Rabu, 24 Desember 2008
Permohonan Penegasan Status Hukum Valentino
TIM ADVOKASI
ROBERT VALENTINO
Alamat: Jalan Bambu No 30 A/48 A Medan Telp (061) 6622725/(061) 4558213
Nomor : 01/ Tim.Ad/I/2008
Lamp : Satu Berkas Pandangan dan Klarifikasi Hukum
Hal : Mohon Penegasan Status Hukum
Sdr dr. Robert Valentino Tarigan S.Pd.
Kepada Yth :
BAPAK KAPOLDASU
c/q DIT- RESKRIM
di-
T E M P A T
Dengan hormat,
Kami dari Tim Advokasi Robert Valentino sebagai kuasa hukum dr. Robert Valentino Tarigan S.Pd. beralamat di Jalan Bambu No.30 A dan Jalan Bambu No. 48 Medan, Telepon/Fax: (061)- 6622725 dan (061)-4558213, kode Pos 20235 bertindak untuk dan/atau atas nama kepentingan hukum klien kami sebagai Tersangka berdasarkan Laporan Polisi No. Pol: LP/30/II/2007/ Dit Reskrim Tanggal 01 Febuari 2007. Tim Advokasi bertindak berdasarkan kekuatan Surat Kuasa Khusus Tertanggal 30 Agustus 2007, dengan ini menyampaikan pandangan hukum dan sekaligus memohon kejelasan dan ketegasan status hukum klien kami dr. Robert Valentino S.Pd. yang telah ditetapkan sebagai Tersangka dan pernah ditahan selama 48 hari di Tahanan Mapoldasu, secara rinci dapat kami sampaikan sebagai berikut:
I. LATAR BELAKANG
1. Kami sebagai kuasa hukum Tersangka berkeinginan memberikan kontribusi pandangan dan masukan atas langkah-langkah penegakan hukum di Sumatera Utara, sebagai salah satu cerminan penegakan hukum di daerah yang kemungkinan (terjadinya inkonsistensi dan penyimpangan atas upaya reformasi hukum/penegakan hukum). Pandangan ini setidak-tidaknya bisa menjadi hikmah dan pelajaran dalam pemurnian penegakan hukum bangsa ini. Kami berpandangan bahwa langkah-langkah dan kebijakan aparat penegak hukum di Sumatera Utara mempunyai nuansa sama dengan langkah-langkah penegakan hukum di daerah lainnya. Oleh karena itu, kami sebagai bagian dari sistem penegak hukum dengan menundukkan kepala dan membentangkan dua tangan sepuluh jari menyampaikan permohonan penegasan/kejelasan status hukum klien kami Sdr dr. Robert Valentino S.Pd. sebagai upaya/komitmen kita bersama untuk menegakkan hukum terutama kepastian hukum. ---------------------------------------------
2. Bahwa dengan tidak mengenyampingkan posisi kami sebagai kuasa hukum tersangka, kami memandang mewujudkan keadilan dan kebenaran sesungguhnya, bukanlah sesuatu yang gampang atau sekedar digampangkan, tetapi justru langkah dan upaya mewujudkan keadilan dan kebenaran sesungguhnya membutuhkan suatu tekad dan komitmen kuat serta didukung dengan siraman keimanan yang ikhlas. Untuk mewujudkan tekad tersebut membutuhkan kasih sayang dan kerinduan akan jembatan emas keadilan dan kebenaran.---------------------------------------------------------------------------------------------------
3. Kami sangat percaya Kapolda Sumut memiliki tekad sebagaimana diungkapkan di atas merupakan capaian dan harapan yang lahir dari lubuk hati terdalam dengan belaian kasih sayang, sehingga upaya penegakan hukum jangan sampai sia-sia akibat adanya segelintir pihak yang ingin memanfaatkan kelemahan dan celah hukum, untuk kepentingan di luar koridor hukum.------------------------------------------
II. POSISI HUKUM KLIEN SEBAGAI TERSANGKA
1. Bahwa tanpa disangka akhirnya klien kami disangkakan terlibat/ikut serta dan membantu melakukan Tindak Pidana sebagaimana dimaksud Pasal 378 Subs 228 KUHPidana Jo Pasal 55 ayat (1) atau Pasal 56 KUHPidana sesuai Bukti Lapor LP/30/II/2007 Dit Reskrim Polda Sumut, tanggal 01 Febuari 2007 dengan sangkaan “melakukan tindak pidana turut membantu melakukan penipuan atau memakai tanda kehormatan atau melakukan perbuatan dalam jabatan yang tidak dipegangnya”.-------------------------------
2. Sangkaan terhadap Tersangka sangat berhubungan erat dengan perannya sebagai insan pendidikan dan aktivis lingkungan termasuk usaha-usaha menyelamatkan hutan di berbagai daerah di Sumatera Utara. Sangkaan terhadap Valentino terkesan dipaksakan dengan menetapkan dirinya dalam status penahanan di Rumah Tahanan Polda Sumut. Padahal, posisinya sebagai tersangka dan status penahanannya perlu diuji secara materi dengan pendekatan penyidikan sesuai dengan koridor hukum yang berlaku. Sebab, pelaku utamanya (Baginda Aritonang SH) sama sekali tidak ditahan di Poldasu.---------------------------------
3. Valentino ditahan selama 48 hari, dengan sangkaan yang sama sekali tidak diketahuinya. Karena, pencetakan borosur BT/BS BIMA yang mencantumkan logo Poldasu di luar mekanisme yang ada. Baginda Aritonang sendiri (tersangka utama), tidak pernah ditahan di Poldasu, melainkan di tahanan Kejaksaan di Tanjung Gusta. Itu pun setelah Valentino ditahan pada 29 Agustus 2007, barulah Baginda dan berkasnya dibawa ke Kejasaan dan ditahan pada 30 Agustus 2007. Sebelumnya, berkas Baginda Aritonang bolak balik antara Poldasu dan Kejaksaan Tinggi. Kalau tidak salah, ada tujuh kali hal itu terjadi. Pada tanggal 30 Agustus itu pun, terjadi debat yang panjang antara petugas Poldasu dan Kejatisu terhadap status Baginda. Dari pukul 10.00 pagi, hingga 16.00 Wib – perdebatan berlangsung – barulah Baginda dan berkasnya diantar ke rumah tahanan Tanjung Gusta.-----------------------------------------------------------------
4. Ketika proses pencetakan brosur yang berlogo Poldasu akan dilakukan, Staf/Pelaksana Harian/Wakil Pimpinan BT/BS BIMA – atasan langsung Baginda Aritonang – yang bernama Ir. Ruth Siahaan telah melarang pelaku utama, agar hal tersebut jangan dilakukan. Tapi, tanpa sepengetahuan manajemen, Baginda melakukan pencetakan dan penyebaran brosur, yang selama ini tidak pernah dilakukannya, termauk manajer lain.------------------------------------------------------------------------------------------------------
5. Dalam persidangan di PN Medan pada tanggal 3 Desember 2007, Mejelis Hakim menyatakan bahwa pemakaian logo Poldasu dinyatakan tidak punya alasan yang kuat sebagai tuntutan hukum. Baginda Aritonang divonis 3 bulan 6 hari atas dakwaan penipuan, sementara tidak ada korban (saksi) yang merasa ditipu. Dalam pada itu, Valentino pun tidak pernah menjanjikan apa pun kepada para siswa yang mengikuti program bimbingan untuk mengikuti ujian tulis seleksi Bintara Poldasu.
III. Mohon Penegasan dan Kepastian hukum
1. Bahwa berdasarkan bukti dan fakta sebagaimana pada BAP Tersangka Utama (Baginda Aritonang) dan saksi-saksi yang ditampilkan penyidik, dipandang belum kuat menempatkan klien kami melakukan delik sebagaimana telah disangkakan penyidik, apalagi saksi-saksi dengan tegas menyatakan dr. Robert Valentino tidak terlibat dengan apa yang disangkakan. -------------------------------------------------------------
2. Bahwa berdasarkan fakta dan kenyataan di atas, dan tidak didukung dengan ”bukti yang cukup”, sebagaimana ketentuan Pasal 183 KUHAP, yakni setidak-tidak adanya dua alat bukti yang pantas dijadikan bukti yang kuat di persidangan. Kalau hanya berdasarkan BAP Tersangka, Saksi-saksi semata, belum bisa dijadikan alasan yang kuat, sebelum penyidik yakin dua alat bukti tersebut dapat dijadikan kekuatan pembuktian di persidangan.----------------------------------------------------------------------------------
6. Bahwa klien kami sebagai Tersangka telah ditahan selama 48 hari di Rumah Tahanan Mapoldasu, dan berkas perkaranya sudah diajukan ke Kejatisu untuk dilakukan tindaklanjut hukum yakni penuntutan. Namun Kejatisu melalui Kasi Pidum pada 17 Januari 2008 telah klien kami konfirmasikan langsung dan mempertanyakan tentang posisi perkara ini. Justru pihak Kejatisu menjelaskan bahwa berkas penyidik dikembalikan dengan alasan belum didukung bukti-bukti untuk dilakukan penuntutan. ----------------------
7. Bahwa Kasat II Ekonomi Ditreskrim Poldasu AKBP Mashudi sebagaimana diterbitkan Harian Portibi, Jumat, tanggal 18 Januari 2008 halaman 1, menegaskan penolakan permintaan Klien kami dr. Robert Valentino Tarigan S.Pd. untuk dikeluarkan SP-3. Alasannya, penyidik sedang mengumpulkan bukti-bukti baru dan mengikuti petunjuk Jaksa Penuntut Umum (JPU), serta sudah dua kali P-19, berkas dikembalikan dan pihaknya terus melengkapi berkas. Salah satu bukti yang akan diajukan adalah vonis tiga bulan terhadap Terdakwa Baginda Aritonang yang menyatakan bahwa kasus tersebut memang terjadi dan sepengetahuan Klien kami.------------------------------------------------------------------------------------------------
8. Bahwa dalam pertemuan dengan Kasat II Ekonomi Ditreskrim Poldasu AKBP Mashudi pada 17 Januari 2008 di ruang kerjanya, ketika Valentino menanyakan tentang SP-3 yang dijawab tidak akan dikeluarkan karena perkara akan dilanjutkan. Lalu Valentino bertanya lagi: “Sampai kapan saya menunggu?” Mashudi ketika menjawab: “Tidak ada batas waktu, suka-suka sayalah”.----------------------------------------------------
9. Bahwa kami sangat setuju tindakan penyidik Kasat II Ditreskrim Poldasu untuk menindaklanjuti berkas klien kami sepanjang didukung dengan melengkapi bukti-bukti tambahan, bukan bukti baru sebagaimana dipaparkan Kasat II pada Harian Portibi. Bukti baru atau novum merupakan mekanisme untuk upaya hukum luar biasa dengan mengajukan Peninjauan Kembali (PK) apabila perkara tersebut telah digelar di persidangan dan telah sampai mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Yang jadi pertanyaan, ada masalah apa klien kami dengan oknum-oknum Poldasu sehingga begitu antusias memenjarakannya, sementara pelaku utamanya sama sekali tak pernah ditahan di Poldasu?-----------------
10. Bahwa keseluruhan pandangan Kasat II tersebut justru menimbulkan kontra-produktif jika menempatkan Vonis Baginda Aritonang sebagai bukti tambahan dan dinilai Klien kami terlibat dan sepengetahuannya dalam penyalahgunaan logo atau penyalahgunaan Atribut Poldasu. Penyidik harus menyadari bahwa Vonis Baginda tidak bisa disamakan dengan posisi kasus klien dr. Robert Valentino. Dari BAP penyidik dan keterangan saksi-saksi tidak satu pun menerangkan keterlibatan Klien kami atas tindakan dan perbuatan Banginda Aritonang. Bahkan dengan Tegas Terdakwa Baginda pada persidangan di PN Medan menjelaskan bahwa pembuatan logo Polda pada brosur Bimbingan Test “BIMA” merupakan inisiatif dirinya. Lalu, posisi dan hubungan hukum apa, sehingga Penyidik dapat mengkualifikasi tindak pidana klien kami berdasarkan vonis Baginda Aritonang.----------------------------------------------------------------------
