbuat apa-apa. Banjir Sunggal jelas akibat perambahan hutan lindung yang ada di daerah Lau Si Gedang Tanah Karo-Langkat, tapi disebut hanya bencana alam biasa.

Hutan Sumut akan Habis
Jika demikian terus-menerus, maka Sumatera Utara akan berubah seperti Riau, Jambi dan Jawa. Apakah ini yang kita ingini? Dulu ketika hutan masih lebat dan asri, Riau, Jambi dan Jawa merupakan daerah subur dan rakyatnya sangat makmur. Setelah hutannya habis dirambah para maling kayu maka daerah ini menjadi gersang. Masyarakat di sana makin lama makin memprihatinkan. Beberapa daerah di Jawa yang dulunya dikenal dengan lumbung padi, namun saat ini untuk mendapatkan air saja harus menjual harta bendanya.
Selain ancaman bencana kekeringan (sulit air), sebahagian daerah Sumatera Utara yang berdekatan dengan DAS akan kerap pula terancam banjir. Sehingga bagi saudara-saudara kita yang bermukim di daerah aliran sungai itu, akan merasa tidak nyaman bila hari mendung. Apakah ini yang kita ingini? Kalau jawabannya “tidak!”, harusnya hukum dapat menjerat para maling kayu yang hanya memikirkan kepentingan pribadi dan kelompoknya saja? Kalau aparat penegak hukum terus-menerus diam, maka maling-maling tersebut akan berbuat sesuka hatinya tanpa memikirkan akibatnya kepada masyarakat luas.
Seyogianya, hampir setahun sudah tragedi Bohorok, kita dapat menarik banyak pelajaran yang berharga tentang kelestarian hutan. Jika kita abai mengawasi hutan, bencanalah akan tiba. Semoga tragedi Bohorok tak terulang lagi, di mana dan kapan saja. Semoga pula tragedi Bohorok jadi pelajaran berharga bagi kita semua, terutama warga masyarakat yang masih memiliki hutan seperti Tanah Karo agar dapat menjaga kelestariannya. Terlalu berharga sebatang pohon jika diukur hanya dengan helaian rupiah atau dolar. Sebab, di balik helaian rupian atau dolar itu, tersembunyi bencana yang datang tak memberi aba-aba.***
dr Robert Valentino Tarigan SPd
Pimpinan BT/BS Bima Medan.

Tidak ada komentar: