Rangkaian Teror terhadap Robert Valentino
Saya ditahan di RTP (Rumah Tahanan Polisi) Poldasu atas sangkaan yang tidak saya lakukan bahkan sama sekali tidak saya ketahui.Uniknya, pelaku utamanya sama sekali tidak pernah ditahan di Poldasu dan tidak ada orang (korban) yang mengadu bahwa dirinya telah ter atau ditipu. Saya pun sama sekali tidak pernah memerintahkan ataupun menganjurkan untuk mencantumkan logo – yang dianggap milik Poldasu – di brosur BT/BS BIMA yang jadi masalah tersebut.Logo itulah alasan petugas Poldasu menahan saya selama 45 hari. Menurut saya, ini merupakan rangkaian teror yang yang telah dilakukan sejak tahun 2003. Untuk lebih lengkapnya, saya laporkan sejak awal (2003) teror dan pelanggaran HAM yang dilakukan oknum petugas berkospirasi dengan pengusaha kayu kepada saya.
Saya ditahan di RTP (Rumah Tahanan Polisi) Poldasu atas sangkaan yang tidak saya lakukan bahkan sama sekali tidak saya ketahui.Uniknya, pelaku utamanya sama sekali tidak pernah ditahan di Poldasu dan tidak ada orang (korban) yang mengadu bahwa dirinya telah ter atau ditipu. Saya pun sama sekali tidak pernah memerintahkan ataupun menganjurkan untuk mencantumkan logo – yang dianggap milik Poldasu – di brosur BT/BS BIMA yang jadi masalah tersebut.Logo itulah alasan petugas Poldasu menahan saya selama 45 hari. Menurut saya, ini merupakan rangkaian teror yang yang telah dilakukan sejak tahun 2003. Untuk lebih lengkapnya, saya laporkan sejak awal (2003) teror dan pelanggaran HAM yang dilakukan oknum petugas berkospirasi dengan pengusaha kayu kepada saya.
Ditodong dengan PistolBerawal dari advokasi hutan yang saya lakukan bersama rakyat di Tanah Karo yang berujung ke pengadilan, seterusnya teror pun nyaris tak pernah henti terhadap saya.Pada 15 Juli 2003, Sudarto menodongkan pistolnya ke arah perut kanan saya di teras Kantor Bupati Karo karena merasa usaha kayunya terusik. Selanjutnya, penodongan itu saya adukan ke Polres Tanah Karo. Karena kurang mendapat respons, saya kembali mengadu ke Poldasu. Karena locus de licty-nya di Tanah Karo, maka pengaduan dilimpahkan kembali ke Polres Tanah Karo.
Dalam pada itu Sudarto pun mengadukan saya melakukan pencemaran nama baik. Maka perkara ini disidangkan bersamaan (split) antara Sudarto sebagai terdakwa dan Valentino (saya) sebagai terdakwa.Perkara pidana Regno: 274/Pid.B/2003/PN Kabanjahe tersebut, mulai disidangkan sekitar September 2003 dan pembacaan vonis 14 April 2004, dengan hasil bebas murni untuk saya (Valentino) dan bebas murni pula untuk Sudarto.Karena merasa keputusan pengadilan tak memenuhi rasa keadilan, saya meminta kepada Kejaksaan Negeri Kabanjahe untuk melakukan kasasi. Sebab, seandainya memang Sudarto tak terbukti melakukan penodongan, tentu saya yang harus divonis telah melakukan pencemaran nama baik. Atau sebaliknya, jika memang tak terbukti saya melakukan pencemaran nama baik, tentu Sudarto yang harus dihukum.Putusan kasasi terhadap saya bebas murni, sedangkan Sudarto – menurut informasi yang saya dapatkan – divonis satu tahun penjara. Anehnya, putusan kasasi Sudarto itu, tak jelas rimbanya. Ketika dipertanyakan ke PN Kabajahe, petugas mengatakan tidak mengetahuinya.
Pengepungan BT/BS BimaTeror berikutnya berawal dari adanya sekelompok mahasiswa pencinta alam berkemah di lokasi hutan Tormatutung Asahan melihat kondisi hutan yang porak-poranda. Memang selama ini hutan lindung Tormatutung yang terletak di Kecamatan Bandar Pulau, Kabupaten Asahan (berbatasan dengan Kabupaten Simalungun) sudah hampir gundul karena kayu-kayunya ditebang oleh para cukong kayu.Entah bagaimana, ada pula sekelompok orang yang tidak senang dengan kegiatan kelompok mahasiswa, lalu menginterogasi mahasiswa tersebut. Merasa takut, para mahasiswa menyebut-nyebut nama saya (dr. Robert Valentino Tarigan S.Pd.).
Diduga keras inilah penyebab pengepungan BT/BS Bima pada 28 Oktober 2005 Jumat malam sekitar pukul 23.00 Wib. Mungkin, pihak-pihak pelindung pelaku illegal logging menganggap adik-adik mahasiswa tersebut adalah orang-orang yang saya tugaskan, padahal mereka sama sekali tidak saya kenal.Lokasi BT/BS BIMA dikepung oknum yang diduga aparat Polres Deli Serdang, Asahan dan Polsek Medan Baru serta Polsek Helvetia. Jumlah mereka lebih dari 50 orang berikut 2 (dua) mobil patroli Suzuki Katana, mobil pribadi dan beberapa sepeda motor diduga milik oknum polisi yang diparkirkan di jalan Mojopahit Medan dekat Hotel Casablanca, juga di lokasi parkir hotel tersebut, Jl. Hayam Wuruk simpang Majapahit Medan.Saya menginformasikan peristiwa tersebut berikut menyampaikan pengaduan tertulis ke Poldasu yang diterima oleh Waka Poldasu Brigjen Drs. Rubbani Pranoto. Lalu pada 14 Desember 2005 saya sebagai pelapor berikut saksi TKP Vivi Kananda Siregar dan Ijik diperiksa di Propam Poldasu. Esoknya harinya (Kamis 15/12) Nazaruddin alias Udin, Kepling juga diperika sebagai saksi.Di Propam, saya dan Vivi Kananda Siregar diperiksa Juper Alfred Simanjuntak. Sedangkan Ijik diperiksa oleh Juper Nasran.Sekitar Maret 2006, PGRI Sumut pun mempertanyakan pengaduan atas pengepungan itu, juga tak ada tanggapan. Sampai hari ini, pengaduan saya dan PGRI terhadap pengepungan itu tak jelas rimbanya.
Informasi yang saya dapatkan, pengepungan tersebut dipimpin langsung oleh Saudara Mahfud yang pada waktu itu adalah Kapolres Asahan dan Saudara Sandy Nugroho yang pada waktu itu adalah Kasat Reskrim Asahan. Indikasi ini terlihat, keduanya – ketika itu – lebih banyak waktunya berada di Medan dibanding di Asahan.Apa tujuan dilakukan pengepungan lokasi BT/BS BIMA tersebut, saya juga tidak tahu pasti. Mungkin saja untuk menakut-nakuti saya yang hanya seorang guru agar berhenti dari gerakan advokasi lingkungan. Yang pasti, pengaduan saya tersebut tak jelas rimbanya.
Teror Terus BerlanjutSetelah itu, teror terus berlanjut terhadap saya. Seorang warga keturunan bernama Aleng mengingatkan saya agar menghentikan kegiatan advokasi lingkungan khususnya melakukan serangan terhadap seseorang bernama Asiang Tebing Tinggi. Sempat terlontar kata-kata bernada ancaman, saya akan di-snipper (ditembak oleh penembak jitu) jika tidak menghentikan kegiatan membongkar jaringan pencuri kayu khususnya menyebut nama seseorang.Berbagai kejadian yang ganjil menimpa diri saya, baik secara langsung maupun tidak langsung al sbb :Dalam berbagai kesempatan, saya mendapat penjejakan (diikuti) oleh orang-orang yang tidak dikenal, namun diduga berasal dari aparat.
Anehnya penjejakan yang dilakukan seringkali tidak secara sembunyi-sembunyi melainkan terang-terangan menggunakan beberapa kenderaan yang sangat menyolok sehingga menimbulkan ketidaknyamanan.Pada sekitar Mei 2007 di sekitar Jl. Sei Serayu, mobil saya ditabrak seseorang bernama Anung Arianto (Mengaku supir Pribadi) padahal mobil yang saya dikendarai sudah berhenti di pinggir jalan karena sedang menerima telepon seluler dari rekan. (Dalam kesempatan tersebut KTP penabrak ditahan dan di KTP tertulis alamat Palembang).Seorang staf BT/BS BIMA bernama Reza ditabrak sepeda motornya di seputar Jalan Hayam Wuruk dekat lokasi BIMA sekitar bulan Juni 2007, namun dengan waktu sangat singkat muncul seorang aparat Polisi mengaku anggota Intel dari Polsek Medan Baru. Akibatnya Staf tersebut ketakutan padahal situasinya dia adalah korban penabrakan.
Pada Juni 2007 PLN Wilayah Sumatera Utara melakukan pemeriksaan terhadap meteran listrik gedung BT/BS BIMA di Jl. H.M. Yamin dan secara sepihak menyatakan BT/BS BIMA melakukan pencurian arus listrik dan karenanya dituntut membayar dana Rp 16 juta atas kesalahan yang tidak dilakukan. Petugas juga mengakui kemungkinan kejadian dilakukan penyewa gedung terdahulu.Pada Mei 2007, Tim Advokasi saya tugaskan ke Langkat bekerjasama dengan WALHI Sumut melakukan penelitian ke lapangan terkait pencurian kayu di Langkat. Di jalan, tim terus diikuti oknum aparat. Sampai di tempat yang dijanjikan, penunjuk jalan berulah. Akibatnya tim gagal melakukan peliputan.
Selanjutnya saya merasakan adanya gangguan pada pesawat HP Nokia Type Communicator 9500 milik saya. Tiap kali akan melakukan SMS (Short Message Service) selalu muncul nomor yang tidak dikenal dengan nomor 0811….. Ketika ditanyakan kepada Telkomsel, petugas terlihat menutup-nutupi identitas pemilik nomor. Jawaban masing-masing petugas berbeda al. Pemilik adalah karyawan Telkomsel, Pemilik terdaftar sebagai karyawan PT Tolan Tiga, kesalahan adalah pada pengaturan di HP dll.Beberapa waktu kemudian ketika saya menuju Perumahan Padang Hijau Jl Medan Binjai, diikuti oleh 2 kenderaan roda 4 jenis Innova. Pada saat itu saya ingin membeli rumah atau Ruko untuk kantor BIMA. Belakangan diketahui penguntit juga menjumpai pemilik bangunan dan terkesan menyelidiki. Hal ini terlihat ganjil dan secara terang-terangan ingin tahu kegiatan saya.Puncak teror terjadi pada Agustus 2007, Baginda Aritonang dan saya diperiksa Poldasu dalam kasus pemakaian logo tanpa izin.
Baginda Aritonang pada 30 Agustus 2007 akhirnya berkas dan dirinya dilimpahkan ke Kejaksaan Tinggi Sumut. Baginda ditahan di Rutan (Rumah Tahanan) Tanjung Gusta. Padahal sebelumnya sama sekali tidak ditahan di Poldasu.Saya sendiri – setelah tiga kali pemeriksaan – akhirnya pada Rabu (29 Agustus 2007) ditahan di Reskrim Poldasu. Padahal, saya sama sekali tidak mengetahui pemuatan lambang (logo) Poldasu di brosur Bima tersebut. Ini benar-benar sebuah skenario yang tersistematis untuk melemahkan perjuangan penyelamatan hutan.
45 Hari di TahananSelanjutnya saya kemukakan kronologis penahanan, yang sampai hari ini (21/11-07) tidak jelas, apakah kelak kasus dugaan pemakaian logo tanpa izin dengan saya sebagai tersangka akan di-SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan)-kan atau dilanjutkan ke pengadilan. Waktulah kelak yang akan menjawabnya.Pada Desember 2006, saya dan beberapa pegawai BT/BS BIMA disibukkan dengan kegiatan peresmian Bima Cabang Tembung. Kesempatan inilah – mungkin – dimanfaatkan pihak-pihak tertentu untuk memasukkan saya ke tahanan.Saat peresmian Bima Cabang Tembung 21 Desember 2006, dua orang petugas Propam Poldasu datang membawa brosur bermasalah tersebut ke lokasi BT/BS BIMA Pusat di Jalan Bantam No. 6 A Medan. Karena, itu, usai peresmian saya buru-buru menuju lokasi BT/BS Bima pusat.
Menurut petugas, mencantumkan logo Poldasu (padahal di logo itu tidak ada tertera tulisan Poldasu hanya tertera Sumatera Utara) dan lambang RI (burung Garuda) merupakan kesalahan. Brosur itu, kata mereka, diedarkan di SPN Sampali 19 Desember 2006. Berarti, pencetakan brosur bermasalah tanpa sepengetahuan saya itu diperkirakan pada tanggal 18 Desember 2006.Betapa terkejutnya saya ketika sang Propam memperlihatkan di brosur tertera logo yang menyerupai logo Poldasu dan lambang Garuda. Saya katakan kepada mereka, brosur tersebut dicetak tanpa sepengetahuan saya.
Penanggung jawab Bimbingan Super Intensif Bintara Polri adalah Baginda Panuturi Aritonang SH.Petugas tersebut, bertujuan menanyakan kepada para siswa yang mengikuti Bimbingan Super Intensif Bintara, apakah mereka mengikuti bimbingan karena tertarik adanya logo dimaksud. Ketika sampai di lokal, secara spontan – pertanyaan petugas Propam – dijawab para siswa: “tidak!â€.Kemudian saya panggil Maria selaku sekretaris perusahaan, menanyakan apa ada brosur tersebut kita cetak. Oleh Maria, hal tersebut ditanyakan ke bagian perlengkapan. Ternyata di bagian perlengkapan tidak ada arsipnya. Lalu ditanya ke bagian informasi, juga tidak ada.
Selanjutnya kita menguhubungi cabang, juga tidak ada.Berikutnya kita pertayakan ke bagian percetakan, Mahadi mengakui Baginda yang suruh dan langsung dia cetak, hasilnya segera dibawa. Hal demikian tidak pernah terjadi di BT/BS BIMA.Biasanya manajer menyerahkan print out untuk dicetak ke Maria atau KTU, dibuat kartu kendalinya. Kalau mau cepat, langsung diantar ke meja saya untuk diperiksa dan saya paraf, lalu dicatat dan diantar ke percetakan oleh bagian ekspedisi. Hasilnya dibawa kembali ke Bima oleh ekspedisi yang menunggu di percetakan.
KesilapanSelanjutnya saya tanyakan kepada Baginda, kenapa ada brosur yang mencantumkan logo dimaksud. Saya tanyakan, padanya siapa yang mencetak ini, kenapa saya tidak diberitahu. Baginda menjawab, pencetakan brosur berlogo tersebut, dilakukannya atas inisiatif sendiri hanya dua rim saja untuk menambah kekurangan.Ketika saya tanyakan, kalau hanya untuk penambahan, kenapa harus memakai plat baru dan tanpa seizing saya. Baginda menjawab, itu memang kesilapannya. Karena sebelumnya, pencetakan brosur sejenis tidak memakai logo apa pun, selain logo BT/BS BIMA.Setelah itu, Februari 2007 datanglah panggilan dari Poldasu untuk memeriksa Baginda Aritonang.