11. Bahwa kami sebagai kuasa hukum tidak bermaksud “mengajari ikan berenang” atas tindakan penyidik sebagaimana dipaparkan pada Harian Portibi tersebut, justru alasan yang diajukan dengan vonis Terdakwa Baginda Aritonang sebagai bukti tambahan terkesan mengada-ada dan dibuat-buat sebagai cerminan seolah-olah ada tindakan murni bukan penegakkan hukum. Kalau memang mempunyai bukti kuat dengan kekuatan dua alat bukti yang cukup sebagaimana Pasal 183 KUHAP, silahkan ajukan klien kami ke persidangan. Sebaliknya jika klien kami tidak dapat dikualifikasi melakukan tindak pidana sebagaimana disangkakan penyidik, maka selayaknya penyidik bersikap dan bertindak fair dan transparan. kami sebagai kuasa hukum mengharapkan kepada penyidik dapat menunjukkan bukti tersebut secara terbuka sebagai bukti kemurnian penegakkan hukum di negara ini. ---------------------------
12. Oleh karena itu, kami sebagai kuasa hukum mengharapkan pengertian dan penegasan untuk kepastian status hukum klien kami. Jangan sampai posisi dan status klien kami tidak pasti dan mengambang. Kami sangat mengharapkan adanya kerjasama kepada Bapak Kapoldasu melakukan langkah-langkah penyelesaian hukum status dan kepastian hukum kepada dr. Robert Velentino dan jangan keberadaan klien kami sebagai Pemohon dilakukan secara Show Trials atau bertindak menghukum seseorang sebelum dibuktikan kebenarannya, sehingga Valentino tidak diberikan kepastian hukum yang layak sesuai dengan prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia (HAM).--------------------------------------------------------------------
IV. TUNTUTAN DAN UPAYA PENYELESAIAN
Berdasarkan fakta- fakta dan dalil-dalil yang kami sampaikan di atas sebagai pandangan dan klarifikasi hukum atas permohonan klien kami untuk memperoleh kepastian hukum atas status dan posisi Tersangka yang tidak dapat disangkakan atas dugaan keterlibatan tindak pidana sebagaimana dimaksud Penyidik Polda Sumut sesuai Pasal 378 Subs 228 KUHPidana Jo Pasal 55 ayat (1) atau Pasal 56 KUHPidana, serta dugaan melanggar ketentuan lainnya. Selain itu, kami sebagai kuasa hukum memandang bahwa sangkaan kepada klien dr Robert Valentino Tarigan S.Pd, belum menyentuh substansi sangkaan yang sebenarnya. Oleh karena itu, kami sebagai kuasa hukum tersangka mengharapkan kepada aparat penegak hukum khusus Kapoldasu c/q Penyidik Dit Reskrim Polda Sumut untuk mengambil sikap dan ketegasan atas kepastian hukum klien kami dengan hal-hal sebagai berikut : ---------------------------------------------------------
Menyatakan demi hukum bahwa penyidikan Tersangka dr. Robert Valentino Tarigan S.Pd. segera dihentikan karena belum didukung dengan bukti-bukti yang cukup . -------------------------------------------
Memerintahkan dan menetapkan agar Tersangka dr. Robert Valentino Tarigan S.Pd. segera dilepaskan dengan mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP-3). -----------------------------------------
Dan setidak-tidaknya apabila cukup bukti, memerintahkan dan menetapkan dengan sesegera mungkin proses hukum tersangka diajukan ke persidangan. ----------------------------------------------------------------
Demikianlah pandangan penasehat hukum dan kuasa hukum dr. Robert Valentino Tarigan S.Pd. ini disampaikan sebagai upaya mewujudkan kepastian hukum, dan menegakkan keadilan yang seadil-adilnya dan mewujudkan kebenaran yang sebenar- benarnya. Atas perhatian dan kerjasama semua pihak, kami ucapkan terima kasih.---------------------------------------------------------------------------------------------------------
Medan, Januari 2008
Tim Advokasi Robert Valentino
Kuasa Hukumnya
Afrizon Alwi, S.H., M.H.
Advokat/ Konsultan Hukum
NB
Kami lampirkan juga foto copy Pernyataan Pegawai
sekaitan dengan pencetakan logo Poldasu tersebut.
Tembusan:
1. KAPOLRI Bapak Jenderal Sutanto di Jakarta
2. KOMNAS HAM di Jakarta
3. KOMISI JUDICIAL di Jakarta
4. MAHKAMAH AGUNG RI di Jakarta
5. JAKSA AGUNG RI di Jakarta
6. KEJAKSAAN TINGGI SUMUT di Medan
Permohonan Penegasan Status Hukum Valentino
TIM ADVOKASI
ROBERT VALENTINO
Alamat: Jalan Bambu No 30 A/48 A Medan Telp (061) 6622725/(061) 4558213
Nomor : 01/ Tim.Ad/I/2008
Lamp : Satu Berkas Pandangan dan Klarifikasi Hukum
Hal : Mohon Penegasan Status Hukum
Sdr dr. Robert Valentino Tarigan S.Pd.
Kepada Yth :
BAPAK KAPOLDASU
c/q DIT- RESKRIM
di-
T E M P A T
Dengan hormat,
Kami dari Tim Advokasi Robert Valentino sebagai kuasa hukum dr. Robert Valentino Tarigan S.Pd. beralamat di Jalan Bambu No.30 A dan Jalan Bambu No. 48 Medan, Telepon/Fax: (061)- 6622725 dan (061)-4558213, kode Pos 20235 bertindak untuk dan/atau atas nama kepentingan hukum klien kami sebagai Tersangka berdasarkan Laporan Polisi No. Pol: LP/30/II/2007/ Dit Reskrim Tanggal 01 Febuari 2007. Tim Advokasi bertindak berdasarkan kekuatan Surat Kuasa Khusus Tertanggal 30 Agustus 2007, dengan ini menyampaikan pandangan hukum dan sekaligus memohon kejelasan dan ketegasan status hukum klien kami dr. Robert Valentino S.Pd. yang telah ditetapkan sebagai Tersangka dan pernah ditahan selama 48 hari di Tahanan Mapoldasu, secara rinci dapat kami sampaikan sebagai berikut:
I. LATAR BELAKANG
1. Kami sebagai kuasa hukum Tersangka berkeinginan memberikan kontribusi pandangan dan masukan atas langkah-langkah penegakan hukum di Sumatera Utara, sebagai salah satu cerminan penegakan hukum di daerah yang kemungkinan (terjadinya inkonsistensi dan penyimpangan atas upaya reformasi hukum/penegakan hukum). Pandangan ini setidak-tidaknya bisa menjadi hikmah dan pelajaran dalam pemurnian penegakan hukum bangsa ini. Kami berpandangan bahwa langkah-langkah dan kebijakan aparat penegak hukum di Sumatera Utara mempunyai nuansa sama dengan langkah-langkah penegakan hukum di daerah lainnya. Oleh karena itu, kami sebagai bagian dari sistem penegak hukum dengan menundukkan kepala dan membentangkan dua tangan sepuluh jari menyampaikan permohonan penegasan/kejelasan status hukum klien kami Sdr dr. Robert Valentino S.Pd. sebagai upaya/komitmen kita bersama untuk menegakkan hukum terutama kepastian hukum. ---------------------------------------------
2. Bahwa dengan tidak mengenyampingkan posisi kami sebagai kuasa hukum tersangka, kami memandang mewujudkan keadilan dan kebenaran sesungguhnya, bukanlah sesuatu yang gampang atau sekedar digampangkan, tetapi justru langkah dan upaya mewujudkan keadilan dan kebenaran sesungguhnya membutuhkan suatu tekad dan komitmen kuat serta didukung dengan siraman keimanan yang ikhlas. Untuk mewujudkan tekad tersebut membutuhkan kasih sayang dan kerinduan akan jembatan emas keadilan dan kebenaran.---------------------------------------------------------------------------------------------------
3. Kami sangat percaya Kapolda Sumut memiliki tekad sebagaimana diungkapkan di atas merupakan capaian dan harapan yang lahir dari lubuk hati terdalam dengan belaian kasih sayang, sehingga upaya penegakan hukum jangan sampai sia-sia akibat adanya segelintir pihak yang ingin memanfaatkan kelemahan dan celah hukum, untuk kepentingan di luar koridor hukum.------------------------------------------
II. POSISI HUKUM KLIEN SEBAGAI TERSANGKA
1. Bahwa tanpa disangka akhirnya klien kami disangkakan terlibat/ikut serta dan membantu melakukan Tindak Pidana sebagaimana dimaksud Pasal 378 Subs 228 KUHPidana Jo Pasal 55 ayat (1) atau Pasal 56 KUHPidana sesuai Bukti Lapor LP/30/II/2007 Dit Reskrim Polda Sumut, tanggal 01 Febuari 2007 dengan sangkaan “melakukan tindak pidana turut membantu melakukan penipuan atau memakai tanda kehormatan atau melakukan perbuatan dalam jabatan yang tidak dipegangnya”.-------------------------------
2. Sangkaan terhadap Tersangka sangat berhubungan erat dengan perannya sebagai insan pendidikan dan aktivis lingkungan termasuk usaha-usaha menyelamatkan hutan di berbagai daerah di Sumatera Utara. Sangkaan terhadap Valentino terkesan dipaksakan dengan menetapkan dirinya dalam status penahanan di Rumah Tahanan Polda Sumut. Padahal, posisinya sebagai tersangka dan status penahanannya perlu diuji secara materi dengan pendekatan penyidikan sesuai dengan koridor hukum yang berlaku. Sebab, pelaku utamanya (Baginda Aritonang SH) sama sekali tidak ditahan di Poldasu.---------------------------------
3. Valentino ditahan selama 48 hari, dengan sangkaan yang sama sekali tidak diketahuinya. Karena, pencetakan borosur BT/BS BIMA yang mencantumkan logo Poldasu di luar mekanisme yang ada. Baginda Aritonang sendiri (tersangka utama), tidak pernah ditahan di Poldasu, melainkan di tahanan Kejaksaan di Tanjung Gusta. Itu pun setelah Valentino ditahan pada 29 Agustus 2007, barulah Baginda dan berkasnya dibawa ke Kejasaan dan ditahan pada 30 Agustus 2007. Sebelumnya, berkas Baginda Aritonang bolak balik antara Poldasu dan Kejaksaan Tinggi. Kalau tidak salah, ada tujuh kali hal itu terjadi. Pada tanggal 30 Agustus itu pun, terjadi debat yang panjang antara petugas Poldasu dan Kejatisu terhadap status Baginda. Dari pukul 10.00 pagi, hingga 16.00 Wib – perdebatan berlangsung – barulah Baginda dan berkasnya diantar ke rumah tahanan Tanjung Gusta.-----------------------------------------------------------------
4. Ketika proses pencetakan brosur yang berlogo Poldasu akan dilakukan, Staf/Pelaksana Harian/Wakil Pimpinan BT/BS BIMA – atasan langsung Baginda Aritonang – yang bernama Ir. Ruth Siahaan telah melarang pelaku utama, agar hal tersebut jangan dilakukan. Tapi, tanpa sepengetahuan manajemen, Baginda melakukan pencetakan dan penyebaran brosur, yang selama ini tidak pernah dilakukannya, termauk manajer lain.------------------------------------------------------------------------------------------------------
5. Dalam persidangan di PN Medan pada tanggal 3 Desember 2007, Mejelis Hakim menyatakan bahwa pemakaian logo Poldasu dinyatakan tidak punya alasan yang kuat sebagai tuntutan hukum. Baginda Aritonang divonis 3 bulan 6 hari atas dakwaan penipuan, sementara tidak ada korban (saksi) yang merasa ditipu. Dalam pada itu, Valentino pun tidak pernah menjanjikan apa pun kepada para siswa yang mengikuti program bimbingan untuk mengikuti ujian tulis seleksi Bintara Poldasu.
III. Mohon Penegasan dan Kepastian hukum
1. Bahwa berdasarkan bukti dan fakta sebagaimana pada BAP Tersangka Utama (Baginda Aritonang) dan saksi-saksi yang ditampilkan penyidik, dipandang belum kuat menempatkan klien kami melakukan delik sebagaimana telah disangkakan penyidik, apalagi saksi-saksi dengan tegas menyatakan dr. Robert Valentino tidak terlibat dengan apa yang disangkakan. -------------------------------------------------------------
2. Bahwa berdasarkan fakta dan kenyataan di atas, dan tidak didukung dengan ”bukti yang cukup”, sebagaimana ketentuan Pasal 183 KUHAP, yakni setidak-tidak adanya dua alat bukti yang pantas dijadikan bukti yang kuat di persidangan. Kalau hanya berdasarkan BAP Tersangka, Saksi-saksi semata, belum bisa dijadikan alasan yang kuat, sebelum penyidik yakin dua alat bukti tersebut dapat dijadikan kekuatan pembuktian di persidangan.----------------------------------------------------------------------------------
6. Bahwa klien kami sebagai Tersangka telah ditahan selama 48 hari di Rumah Tahanan Mapoldasu, dan berkas perkaranya sudah diajukan ke Kejatisu untuk dilakukan tindaklanjut hukum yakni penuntutan. Namun Kejatisu melalui Kasi Pidum pada 17 Januari 2008 telah klien kami konfirmasikan langsung dan mempertanyakan tentang posisi perkara ini. Justru pihak Kejatisu menjelaskan bahwa berkas penyidik dikembalikan dengan alasan belum didukung bukti-bukti untuk dilakukan penuntutan. ----------------------
7. Bahwa Kasat II Ekonomi Ditreskrim Poldasu AKBP Mashudi sebagaimana diterbitkan Harian Portibi, Jumat, tanggal 18 Januari 2008 halaman 1, menegaskan penolakan permintaan Klien kami dr. Robert Valentino Tarigan S.Pd. untuk dikeluarkan SP-3. Alasannya, penyidik sedang mengumpulkan bukti-bukti baru dan mengikuti petunjuk Jaksa Penuntut Umum (JPU), serta sudah dua kali P-19, berkas dikembalikan dan pihaknya terus melengkapi berkas. Salah satu bukti yang akan diajukan adalah vonis tiga bulan terhadap Terdakwa Baginda Aritonang yang menyatakan bahwa kasus tersebut memang terjadi dan sepengetahuan Klien kami.------------------------------------------------------------------------------------------------
8. Bahwa dalam pertemuan dengan Kasat II Ekonomi Ditreskrim Poldasu AKBP Mashudi pada 17 Januari 2008 di ruang kerjanya, ketika Valentino menanyakan tentang SP-3 yang dijawab tidak akan dikeluarkan karena perkara akan dilanjutkan. Lalu Valentino bertanya lagi: “Sampai kapan saya menunggu?” Mashudi ketika menjawab: “Tidak ada batas waktu, suka-suka sayalah”.----------------------------------------------------
9. Bahwa kami sangat setuju tindakan penyidik Kasat II Ditreskrim Poldasu untuk menindaklanjuti berkas klien kami sepanjang didukung dengan melengkapi bukti-bukti tambahan, bukan bukti baru sebagaimana dipaparkan Kasat II pada Harian Portibi. Bukti baru atau novum merupakan mekanisme untuk upaya hukum luar biasa dengan mengajukan Peninjauan Kembali (PK) apabila perkara tersebut telah digelar di persidangan dan telah sampai mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Yang jadi pertanyaan, ada masalah apa klien kami dengan oknum-oknum Poldasu sehingga begitu antusias memenjarakannya, sementara pelaku utamanya sama sekali tak pernah ditahan di Poldasu?-----------------
10. Bahwa keseluruhan pandangan Kasat II tersebut justru menimbulkan kontra-produktif jika menempatkan Vonis Baginda Aritonang sebagai bukti tambahan dan dinilai Klien kami terlibat dan sepengetahuannya dalam penyalahgunaan logo atau penyalahgunaan Atribut Poldasu. Penyidik harus menyadari bahwa Vonis Baginda tidak bisa disamakan dengan posisi kasus klien dr. Robert Valentino. Dari BAP penyidik dan keterangan saksi-saksi tidak satu pun menerangkan keterlibatan Klien kami atas tindakan dan perbuatan Banginda Aritonang. Bahkan dengan Tegas Terdakwa Baginda pada persidangan di PN Medan menjelaskan bahwa pembuatan logo Polda pada brosur Bimbingan Test “BIMA” merupakan inisiatif dirinya. Lalu, posisi dan hubungan hukum apa, sehingga Penyidik dapat mengkualifikasi tindak pidana klien kami berdasarkan vonis Baginda Aritonang.----------------------------------------------------------------------
11. Bahwa kami sebagai kuasa hukum tidak bermaksud “mengajari ikan berenang” atas tindakan penyidik sebagaimana dipaparkan pada Harian Portibi tersebut, justru alasan yang diajukan dengan vonis Terdakwa Baginda Aritonang sebagai bukti tambahan terkesan mengada-ada dan dibuat-buat sebagai cerminan seolah-olah ada tindakan murni bukan penegakkan hukum. Kalau memang mempunyai bukti kuat dengan kekuatan dua alat bukti yang cukup sebagaimana Pasal 183 KUHAP, silahkan ajukan klien kami ke persidangan. Sebaliknya jika klien kami tidak dapat dikualifikasi melakukan tindak pidana sebagaimana disangkakan penyidik, maka selayaknya penyidik bersikap dan bertindak fair dan transparan. kami sebagai kuasa hukum mengharapkan kepada penyidik dapat menunjukkan bukti tersebut secara terbuka sebagai bukti kemurnian penegakkan hukum di negara ini. ---------------------------
12. Oleh karena itu, kami sebagai kuasa hukum mengharapkan pengertian dan penegasan untuk kepastian status hukum klien kami. Jangan sampai posisi dan status klien kami tidak pasti dan mengambang. Kami sangat mengharapkan adanya kerjasama kepada Bapak Kapoldasu melakukan langkah-langkah penyelesaian hukum status dan kepastian hukum kepada dr. Robert Velentino dan jangan keberadaan klien kami sebagai Pemohon dilakukan secara Show Trials atau bertindak menghukum seseorang sebelum dibuktikan kebenarannya, sehingga Valentino tidak diberikan kepastian hukum yang layak sesuai dengan prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia (HAM).--------------------------------------------------------------------
IV. TUNTUTAN DAN UPAYA PENYELESAIAN
Berdasarkan fakta- fakta dan dalil-dalil yang kami sampaikan di atas sebagai pandangan dan klarifikasi hukum atas permohonan klien kami untuk memperoleh kepastian hukum atas status dan posisi Tersangka yang tidak dapat disangkakan atas dugaan keterlibatan tindak pidana sebagaimana dimaksud Penyidik Polda Sumut sesuai Pasal 378 Subs 228 KUHPidana Jo Pasal 55 ayat (1) atau Pasal 56 KUHPidana, serta dugaan melanggar ketentuan lainnya. Selain itu, kami sebagai kuasa hukum memandang bahwa sangkaan kepada klien dr Robert Valentino Tarigan S.Pd, belum menyentuh substansi sangkaan yang sebenarnya. Oleh karena itu, kami sebagai kuasa hukum tersangka mengharapkan kepada aparat penegak hukum khusus Kapoldasu c/q Penyidik Dit Reskrim Polda Sumut untuk mengambil sikap dan ketegasan atas kepastian hukum klien kami dengan hal-hal sebagai berikut : ---------------------------------------------------------
Menyatakan demi hukum bahwa penyidikan Tersangka dr. Robert Valentino Tarigan S.Pd. segera dihentikan karena belum didukung dengan bukti-bukti yang cukup . -------------------------------------------
Memerintahkan dan menetapkan agar Tersangka dr. Robert Valentino Tarigan S.Pd. segera dilepaskan dengan mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP-3). -----------------------------------------
Dan setidak-tidaknya apabila cukup bukti, memerintahkan dan menetapkan dengan sesegera mungkin proses hukum tersangka diajukan ke persidangan. ----------------------------------------------------------------
Demikianlah pandangan penasehat hukum dan kuasa hukum dr. Robert Valentino Tarigan S.Pd. ini disampaikan sebagai upaya mewujudkan kepastian hukum, dan menegakkan keadilan yang seadil-adilnya dan mewujudkan kebenaran yang sebenar- benarnya. Atas perhatian dan kerjasama semua pihak, kami ucapkan terima kasih.---------------------------------------------------------------------------------------------------------
Medan, Januari 2008
Tim Advokasi Robert Valentino
Kuasa Hukumnya
Afrizon Alwi, S.H., M.H.