Semula Baginda diperiksa sebagai saksi, belakangan berubah jadi tersangka. Ketika Baginda diperiksa sebagai tersangka, saya pun diperiksa pula sebagai saksi.Pada April 2007, BAP (Berita Acara Pemeriksaan) Baginda bolak-balik antara Poldasu dan Kejatisu (Kejaksaan Tinggi Sumut). Para Jaksa sepertinya enggan menangani perkara ini karena dianggap tidak cukup pasal (sumir) untuk diajukan ke PN (Pengadilan Negeri) Medan. Kalau tidak silaf, sampai enam kali berkas Baginda hilir-mudik dari Poldasu ke Kejatisu, dan kembali ke Poldasu.Entah bagaimana ceritanya, pada Agustus 2007, datang panggilan dari Poldasu untuk memeriksa saya dalam status tersangka.
Setiap kali pemanggilan – baik sebagai saksi maupun tersangka – tidak pernah tidak saya hadiri. Begitu juga ketika dipanggil oleh petugas Polres Kabanjahe maupun Poldasu terkait advokasi hutan di Tanah Karo dan daerah Sumut lainnya, saya tetap datang. Bahkan, ketika dipanggil ke Aceh Tenggara, juga terkait advokasi hutan saya datang.Ya, penahanan saya, semata-mata karena para maling kayu, dikoordinir oleh lelaki berinisial S (yang vonis kasasinya hukuman satu tahun penjara raib entah ke mana) merasa gerah dengan advokasi hutan yang saya dan tim lakukan di berbagai daerah di Sumut dan Aceh.
Lelaki berinisial S, salah seorang pengusaha kayu dan kawan-kawannya membiayai penahanan saya, sehingga kesalahan yang tidak saya lakukan pun harus saya pikul.Setelah dua kali dimintai keterangan masalah dugaan pemakaian logo tanpa izin, saya pun ditahan pada Rabu 29 Agustus 2007. Bukankah ini merupakan pelanggaran HAM? Saya tak mungkin menghilangkan barang bukti dan melarikan diri. Barang bukti – kalaupun brosur tersebut dianggap menyalahi ketentuan – sudah di tangan pihak Poldasu. Saya pimpinan beberapa yayasan, tak masuk akal kalau melarikan diri.
Di TahananKarena logi itu, saya dijerat pasal 378 dan 228 serta harus masuk sel. Berbagai elemen masyarakat, seperti mahasiswa, ormas, LSM, keluarga, dan lainnya, menganjurkan agar saya memohon penangguhan penahanan.Sembari mengenang proses penahanan yang terkesan unik, dan permintaan berbagai elemen itu, saya bertanya dalam hati: apa salah saya, sehingga harus memohon penangguhan penahanan? Apakah saya tidak boleh menguji sejauh mana hukum dan aparatnya telah berjalan di rel yang benar?Apakah permohonan penangguhan penahanan, bukan merupakan upaya merontokkan martabat aktivis seperti saya? Dengan memohon penangguhan penahanan, berarti saya mengakui kesalahan yang dituduhkan.
Apakah wajar saya mengakui kesalahan yang tidak saya lakukan? Sementara permohonan ini itu pastilah dibarengi dengan barter: mencabut gugatan praperadilan yang sudah didaftarkan tim pengacara saya ke Pengadilan Negeri Medan (Jumat. 31/08-07) dan menghentikan advokasi hutan yang sudah belasan tahun saya lakoni.Saya adalah Direktur LSM Pelindung Bumimu yang kerap mengadvokasi hutan dan mungkin sudah jadi TO (target operasi) pihak-pihak tertentu seraya menunggu peluang (celah) untuk menjerat dan pada akhirnya meluluhlantakkan upaya saya bersama masyarakat luas menyelamatkan hutan. Sekalai lagi, apakah harus saya terima permintaan berbagai elemen agar saya memohon penangguhan penahanan?