Advokat/ Konsultan Hukum
NB
Kami lampirkan juga foto copy Pernyataan Pegawai
sekaitan dengan pencetakan logo Poldasu tersebut.
Tembusan:
1. KAPOLRI Bapak Jenderal Sutanto di Jakarta
2. KOMNAS HAM di Jakarta
3. KOMISI JUDICIAL di Jakarta
4. MAHKAMAH AGUNG RI di Jakarta
5. JAKSA AGUNG RI di Jakarta
6. KEJAKSAAN TINGGI SUMUT di Medan
Artikel : Hutan di Tanah Karo dan Sikap Kita
Hutan di Tanah Karo dan Sikap Kita
Sumatera Utara terancam kriris air bersih 5-7 tahun mendatang akibat kerusakan hutan, pengambilan humus hutan dan pencemaran air sepanjang daerah aliran sungai (DAS) dengan kondisi sangat buruk dari hulu hingga hilir.
Jika tak segera ditanggulangi dengan system manajemen pengelolaan air bersih akan melanda Sumut pada 2015 tak akan terelakkan.
“Kriris air bersih tersebut bukan hanya dialami masyarakat pedesaan tapi juga warga perkotaan,” ungkap pemerhati lingkungan, Ir Jaya Arjuna MSc menjawab pers di Medan, Kamis (14/2).
Di sela-sela seminar “Penanggulangan Krisis Air Bersih” yang digelar Forum Komunikasi Masyarakat Pelanggan Air (FKPA) di Hotel Madani, dia melihat kerusakan hutan sebagai fungsi tatanan air san humusnya sudah habis.
Bahkan jika saja curah hujan mencapai 110 meter kubik, Medan terancam banjir. Bktinya Juli lalu tercatat 10 kabupaten/kota terendam banjir. Soalnya kerusakan hutan di hulu sungai tak mampu dicegah.
“Saat ini harus kita pikirkan ketersediaan air bersih dan ancaman banjir. Justru itu semua pihak yang punya kewenangan dan tanggung jawab dengan ktersediaan air harus memiliki niat baik,” ujar Jaya yang juga menjadi pembicara dalam seminar itu.
Hal senada dilontarkan Jimny Panjaitan dari Dewan Walhi Sumut yang mendapat respon ratusan peserta itu.
Dia mengatkan ancaman terbesar ke depan adalah krisis air akibat kerusakan hutan. Saat ini, katanya, 60% rakyat Indonesia terutama masyarakat desa tidak dpat mengakses air bersih.
Sebagai contoh tumbuh maraknya depot air di mana-mana pertanda mulai terjadi kriris air bersih. “Untuk mendapat air bersih kita harus membeli. Bagaimana jika ke depan air bersih tidak mampu dibeli agi,” kata Jimny.
Publik
Tak heran petani jeruk di Tanah Karo membeli air untuk menyiram tanaman tersebut. Persoalan lain, katanya, PDAM di tanah air bekerja sama dengan pihak swasta mengelola air. Padahal perusahaan daerah ini milik publik untuk mengakses air dan tak menyerahkan ke swasta.
“Ini menggambarkan tanggung jawab megara terhadap pengelolaan air makin kecil sebagai hak fundamental. Kriris air bukan disebabkan kelangkaan air tetapi lebih dari kriris manajemen pengelolaan air,” ucap Jimny.
Pembicara lain Saiful dari Bapedaldasu melukiskan dahulu Sungai Deli airnya begitu jernis merupakan lambang kehidupan masyarakat. Bahkan bisa dilihat kappa VOC. Artinya, sungai tak dikotori. Tapi lihat sekarang, semua dibuang ke sungai.
Dia menyebutkan Indonesia, sebagian besar sumber air bersih dari sungai. Normalnya, total volume air di bumi, 1,4 juta meter kubik, tercatat 97% air laut, 3 % air tawar dan 2 % wujud es.
Hasil penelitian JICA (Japan International Corporation Agency) menyimpulkan status air sungai Deli pada segmen Jalan Sudirman hingga jembatan Labuhan tercemar berat. Tercatat 65% sumber pencemaran domestic dan 35% sumber pencemaran industri.
“Bahkan kondisi terburuk telah terjadi pada sejumlah sungai di Sumut. Akibatnya, kualitas air sungai tersebut semakin menurun,” ungkap Saiful yang mewakili Ketua Bapedaldasu Prof Dr Syamsul Arifin MA.
Menurutnya, pengendalian pencemaran harus dilakukan dengan menajeman tataruang yang benar. Amdal juga untuk pengendalaian pencemaran. Masyarakat juga diingatkan jangan membuang sesuatu dalam sungai.
Sementara itu Boyke dari USAID membacakan tentang pemanfaatan sumber daya air di Sumatera Utara. (Analisa, Jumat 15 Februari 2008 hal 1).
Panitia Pendidikan Relawan Pemuda Pelindung Hutan & Lingkungan Hidup Kabupaten Karo Sumatera Utara meminta dr Robert Valentino Tarigan SPd sebagai narasumber. Karena kesibukan yang tak dapat dihindari maka beliau menugaskan pada saya (Hidayat Banjar) untuk menyampaikan pokok-pokok pikirannya. Mudah-mudahan saja – meski tak utuh – apa-apa yang dipesankannya pada saya dapat disampaikan pada forum ini.
Panitia menyajikan tema: “Hutan di Kabupaten Karo dan Tantangan di Masa Depan”. Secara umum sudah sama kita ketahui, hutan di Tanah Karo, telah dibabat oleh para cukong – baik legal maupun ilegal. Karenanya jika tidak ada upaya moratorium serta reboisasi, niscaya ke depan akan semakin parah.
Padahal, siapa pun tahu, hutan adalah penyangga bumi dari kehancuran. Hutan pun merupakan paru-paru dunia. Kalau air dikatakan sumber kehidupan, hutan dapat dikatakan penyangganya. Mengapa tidak, akar-akar kayu yang ada di hutan berfungsi di samping menyerap juga menyimpan air. Singkatnya, hutan merupakan ‘mesin’ sirkulasi air paling canggih yang tak dapat digantikan dengan apa pun.
Dua Kutub
Membicarakan kelestarian hutan – mau tidak mau – akan berhadapan dengan dua kutub yang saling tarik-menarik kepentingan. Kutub pertama, pembela lingkungan – yang meskipun jadi martir – akan terus berjuang agar satu batang pohon pun jangan ditebang. Sementara, kutub berikutnya adalah pihak (kaum) industrialis.
Dengan seperangkat teknologi maju yang gagah perkasa, langkah kaum industrilialis tegap-tegap dan tak jarangan dengan kekejaman. Jelas saja, kenapa mereka menomorduakan hal lain di luar perhitungan laba rugi. Mereka mengejar pengembalian investasi dan keuntungan yang sebesar-besarnya. Ya, sesungguhnyalah, teknologi maju demikian bersahabat dengan modal, ‘padat modal’ istilahnya.
Ironisnya, janji-janji kemewahan materi bagi yang terlibat di dalamnya, sekonyong-konyong menyihir manusia untuk membabat semena-mena lingkungan hanya demi mengejar janji itu. Teknologi dan invesatasi yang gagah perkasa serta meniupkan janji kepuasan materi telah diagung-agungkan sebagai ‘sang dewata’.
Mengapa tidak, dewasa ini, satu ton kayu log yang belum diolah Rp 5 juta. Satu batang pohon saja, bisa mencapai 10 – 30 ton lebih. Bayangkan, kalau di satu kawasan hutan ada puluhan ribu batang kayu, berapakah uangnya? Sungguh banyak sekali.
Uang, inilah motif dari orang-orang yang terlibat dalam ‘permainan’ kayu, baik legal maupun ilegal. Maka, dengan cara maupun jalan apa pun, hutan harus dirambah. Karena, hanya di hutanlah bersemayam kayu-kayu besar yang berumur ratusan tahun.
Di Tanah Karo
Menurut Bujur Sitepu (SIB 14 Agustus 2003), luas hutan di Tanah Karo pada sebelum merdeka 1/3 luas daerah produksi. Tetapi sekarang, luas itu hanya tinggal 1/7 saja. Nah, kalau dibiarkan, tidak mustahil Tanah Karo akan gundul dan Medan pun akan senantiasa mendapat banjir bandang (kiriman) dari Tanah Karo. Ini sudah kita rasakan, pada tahun 2001 Sunggal mengalami kebanjiran yang menewaskan 13 jiwa serta harta yang tak sedikit. Juga banjir-banir lain seperti di Lubuk Pakam, Binjai, Belawan dan lain sebagainya. Mungkin-mungkin – jika tak dicegah – Medan pun akan tenggelam. Mengerikan, ya, sangat mengerikan.
Tragedi yang sangat dahsyat terjadi di Bahorok hampir 2 November 2003 malam. Mengenang tragedi Bohorok tersebut sesungguhnya adalah membuka catatan buram tentang hutan kita. Tak perlu memang saling menyalahkan, yang penting ke depan semua kita harus introspeksi dan mawas diri. Sebab, bencana tetaplah bernama bencana meskipun dibolak-balik dengan berbagai apologi dan dibungkus kalimat-kalimat manis penuh retorika.
Senin (3/11-2003) sore dr Robert Valentono SPd dan tim, termasuk saya menuju Bahorok yangdi samping memberi bantuan ala kadarnya, juga ingin membuktikan bahwa benar banjir bandang ini adalah akibat perambahan hutan di Gunung Leuser. Diduga keras, banjir ini berasal dari Tanah Karo, Kota Cane dan Langkat. Sebab, tiga kawasan itulah yang paling dekat dan paling mungkin mengirmkan bah ke Bukit Lawang ini. Dan, memang hutan Gunung Leuser di tiga kawasan tersebut telah dibabat oleh perampok kayu.
Saudara-saudara Pemuda Pelindung Hutan & Lingkungan Hidup Tanah Karo, dr Robert mulai terlibat atau melibatkan diri dalam perjuangan menyelematkan hutan yang ada di Tanah Karo berawal dari 17 Agustus 2002. Ketika itu ia pulang ke Desa Juhar Kecamatan Juhar. Betapa pedih hatinya saat hendak mandi, sungai telah kering. Masyarakat pun terpaksa berkilo-kilo meter mengambil air ke lembah-lembah.
Siapa yang tak sedih melihat kenyatan itu? Ini benar-benar sebuah proses pemiskinan masyarakat Karo. Mengapa tidak, orang Karo tak kan mungkin hidup tanpa hutan. Dengan dirambahnya hutan, pastilah ekosistem terganggu. Padahal, masyarakat Karo mayoritas hidup dengan pertanian.
Banyak Jalan Merusak Hutan
Hadirin yang mulia, dari hasil pengamatan dan survei di lapangan, ada banyak jalan yang menuju areal hutan lindung. Taman Hutan Raya Bukit Barisan dan Kawasan Ekosistem Leuser di Kabupaten Karo, bertujuan hanya untuk merambah hutan secara semena-mena sehingga rusak dan porak-poranda.