Memang MenderitaAnjuran untuk memohon (baca: mengemis), penangguhan penahanan tersebut apakah harus saya penuhi? Saya memang benar-benar menderita di tahanan ini. Tapi, tidakkah lebih menderita, orang-orang yang terkena banjir dan longsor akibat pencurian kayu besar-besaran? Makanya, walaupun pahit, penderitaan ini harus saya pikul.Jujur saja, hari-hari di sel memang memuakkan, tapi mau bilang apa lagi kalau sudah demikian adanya. Pekerjaan-pekerjaan kantor harus saya selesaikan di tahanan.
Hari-hari berjalan demikian lambat, menyebalkan dan membuat depresi. Para piket yang terkadang agak longgar, dan terkadang sangat kaku, ini juga merupakan tekanan psikologis.Jumat (7/9) panas badan saya mencapai 39 derajat C. Saya meriang dan menggigil. Tensi dokter Polda Sumut 170/120. Yang membuat saya (Valentino) bingung ketika minta berobat di luar (rumah sakit) terus dibola-bola. Terakhir panas badan saya 39 derajat C, saya menjerit-jerit kesakitan. Saya minta valium, supaya bisa tidur dan tidak kesakitan, tak diberikan.4 hari sebelumnya (3/9) ada tahanan kasus togel, kondisinya seperti gejala yang saya alami. Begitu dia menggigil, dokter dan ambulans cepat sekali datang. Kenapa kepada saya tidak dilakukan hal yang sama.
Dari pukul 10 pagi hingga pukul 13.00 baru datang bantuan pengobatan. Bukankah ini perlakukan diskriminasi? Saudara-saudaralah yang mejawabnya. Cuma, apa oknum-oknum ini gemar mendengar orang menjerit-jerit.Malam hari, kondisi saya juga sama. Begitu keluarga memohon agar saya dirawat di RS, juga dibolak-balik sedemikian. Baru pukul 02.00 dinihari saya dibawa ke rumah sakit Brimob di Jalan KH Wahid Hasyim Medan. Usai itu, saya dibawa kembali ke Polda. Pada Sabtu (8/9) pengacara membuat surat kepada Direktur Reserse Kriminal Polda Sumut dengan No. 01/Tim.Ad/IK/2007 Tanggal 07 September 2007, tapi hingga Senin (11/9-07) tidak ada jawaban apakah pembantaran saya diterima atau tidak?
PrasangkaSaya bukan pelaku pencetakan brosur yang dianggap berlogo Poldasu, tetapi karena diprasangkai bersalah, saya harus masuk sel. Saya benar-benar merasa diperlakukan semena-mena oleh pihak-pihak tertentu. Saya yakini, perilaku semena-mena ini merupakan rangakaian konspirasi jahat guna menghancurkan martabat dan usaha saya yang mempekerjakan sedikitnya 1200 orang dari tamatan SD, hingga S2 bahkan S3.Pegawai-pegawai saya, tidak ada yang berpenghasilan di bawah UMR (upan minimum regional). Bahkan setelah 3 bulan bekerja, para karyawan berpenghasilan minimal Rp 1 juta.
Karena prasangka, semua yang telah saya bangun dengan susah payah bertahun-tahun akan dihancurkan.Di tahanan, saya harus bertahan dalam kehidupan yang bermartabat, tidak perlu memohon (mengemis) penangguhan penahanan terhadap kesalahan yang tidak saya lakukan. Jika itu dilakukan, sama saja dengan melegetimasi kesewenangan yang dilakukan pihak-pihak tertentu.Pertanyaannya, jika martabat aktivis seperti saya rontok, dalam skala lebih luas tidakkah merontokkan martabat bangsa pula? Atau memang kita akan membiarkan terus-menerus bangsa ini kehilangan martabat? Entahlah.