Pertama, kerusakan hutan di Lau Gedang yang merupakan daerah segitiga antara Kabupaten Deli Serdang, Langkat dan Karo, di kaki Gunung Sibayak. Di sini, 1000 hektar hutan dirambah atas rekomendasi DPRD Karo Nomor 172/371/2001 Tanggal 27 April yang ditandatangi oleh Bastanta Surbakti, Wakil Ketua DPRD Karo Periode 1999-2004.
Kedua, kerusakan terjadi di hutan lindung Simpang Doulu, seluas 6 hektar dirambah. Ini pun atas rekomendasi pimpinan DPRD Kabupaten Karo Nomor 174/168/2002 Tanggal 28 Februari 2002 yang ditandatangani oleh Ketua DPRD Karo, Bon Purba.
Ketiga, hutan lindung Sibuaten (Register 3/K) yang terletak di Kecamatan Juhar Kabupaten Karo. Perusakan berawal dari pembukaan jalan antara beberapa desa sesuai Surat Keputusan (SK) Bupati Karo Nomor 522/193/2001 Tanggal 13 Oktober 2001, memberi HPHH seluas 40 hektar, yang merupakan pinjam pakai antara Kanwil Kehutanan Sumatera Utara dengan Bupati Karo Nomor 4/15/II/KUT-5/1989 dan kemudian direvisi dengan surat Nomor 59/79/KUL/672/2000.
Selanjutnya Bupati Karo mengeluarkan surat Nomor 620/0034 Tanggal 30 Desember 2000, Kilang Papan Nangga Lutu milik Acong diberi izin pemanfaatan kayu. Kemudian, dengan surat Tanggal 20 Februari 2001 Nomor 522.21/1252/3-A, memberikan Izin Penebangan Kayu (IPK) atas nama IPKH Nangga Lutu milik Acong.
Di Juhar, jalan dibuat berkelok-kelok ke arah kayu besar, 40 hektar lebih kawasan hutan porak-poranda. Akibatnya, Desa Juhar – kampung Valentino sendiri – jadi kering. Kejadian inilah awalnya, mendorong Valentino untuk peduli hutan.
Keempat, hutan lindung Deleng Cengkeh, seluas 51 hektar rusak dirambah 57 warga sekitar. Para pelakunya telah dapat diidentifikasi oleh Dinas Kehutanan Kabupaten Karo, akan tetapi proses hukumnya sama sekali tidak dijalankan. Malahan, dinas kehutanan membuat perdamaian dengan perambah hutan tersebut.
Kelima, kerusakan hutan di Kuta Kendit berawal dari program Pemkab Karo yang membuka hutan sebagai areal transmigrasi untuk suku terasing yang diprakarsai Dinas Sosial Sumatera Utara. Padahal, kita tahu, tidak ada suku terasing di Kabupaten Karo. Rupanya, ‘suku terasing’ itu adalah orang-orang yang melarikan diri dari Riau karena mencuri kayu, takut rerjerat hukum.
Dengan alasan pembukaan hutan itulah, hutan Kuta Kendit dirambah. Pada tahun 2004 ada sekitar 120 KK menghuni hutan Kuta Kendit tersebut.
Karena hutan-hutan yang telah dibuka, tidak habis dikerjakan oleh penduduk tersebut, maka diberikan pula izin kepada PT Praja yang berkantor di Kantor Bupati Kepala Daerah Kabupaten Karo. Dengan demikian Pemkab Karo terlibat dalam masalah ini. Dapat diduga – pemberian izin kepada PT Praja itu – ada udang di balik batu.
Keenam, kerusakan terjadi akibat jalan tembus Kabupaten Langkat-Karo. Di sini, Pemprovsu ikut pula merambah hutan tanpa izin. Pembukaan jalan antara Desa Kuta Rakyat (Karo) dengan Desa Pamahsimelir (Langkat), membelah hutan lindung dan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL).
Ketujuh, hutan lindung Siosar yang dirusak oleh PT Kastil milik Sudarto. Kerusakan berawal dari rekomendasi bupati seluas 100 hektar. Yang diusulkan mereka kepda Manteri Kehutanan 2600 hektar. Meski tidak ada izin Menteri Kehutanan, mereka merambah terus, karenanya kerusakan hutan mencapai 600 hektar. Padahal, yang 100 hektar itu pun sebenarnya harus izin Menteri Kehutanan, bukan rekomendasi bupati. Karena, itu adalah hutan konversi, bukan hutan rakyat.
Valentino dan tim masuk ke Siosar pada 8 Agustus 2003, kawasan tersebut dikawal aparat. Kalau Valentino tidak masuk, boleh jadi hutan di sana sudah habis. Padahal, dua aliran sungai yang menuju Danau Toba, berasal dari sini. Maka, bila hujan deras di Siosar, air Danau Toba akan meluap, membanjiri persawahan serta perladangan masyarakat. Begitu air mereda, terlihatlah sedimentasi pasir yang mengakibatkan kerusakan di sawah dan ladang petani itu. Siapa yang bertangung jawab? Atau kita memang tak peduli dengan saudara-saudara kita?
Di tengah hutan ini juga telah dibuka jalan tanpa izin Menteri Kehutanan, yang katanya untuk areal agropolitan. Beberapa waktu berselang, Dinas Kehutanan Sumatera Utara, telah menginstruksikan kepada Dinas Kehutanan Kabupaten Karo untuk menghentikan pembukaan hutan tersebut, tetapi tidak diindahkan.
Kedelapan, Coporate Farming Tambar Malem, dibuka Bupati Karo dengan keluarga dan kerabatnya, seperti istri, anak, ipar dan saudaranya serta Ketua DPRD Karo. Di belakangnya terjadi pencurian kayu. Valentino sudah adukan ke Polres Tanah Karo. Namun, ketika diadukan namanya Anthony Ginting, sementara di BAP namanya berubah menjadi Toni Ginting,
Ketika berdialog dengan Anthony Ginting, ia mengatakan menebang kayu atas perintah Bupati Karo Sinar Peranginangin. Yang paling aneh, Anthony Ginting masuk DPO (Daftar Pencarian Orang). Padahal ia ada di kampungnya ketika itu. Apakah ini yang kita mau.
Seharusnya, pembukaan corporate farming, mendapat izin dari Menteri Kehutanan, tetapi sama sekali tidak ada. Sebab itu pula, Dinas Kehutanan Sumatera Utara memerintahkan kepada Dinas Kehutanan Kabupaten Karo untuk menutup corporate farming tersebut. Ironisnya, di sini, terjadi kematian pohon-pohon pinus secara meluas, yang diduga akibat disuntik dengan zat kimia tertentu.
Kesembilan, kerusakan hutan juga terjadi di Rimo Bunga di Deleng Leweh. Kerusakan di sini, karena Pemkab Karo membiarkan koloni masyarakat pendatang, mendirikan perkampungan baru di tengah hutan lindung. Padahal hanya 5 KK yang menghuni hutan ini, tetapi perlu dibuat jalan yang mulus. Padahal, di perkampungan lain – karena tidak ada hutannya – jalan-jalan dibiarkan porak-poranda. Kebijakan membiarkan perambahan hutan ini juga kita lihat terjadi di sekitar Kuta Pengkih yang termasuk dalam kawasan Ekosistem Leuser. Perambahan terakhir terjadi di Desa Pernantin, meski pelakunya sudah ditangkap namun dilepas kembali oleh polisi.
Melihat kondisi alam Tanah Karo yang rusak, Valentino mengimbau agar warga bersatu teguh, membulatkan tekad: lawan siapa pun perambah hutan.
Persoalannya, apakah kita semua siap menghadapi teror: lewat iming-iming uang, jabatan bahkan pistol? Valentino sendiri pada 15 Juli 2003, ditodong Sudarto dengan pistol ke arah perut kanannya di teras Kantor Bupati Karo.
Selanjutnya, penodongan itu diadukan Valentino ke Polres Tanah Karo. Karena kurang mendapat respon, Valentino kembali mengadu ke Poldasu. Karena locus de licty-nya di Tanah Karo, maka pengaduan dilimpahkan kembali ke Polres Tanah Karo. Dalam pada itu Sudarto pun mengadukan Valentino atas dasar pencemaran nama baik. Maka perkara split ini disidangkan bersamaan antara Sudarto sebagai terdakwa dan Valentino sebagai terdakwa.
Perkara pidana Regno: 274/Pid.B/2003/PN Kabanjahe tersebut, mulai disidangkan sekitar September 2003 dan pembacaan vonis 14 April 2004, dengan hasil bebas murni untuk Valentino dan bebas murni pula untuk Sudarto.
Oleh Kejaksaan Negeri Kabanjahe selanjutnya dilakukan kasasi. Putusan Mahkamah Agung bebas murni buat Valentino. Sementara info yang didapatkan, Sudarto divonis satu tahun, tetapi keputusan MA tetang Sudarto tidak jelas juntrungannya. Ketika ditanyakan ke PN Kabanjahe, dikatakan mareka belum menerima putusan MA tersebut. ***
Disampaikan Sabtu, 16 Februari 2008
Di Gedung Politeknik MBP Lantai I
Analisa : Hutan di Tanah Karo dan Sikap Kita*
Hutan di Tanah Karo dan Sikap Kita*
Oleh: dr Robert Valentino Tarigan SPd**
Oleh: dr Robert Valentino Tarigan SPd**
Harian Analisa (Jumat 15/2) pada hardline memberitakan tentang kondisi Sumatera Utara yang terancam kriris air bersih pada 5-7 tahun mendatang. Hal itu akibat kerusakan hutan, pengambilan humus hutan dan pencemaran air sepanjang daerah aliran sungai (DAS) dengan kondisi sangat buruk dari hulu hingga hilir.
Jika tak segera ditanggulangi dengan sistem manajemen pengelolaan, pada 2015 krisis air bersih di Sumut tak akan terelakkan. Dengan mengutip keterangan Ir Jaya Arjuna MSc disebutkan, krisis air bersih tersebut bukan hanya dialami masyarakat pedesaan tapi juga warga perkotaan. Fungsi hutan sebagai tatanan air dan humus sudah habis.
Bahkan jika saja curah hujan mencapai 110 meter kubik, Medan terancam banjir. Buktinya Juli lalu tercatat 10 kabupaten/kota terendam banjir. Soalnya kerusakan hutan di hulu sungai tak mampu dicegah.
“Saat ini harus kita pikirkan ketersediaan air bersih dan ancaman banjir. Justru itu, semua pihak yang punya kewenangan dan tanggung jawab dengan ketersediaan air harus memiliki niat baik,” ujar Jaya.
Hal senada dilontarkan Jimny Panjaitan dari Dewan Walhi Sumut. Katanya, 60% rakyat Indonesia terutama masyarakat desa tidak dapat mengakses air bersih.
Sebagai contoh tumbuh maraknya depot air di mana-mana pertanda mulai terjadi kriris air bersih. “Untuk mendapat air bersih kita harus membeli. Bagaimana jika ke depan air bersih tidak mampu dibeli lagi,” kata Jimny.
Tak heran petani jeruk di Tanah Karo membeli air untuk menyiram tanamannya. Persoalan lain, katanya, PDAM di tanah air bekerja sama dengan pihak swasta mengelola air. Padahal perusahaan daerah ini milik publik untuk mengakses air dan tak menyerahkan ke swasta.
“Ini menggambarkan tanggung jawab megara terhadap pengelolaan air makin kecil sebagai hak fundamental. Kriris air bukan disebabkan kelangkaan air tetapi lebih dari kriris manajemen pengelolaan air,” ucap Jimny.
Inti masalah ada di hutan. Jadi jika tidak ingin apa yang dicemaskan – kriris air – terjadi, maka harus dilakukan gerakan moratorium dan reboisasi. Khusus hutan di Tanah Karo sudah sama kita ketahui, keadaannya pun memprihatinkan.
Di Tanah Karo
Menurut Bujur Sitepu (SIB 14 Agustus 2003), luas hutan di Tanah Karo pada sebelum merdeka 1/3 luas daerah produksi. Tetapi sekarang, luas itu hanya tinggal 1/7 saja. Nah, kalau dibiarkan, tidak mustahil Tanah Karo akan gundul dan Medan pun akan senantiasa mendapat banjir bandang (kiriman) dari Tanah Karo. Ini sudah kita rasakan, pada tahun 2001, Sunggal mengalami kebanjiran yang menewaskan 13 jiwa serta harta yang tak sedikit. Juga banjir-banir lain seperti di Lubuk Pakam, Binjai, Belawan dan lain sebagainya. Mungkin – jika tak dicegah – Medan pun akan tenggelam. Mengerikan, ya, sangat mengerikan.
Tragedi yang sangat dahsyat terjadi di Bahorok 2 November 2003 malam. Tragedi Bohorok tersebut sesungguhnya merupakan catatan buram tentang hutan kita. Senin (3/11-2003) sore saya dan tim, menuju Bahorok yang di samping memberi bantuan ala kadarnya, juga ingin membuktikan bahwa benar banjir bandang ini adalah akibat perambahan hutan di Gunung Leuser. Terlihat ratusan nyawa, rumah dan kotage hancur.
Diduga keras, banjir Bahorok ini berasal dari Tanah Karo, Kota Cane dan Langkat. Sebab, tiga kawasan itulah yang paling dekat dan paling mungkin mengirmkan bah ke Bukit Lawang ini. Dan, memang hutan Gunung Leuser di tiga kawasan tersebut telah dibabat oleh perampok kayu.
Saudara-saudara Pemuda Pelindung Hutan & Lingkungan Hidup Tanah Karo, saya mulai terlibat atau melibatkan diri dalam perjuangan menyelematkan hutan yang ada di Tanah Karo berawal dari 17 Agustus 2002. Ketika itu saya pulang ke Desa Juhar Kecamatan Juhar. Betapa pedih hatinya saat hendak mandi, sungai telah kering. Masyarakat pun terpaksa berkilo-kilo meter mengambil air ke lembah-lembah.
Siapa yang tak sedih melihat kenyatan itu? Ini benar-benar sebuah proses pemiskinan masyarakat Karo. Mengapa tidak, orang Karo tak kan mungkin hidup tanpa hutan. Dengan dirambahnya hutan, pastilah ekosistem terganggu. Padahal, masyarakat Karo mayoritas hidup dengan pertanian.
Banyak Jalan Merusak Hutan
Hadirin yang mulia, dari hasil pengamatan dan survei di lapangan, ada banyak jalan yang menuju areal hutan lindung. Taman Hutan Raya Bukit Barisan dan Kawasan Ekosistem Leuser di Kabupaten Karo, bertujuan hanya untuk merambah hutan secara semena-mena sehingga rusak dan porak-poranda.
Pertama, kerusakan hutan di Lau Gedang yang merupakan daerah segitiga antara Kabupaten Deli Serdang, Langkat dan Karo, di kaki Gunung Sibayak. Di sini, 1000 hektar hutan dirambah atas rekomendasi DPRD Karo Nomor 172/371/2001 Tanggal 27 April yang ditandatangi oleh Bastanta Surbakti, Wakil Ketua DPRD Karo Periode 1999-2004.
Kedua, kerusakan terjadi di hutan lindung Simpang Doulu, seluas 6 hektar dirambah. Ini pun atas rekomendasi pimpinan DPRD Kabupaten Karo Nomor 174/168/2002 Tanggal 28 Februari 2002 yang ditandatangani oleh Ketua DPRD Karo, Bon Purba.
Ketiga, hutan lindung Sibuaten (Register 3/K) yang terletak di Kecamatan Juhar Kabupaten Karo. Perusakan berawal dari pembukaan jalan antara beberapa desa sesuai Surat Keputusan (SK) Bupati Karo Nomor 522/193/2001 Tanggal 13 Oktober 2001, memberi HPHH seluas 40 hektar, yang merupakan pinjam pakai antara Kanwil Kehutanan Sumatera Utara dengan Bupati Karo Nomor 4/15/II/KUT-5/1989 dan kemudian direvisi dengan surat Nomor 59/79/KUL/672/2000.
Selanjutnya Bupati Karo mengeluarkan surat Nomor 620/0034 Tanggal 30 Desember 2000, Kilang Papan Nangga Lutu milik Acong diberi izin pemanfaatan kayu. Kemudian, dengan surat Tanggal 20 Februari 2001 Nomor 522.21/1252/3-A, memberikan Izin Penebangan Kayu (IPK) atas nama IPKH Nangga Lutu milik Acong.
Di Juhar, jalan dibuat berkelok-kelok ke arah kayu besar, 40 hektar lebih kawasan hutan porak-poranda. Akibatnya, Desa Juhar – kampung Valentino sendiri – jadi kering. Kejadian inilah awalnya, mendorong Valentino untuk peduli hutan.
Keempat, hutan lindung Deleng Cengkeh, seluas 51 hektar rusak dirambah 57 warga sekitar. Para pelakunya telah dapat diidentifikasi oleh Dinas Kehutanan Kabupaten Karo, akan tetapi proses hukumnya sama sekali tidak dijalankan. Malahan, dinas kehutanan membuat perdamaian dengan perambah hutan tersebut.
Kelima, kerusakan hutan di Kuta Kendit berawal dari program Pemkab Karo yang membuka hutan sebagai areal transmigrasi untuk suku terasing yang diprakarsai Dinas Sosial Sumatera Utara. Padahal, kita tahu, tidak ada suku terasing di Kabupaten Karo. Rupanya, ‘suku terasing’ itu adalah orang-orang yang melarikan diri dari Riau karena mencuri kayu, takut rerjerat hukum.
Dengan alasan pembukaan hutan itulah, hutan Kuta Kendit dirambah. Pada tahun 2004 ada sekitar 120 KK menghuni hutan Kuta Kendit tersebut.
Karena hutan-hutan yang telah dibuka, tidak habis dikerjakan oleh penduduk tersebut, maka diberikan pula izin kepada PT Praja yang berkantor di Kantor Bupati Kepala Daerah Kabupaten Karo. Dengan demikian Pemkab Karo terlibat dalam masalah ini. Dapat diduga – pemberian izin kepada PT Praja itu – ada udang di balik batu.
Keenam, kerusakan terjadi akibat jalan tembus Kabupaten Langkat-Karo. Di sini, Pemprovsu ikut pula merambah hutan tanpa izin. Pembukaan jalan antara Desa Kuta Rakyat (Karo) dengan Desa Pamahsimelir (Langkat), membelah hutan lindung dan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL).
Ketujuh, hutan lindung Siosar yang dirusak oleh PT Kastil milik Sudarto. Kerusakan berawal dari rekomendasi bupati seluas 100 hektar. Yang diusulkan mereka kepda Manteri Kehutanan 2600 hektar. Meski tidak ada izin Menteri Kehutanan, mereka merambah terus, karenanya kerusakan hutan mencapai 600 hektar. Padahal, yang 100 hektar itu pun sebenarnya harus izin Menteri Kehutanan, bukan rekomendasi bupati. Karena, itu adalah hutan konversi, bukan hutan rakyat.
Saya dan tim masuk ke Siosar pada 8 Agustus 2003, kawasan tersebut dikawal aparat. Kalau saya tidak masuk, boleh jadi hutan di sana sudah habis. Padahal, dua aliran sungai yang menuju Danau Toba, berasal dari sini. Maka, bila hujan deras di Siosar, air Danau Toba akan meluap, membanjiri persawahan serta perladangan masyarakat. Begitu air mereda, terlihatlah sedimentasi pasir yang mengakibatkan kerusakan di sawah dan ladang petani itu. Siapa yang bertangung jawab? Atau kita memang tak peduli dengan saudara-saudara kita?
Di tengah hutan ini juga telah dibuka jalan tanpa izin Menteri Kehutanan, yang katanya untuk areal agropolitan. Beberapa waktu berselang, Dinas Kehutanan Sumatera Utara, telah menginstruksikan kepada Dinas Kehutanan Kabupaten Karo untuk menghentikan pembukaan hutan tersebut, tetapi tidak diindahkan.
Kedelapan, Coporate Farming Tambar Malem, dibuka Bupati Karo dengan keluarga dan kerabatnya, seperti istri, anak, ipar dan saudaranya serta Ketua DPRD Karo. Di belakangnya terjadi pencurian kayu. Valentino sudah adukan ke Polres Tanah Karo. Namun, ketika diadukan namanya Anthony Ginting, sementara di BAP namanya berubah menjadi Toni Ginting,
Ketika berdialog dengan Anthony Ginting, ia mengatakan menebang kayu atas perintah Bupati Karo Sinar Peranginangin. Yang paling aneh, Anthony Ginting masuk DPO (Daftar Pencarian Orang). Padahal ia ada di kampungnya ketika itu. Apakah ini yang kita mau.
Seharusnya, pembukaan corporate farming, mendapat izin dari Menteri Kehutanan, tetapi sama sekali tidak ada. Sebab itu pula, Dinas Kehutanan Sumatera Utara memerintahkan kepada Dinas Kehutanan Kabupaten Karo untuk menutup corporate farming tersebut. Ironisnya, di sini, terjadi kematian pohon-pohon pinus secara meluas, yang diduga akibat disuntik dengan zat kimia tertentu.
Kesembilan, kerusakan hutan juga terjadi di Rimo Bunga di Deleng Leweh. Kerusakan di sini, karena Pemkab Karo membiarkan koloni masyarakat pendatang, mendirikan perkampungan baru di tengah hutan lindung. Padahal hanya 5 KK yang menghuni hutan ini, tetapi perlu dibuat jalan yang mulus.
Sementara itu, di perkampungan lain – karena tidak ada hutannya – jalan-jalan dibiarkan porak-poranda. Kebijakan membiarkan perambahan hutan ini juga kita lihat terjadi di sekitar Kuta Pengkih yang termasuk dalam kawasan Ekosistem Leuser. Perambahan juga terjadi di Desa Pernantin, meski pelakunya sudah ditangkap namun dilepas kembali oleh polisi.
Dewasa ini, dengan alasan hutan rakyat, pohon-pohon ditebang. Padahal, jika itu hutan rakyat, seyogianya tidak boleh menggunakan alat-alat berat. Sedangkan dari hasil investigasi kami sekitar enam bulan yang lalu, di Cingkes – perbatasan Tanah Karo dengan Simalungun – pohon-pohon tersebut ditebang di areal DAS dengan kemiringan di atas 30 derajat Celsius dan menggunakan alat berat.
Lawan Perambah Hutan
Melihat kondisi alam Tanah Karo yang rusak, saya mengimbau agar warga bersatu teguh, membulatkan tekad: lawan siapa pun perambah hutan.
Persoalannya, apakah kita semua siap menghadapi teror yang dilakukan lewat iming-iming uang, jabatan maupun ancaman seperti penodongan, dan lain sebagainya? Saya sendiri pada 15 Juli 2003, ditodong Sudarto dengan pistol ke arah perut kanan di teras Kantor Bupati Karo.
Selanjutnya, penodongan itu diadukan ke Polres Tanah Karo. Karena kurang mendapat respon, saya kembali mengadu ke Poldasu. Karena locus de licty-nya di Tanah Karo, maka pengaduan dilimpahkan kembali ke Polres Tanah Karo. Dalam pada itu Sudarto pun mengadukan saya (Valentino) atas dasar pencemaran nama baik. Maka perkara split ini disidangkan bersamaan antara Sudarto sebagai terdakwa dan Valentino sebagai terdakwa.
Perkara pidana Regno: 274/Pid.B/2003/PN Kabanjahe tersebut, mulai disidangkan sekitar September 2003 dan pembacaan vonis 14 April 2004, dengan hasil bebas murni untuk saya dan bebas murni pula untuk Sudarto.
Oleh Kejaksaan Negeri Kabanjahe selanjutnya dilakukan kasasi. Putusan Mahkamah Agung bebas murni buat Valentino. Sementara info yang didapatkan, Sudarto divonis satu tahun, tetapi keputusan MA tetang Sudarto tidak jelas juntrungannya. Ketika ditanyakan ke PN Kabanjahe, dikatakan mareka belum menerima putusan MA tersebut.
Teror Terus Menimpa
Tidak hanya sampai di situ. Teror terus menimpa saya. Sejak 29 Agutus 2007 hingga 48 hari saya ditahan di RTP (Rumah Tahanan Polisi) Poldasu atas sangkaan yang tidak saya lakukan bahkan sama sekali tidak saya ketahui.
Uniknya, pelaku utamanya sama sekali tidak pernah ditahan di Poldasu dan tidak ada orang (korban) yang mengadu bahwa dirinya telah ter atau ditipu. Saya pun sama sekali tidak pernah memerintahkan ataupun menganjurkan untuk mencantumkan logo – yang dianggap milik Poldasu – di brosur BT/BS BIMA yang jadi masalah tersebut.
Logo itulah alasan petugas Poldasu menahan saya selama 48 hari. Menurut saya, ini merupakan rangkaian teror yang telah dilakukan sejak tahun 2003 dengan cara mengikuti-ikuti setiap gerak-gerik saya. Mengapa tidak, pencetakan brosur berlogo Poldasu tersebut – menurut data-data yang kami himpun – bukan di percetakan milik BIMA.
Jadi, kalau ingin hutan-hutan tetap lestari, kita harus menanamkan tekad di dalam hati, lebih baik sebuah nyawa melayang ketimbang sebatang pohon ditebang. Karena penebangan pohon/hutan secara membabi buta, apalagi di DAS (daerah aliran sungai) dan kemiringan di atas 30 derajat, pastilah menyebabkan bencana banjir, longsor, serta merosotnya ketersediaan air, dan lain-lain.
Begitu juga suhu udara, setiap kenaikan empat derajat Celcius mengakibatkan perubahan pola tanam. Kini – sama kita lihat dan rasakan –di Tanah Karo sering terjadi hujan es (batu) dan udaranya sudah panas. Jelas kerusakan hutan menyebabkan kemiskinan secara massif bagi masyarakat. Pertanyaannya, siapkah kita menghentikannya?
Sebab di hutan (rimba) memang kerap tejadi hukum rimba: siapa yang kuat dia yang menang, bukan siap yang benar dia yang kuat. Apalagi ketika para penguasa adalah predator seperti singa atau harimau, maka siapa pun disantapnya.
Syahdan, ketika peguasa rimba (singa) mengundang penghuni rimba untuk memberi tanggapan terhadap aroma kandangnya, maka yang selamat hanya makhluk yang pilek saja. Ketika kerbau yang dungu ditanyakan bagaimana aroma kandang singa, dijawab spontan: “rumah baginda sangat bau amis darah.” Singa pun mengatakan ini sebuah penghinaan terhadap penguasa, maka kerbau harus dijagal dan dagingnya diberikan pada singa untuk disantap.
Lalu, ketika giliran kuda ditanya – karena takut mengatakan yang sebenarnya – dijawab: “kandang baginda sangat wangi”. Mendengar jawaban itu, singa marah besar. “Ini kebohongan publik. Mana mungkin kandang (rumah)-ku wangi,” tegas singa. Karena berbohong, kuda pun harus dijagal, dagingnya diserahkan pada singa untuk disantap.
Selanjutnya, giliran kancil. Saat ditanya, kancil tak memberikan jawaban apa pun. “Kenapa kau tak memberi penilaian terhadap kandangku?” tanya singa. “Mohon maaf baginda, saya tak dapat mengendus apa pun karena sedang pilek. Kancil pun selamatlah.
Demikianlah, di tengah penguasa rimba, kalau kita ingin selamat, haruslah bersikap seperti kancil: tidak memberikan tanggapan apa-apa. Yang saya bingung, untuk apa kita sekolah, mengadakan reformasi kalau hanya untuk pilek. Karena memang maling-maling kayu, berikut para pelindung dan pesuruhnya tak ingin ada orang-orang cerdas yang berani bersikap. ***
*Disampaikan Sabtu, 16 Februari 2008
di Gedung Politeknik MBP Lantai I
**Direktur LSM Pelindung Bumimu
Dan Pimpinan BT/BS BIMA Indonesia
Hutan di Tanah Karo dan Sikap Kita
Hutan di Tanah Karo dan Sikap Kita
Panitia Pendidikan Relawan Pemuda Pelindung Hutan & Lingkungan Hidup Kabupaten Karo Sumatera Utara meminta dr Robert Valentino Tarigan SPd sebagai narasumber. Karena kesibukan yang tak dapat dihindari maka beliau menugaskan pada saya (Hidayat Banjar) untuk menyampaikan pokok-pokok pikirannya. Mudah-mudahan saja – meski tak utuh – apa-apa yang dipesankannya pada saya dapat disampaikan pada forum ini.
Panitia menyajikan tema: “Hutan di Kabupaten Karo dan Tantangan di Masa Depan”. Secara umum sudah sama kita ketahui, hutan di Tanah Karo, telah dibabat oleh para cukong – baik legal maupun ilegal. Karenanya jika tidak ada upaya moratorium serta reboisasi, niscaya ke depan akan semakin parah.
Padahal, siapa pun tahu, hutan adalah penyangga bumi dari kehancuran. Hutan pun merupakan paru-paru dunia. Kalau air dikatakan sumber kehidupan, hutan dapat dikatakan penyangganya. Mengapa tidak, akar-akar kayu yang ada di hutan berfungsi di samping menyerap juga menyimpan air. Singkatnya, hutan merupakan ‘mesin’ sirkulasi air paling canggih yang tak dapat digantikan dengan apa pun.
Dua Kutub
Membicarakan kelestarian hutan – mau tidak mau – akan berhadapan dengan dua kutub yang saling tarik-menarik kepentingan. Kutub pertama, pembela lingkungan – yang meskipun jadi martir – akan terus berjuang agar satu batang pohon pun jangan ditebang. Sementara, kutub berikutnya adalah pihak (kaum) industrialis.
Dengan seperangkat teknologi maju yang gagah perkasa, langkah kaum industrilialis tegap-tegap dan tak jarangan dengan kekejaman. Jelas saja, kenapa mereka menomorduakan hal lain di luar perhitungan laba rugi. Mereka mengejar pengembalian investasi dan keuntungan yang sebesar-besarnya. Ya, sesungguhnyalah, teknologi maju demikian bersahabat dengan modal, ‘padat modal’ istilahnya.
Ironisnya, janji-janji kemewahan materi bagi yang terlibat di dalamnya, sekonyong-konyong menyihir manusia untuk membabat semena-mena lingkungan hanya demi mengejar janji itu. Teknologi dan invesatasi yang gagah perkasa serta meniupkan janji kepuasan materi telah diagung-agungkan sebagai ‘sang dewata’.
Mengapa tidak, dewasa ini, satu ton kayu log yang belum diolah Rp 5 juta. Satu batang pohon saja, bisa mencapai 10 – 30 ton lebih. Bayangkan, kalau di satu kawasan hutan ada puluhan ribu batang kayu, berapakah uangnya? Sungguh banyak sekali.
Uang, inilah motif dari orang-orang yang terlibat dalam ‘permainan’ kayu, baik legal maupun ilegal. Maka, dengan cara maupun jalan apa pun, hutan harus dirambah. Karena, hanya di hutanlah bersemayam kayu-kayu besar yang berumur ratusan tahun.
Di Tanah Karo
Menurut Bujur Sitepu (SIB 14 Agustus 2003), luas hutan di Tanah Karo pada sebelum merdeka 1/3 luas daerah produksi. Tetapi sekarang, luas itu hanya tinggal 1/7 saja. Nah, kalau dibiarkan, tidak mustahil Tanah Karo akan gundul dan Medan pun akan senantiasa mendapat banjir bandang (kiriman) dari Tanah Karo. Ini sudah kita rasakan, pada tahun 2001 Sunggal mengalami kebanjiran yang menewaskan 13 jiwa serta harta yang tak sedikit. Juga banjir-banir lain seperti di Lubuk Pakam, Binjai, Belawan dan lain sebagainya. Mungkin-mungkin – jika tak dicegah – Medan pun akan tenggelam. Mengerikan, ya, sangat mengerikan.
Tragedi yang sangat dahsyat terjadi di Bahorok hampir 2 November 2003 malam. Mengenang tragedi Bohorok tersebut sesungguhnya adalah membuka catatan buram tentang hutan kita. Tak perlu memang saling menyalahkan, yang penting ke depan semua kita harus introspeksi dan mawas diri. Sebab, bencana tetaplah bernama bencana meskipun dibolak-balik dengan berbagai apologi dan dibungkus kalimat-kalimat manis penuh retorika.
Senin (3/11-2003) sore dr Robert Valentono SPd dan tim, termasuk saya menuju Bahorok yangdi samping memberi bantuan ala kadarnya, juga ingin membuktikan bahwa benar banjir bandang ini adalah akibat perambahan hutan di Gunung Leuser. Diduga keras, banjir ini berasal dari Tanah Karo, Kota Cane dan Langkat. Sebab, tiga kawasan itulah yang paling dekat dan paling mungkin mengirmkan bah ke Bukit Lawang ini. Dan, memang hutan Gunung Leuser di tiga kawasan tersebut telah dibabat oleh perampok kayu.
Saudara-saudara Pemuda Pelindung Hutan & Lingkungan Hidup Tanah Karo, dr Robert mulai terlibat atau melibatkan diri dalam perjuangan menyelematkan hutan yang ada di Tanah Karo berawal dari 17 Agustus 2002. Ketika itu ia pulang ke Desa Juhar Kecamatan Juhar. Betapa pedih hatinya saat hendak mandi, sungai telah kering. Masyarakat pun terpaksa berkilo-kilo meter mengambil air ke lembah-lembah.
Siapa yang tak sedih melihat kenyatan itu? Ini benar-benar sebuah proses pemiskinan masyarakat Karo. Mengapa tidak, orang Karo tak kan mungkin hidup tanpa hutan. Dengan dirambahnya hutan, pastilah ekosistem terganggu. Padahal, masyarakat Karo mayoritas hidup dengan pertanian.
Banyak Jalan Merusak Hutan
Hadirin yang mulia, dari hasil pengamatan dan survei di lapangan, ada banyak jalan yang menuju areal hutan lindung. Taman Hutan Raya Bukit Barisan dan Kawasan Ekosistem Leuser di Kabupaten Karo, bertujuan hanya untuk merambah hutan secara semena-mena sehingga rusak dan porak-poranda.
Pertama, kerusakan hutan di Lau Gedang yang merupakan daerah segitiga antara Kabupaten Deli Serdang, Langkat dan Karo, di kaki Gunung Sibayak. Di sini, 1000 hektar hutan dirambah atas rekomendasi DPRD Karo Nomor 172/371/2001 Tanggal 27 April yang ditandatangi oleh Bastanta Surbakti, Wakil Ketua DPRD Karo Periode 1999-2004.
Kedua, kerusakan terjadi di hutan lindung Simpang Doulu, seluas 6 hektar dirambah. Ini pun atas rekomendasi pimpinan DPRD Kabupaten Karo Nomor 174/168/2002 Tanggal 28 Februari 2002 yang ditandatangani oleh Ketua DPRD Karo, Bon Purba.
Ketiga, hutan lindung Sibuaten (Register 3/K) yang terletak di Kecamatan Juhar Kabupaten Karo. Perusakan berawal dari pembukaan jalan antara beberapa desa sesuai Surat Keputusan (SK) Bupati Karo Nomor 522/193/2001 Tanggal 13 Oktober 2001, memberi HPHH seluas 40 hektar, yang merupakan pinjam pakai antara Kanwil Kehutanan Sumatera Utara dengan Bupati Karo Nomor 4/15/II/KUT-5/1989 dan kemudian direvisi dengan surat Nomor 59/79/KUL/672/2000.
Selanjutnya Bupati Karo mengeluarkan surat Nomor 620/0034 Tanggal 30 Desember 2000, Kilang Papan Nangga Lutu milik Acong diberi izin pemanfaatan kayu. Kemudian, dengan surat Tanggal 20 Februari 2001 Nomor 522.21/1252/3-A, memberikan Izin Penebangan Kayu (IPK) atas nama IPKH Nangga Lutu milik Acong.
Di Juhar, jalan dibuat berkelok-kelok ke arah kayu besar, 40 hektar lebih kawasan hutan porak-poranda. Akibatnya, Desa Juhar – kampung Valentino sendiri – jadi kering. Kejadian inilah awalnya, mendorong Valentino untuk peduli hutan.
Keempat, hutan lindung Deleng Cengkeh, seluas 51 hektar rusak dirambah 57 warga sekitar. Para pelakunya telah dapat diidentifikasi oleh Dinas Kehutanan Kabupaten Karo, akan tetapi proses hukumnya sama sekali tidak dijalankan. Malahan, dinas kehutanan membuat perdamaian dengan perambah hutan tersebut.
Kelima, kerusakan hutan di Kuta Kendit berawal dari program Pemkab Karo yang membuka hutan sebagai areal transmigrasi untuk suku terasing yang diprakarsai Dinas Sosial Sumatera Utara. Padahal, kita tahu, tidak ada suku terasing di Kabupaten Karo. Rupanya, ‘suku terasing’ itu adalah orang-orang yang melarikan diri dari Riau karena mencuri kayu, takut rerjerat hukum.
Dengan alasan pembukaan hutan itulah, hutan Kuta Kendit dirambah. Pada tahun 2004 ada sekitar 120 KK menghuni hutan Kuta Kendit tersebut.
Karena hutan-hutan yang telah dibuka, tidak habis dikerjakan oleh penduduk tersebut, maka diberikan pula izin kepada PT Praja yang berkantor di Kantor Bupati Kepala Daerah Kabupaten Karo. Dengan demikian Pemkab Karo terlibat dalam masalah ini. Dapat diduga – pemberian izin kepada PT Praja itu – ada udang di balik batu.
Keenam, kerusakan terjadi akibat jalan tembus Kabupaten Langkat-Karo. Di sini, Pemprovsu ikut pula merambah hutan tanpa izin. Pembukaan jalan antara Desa Kuta Rakyat (Karo) dengan Desa Pamahsimelir (Langkat), membelah hutan lindung dan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL).
Ketujuh, hutan lindung Siosar yang dirusak oleh PT Kastil milik Sudarto. Kerusakan berawal dari rekomendasi bupati seluas 100 hektar. Yang diusulkan mereka kepda Manteri Kehutanan 2600 hektar. Meski tidak ada izin Menteri Kehutanan, mereka merambah terus, karenanya kerusakan hutan mencapai 600 hektar. Padahal, yang 100 hektar itu pun sebenarnya harus izin Menteri Kehutanan, bukan rekomendasi bupati. Karena, itu adalah hutan konversi, bukan hutan rakyat.
Valentino dan tim masuk ke Siosar pada 8 Agustus 2003, kawasan tersebut dikawal aparat. Kalau Valentino tidak masuk, boleh jadi hutan di sana sudah habis. Padahal, dua aliran sungai yang menuju Danau Toba, berasal dari sini. Maka, bila hujan deras di Siosar, air Danau Toba akan meluap, membanjiri persawahan serta perladangan masyarakat. Begitu air mereda, terlihatlah sedimentasi pasir yang mengakibatkan kerusakan di sawah dan ladang petani itu. Siapa yang bertangung jawab? Atau kita memang tak peduli dengan saudara-saudara kita?
Di tengah hutan ini juga telah dibuka jalan tanpa izin Menteri Kehutanan, yang katanya untuk areal agropolitan. Beberapa waktu berselang, Dinas Kehutanan Sumatera Utara, telah menginstruksikan kepada Dinas Kehutanan Kabupaten Karo untuk menghentikan pembukaan hutan tersebut, tetapi tidak diindahkan.
Kedelapan, Coporate Farming Tambar Malem, dibuka Bupati Karo dengan keluarga dan kerabatnya, seperti istri, anak, ipar dan saudaranya serta Ketua DPRD Karo. Di belakangnya terjadi pencurian kayu. Valentino sudah adukan ke Polres Tanah Karo. Namun, ketika diadukan namanya Anthony Ginting, sementara di BAP namanya berubah menjadi Toni Ginting,
Ketika berdialog dengan Anthony Ginting, ia mengatakan menebang kayu atas perintah Bupati Karo Sinar Peranginangin. Yang paling aneh, Anthony Ginting masuk DPO (Daftar Pencarian Orang). Padahal ia ada di kampungnya ketika itu. Apakah ini yang kita mau.
Seharusnya, pembukaan corporate farming, mendapat izin dari Menteri Kehutanan, tetapi sama sekali tidak ada. Sebab itu pula, Dinas Kehutanan Sumatera Utara memerintahkan kepada Dinas Kehutanan Kabupaten Karo untuk menutup corporate farming tersebut. Ironisnya, di sini, terjadi kematian pohon-pohon pinus secara meluas, yang diduga akibat disuntik dengan zat kimia tertentu.
Kesembilan, kerusakan hutan juga terjadi di Rimo Bunga di Deleng Leweh. Kerusakan di sini, karena Pemkab Karo membiarkan koloni masyarakat pendatang, mendirikan perkampungan baru di tengah hutan lindung. Padahal hanya 5 KK yang menghuni hutan ini, tetapi perlu dibuat jalan yang mulus. Padahal, di perkampungan lain – karena tidak ada hutannya – jalan-jalan dibiarkan porak-poranda. Kebijakan membiarkan perambahan hutan ini juga kita lihat terjadi di sekitar Kuta Pengkih yang termasuk dalam kawasan Ekosistem Leuser. Perambahan terakhir terjadi di Desa Pernantin, meski pelakunya sudah ditangkap namun dilepas kembali oleh polisi.
Melihat kondisi alam Tanah Karo yang rusak, Valentino mengimbau agar warga bersatu teguh, membulatkan tekad: lawan siapa pun perambah hutan.
Persoalannya, apakah kita semua siap menghadapi teror: lewat iming-iming uang, jabatan bahkan pistol? Valentino sendiri pada 15 Juli 2003, ditodong Sudarto dengan pistol ke arah perut kanannya di teras Kantor Bupati Karo.
Selanjutnya, penodongan itu diadukan Valentino ke Polres Tanah Karo. Karena kurang mendapat respon, Valentino kembali mengadu ke Poldasu. Karena locus de licty-nya di Tanah Karo, maka pengaduan dilimpahkan kembali ke Polres Tanah Karo. Dalam pada itu Sudarto pun mengadukan Valentino atas dasar pencemaran nama baik. Maka perkara split ini disidangkan bersamaan antara Sudarto sebagai terdakwa dan Valentino sebagai terdakwa.
Perkara pidana Regno: 274/Pid.B/2003/PN Kabanjahe tersebut, mulai disidangkan sekitar September 2003 dan pembacaan vonis 14 April 2004, dengan hasil bebas murni untuk Valentino dan bebas murni pula untuk Sudarto.
Oleh Kejaksaan Negeri Kabanjahe selanjutnya dilakukan kasasi. Putusan Mahkamah Agung bebas murni buat Valentino. Sementara info yang didapatkan, Sudarto divonis satu tahun, tetapi keputusan MA tetang Sudarto tidak jelas juntrungannya. Ketika ditanyakan ke PN Kabanjahe, dikatakan mareka belum menerima putusan MA tersebut. ***
Disampaikan Sabtu, 16 Februari 2008
Di Gedung Politeknik MBP Lantai I
Langganan:
Postingan (Atom)