Asas Praduga BersalahYang jadi pertanyaan, proses penahanan tersebut menggunakan asas praduga bersalah atau praduga tak bersalah? Masalahnya, substansi penahanan hanya menggunakan prasangka, karena saya (Valentino) pimpinan BT/BS BIMA yang berpusat di Jalan Bantam No 6 A Medan. Karena Prasangka: tak mungkin saya (Valentino) tidak mengetahui pencetakan logo Poldasu di brosur Bimbingan Super Intensif Calon Bintara, itulah yang menjadi keyakinan petugas Poldasu menahan saya hingga satu bulan lebih.Padahal, di BAP, Baginda Panuturi Aritonang SH – tersangka utama – tak ada mengatakan bahwa dia disuruh oleh saya (Valentino).
Hal itu pun diperkuat dengan pernyataan Baginda yang dibuat khusus di atas materai Rp 6000 bahwa, pelibatan saya (Valentino) dalam kasus pemakaian logo tanpa izin itu adalah bohong.Sayang sekali, upaya hukum untuk menguji materi berkaitan dengan bukti awal yang cukup ditafsir hakim dengan paradigma lama (sempit). Hakim hanya berpatokan pada adanya surat penahanan dan BAP, yang karena kedua hal itu, prosedur penahanan sudah dianggap sah. Maka, selam 40 hari saya harus mengendap dalam sel Poldasu.Berdasarkan bukti-bukti yang ditampilkan di persidangan – menurut Tim Pengacara saya – memperlihatkan lemahnya kasus sangkaan tersebut (Lengkapnya baca “
Upaya Pemurnian Penegakan Hukum dalam Pandangan dan Klarifikasi Hukum Tersangka: dr Robert Valentino Tarigan SPd atas Sangkaan Tindak Pidana Pasal 378 Subs Pasal 228 KUHPidana jo. Pasal 55 Ayat (1) atau Pasal 56 KUHPidanaâ€). Terbukti pelaku utamanya Baginda Panuturi Aritonang SH selama proses penyelidikan dan penyidikan, tidak pernah ditangkap dan ditahan di Poldasu, meskipun belakangan (30 Agustus 2007) tersangka/terdakwa Utama ditahan di Rutan Tanjung Gusta Medan dan berkasnya diserahkan ke Kejaksaan Tinggi Sumut.
Penahanan tersangka utama oleh Kejaksaan Tinggi Sumut pun karena desakan Baginda Panuturi Aritonang, S.H. sendiri. Di Poldasu pada tanggal 30 Agustus tersebut Baginda nyeletuk: “Bos saya ditahan kenapa saya tidakâ€. Di Kejasaan Tinggi Sumut pun Baginda mengungkapkan hal yang sama. Dari pukul 10.00 hingga 16.00 Wib, barulah Baginda Panuturi Aritonang, S.H. dan berkasnya diterima Kejatisu. Seterusnya, Baginda dibawa ke Rutan Tanjung Gusta Medan. Ada apa, sehingga pembicaraan antara petugas polisi dan jaksa demikian panjang?
Selain itu, Sejumlah BAP saksi-saksi, termasuk tersangka utama, tidak satu pun memberatkan saya. Apalagi mengenakan Sangkaan Pasal 378 KUHPidana mengharuskan adanya pihak pengadu dengan bukti yang cukup dalam bentuk kerugian material. Sedangkan pihak Penyidik Polda Sumut hanya menduga dalam bentuk kerugian moril.
Merujuk Tindakan KapolriApalagi jika merujuk tindakan Kapolri Jenderal Sutanto terhadap perusahaan rokok LA yang dianggap melecehkan institusi polisi, hanya somasi (peringatan/keberatan), bukan pidana. Perusahaan rokok LA dalam iklannya di televisi maupun di billboard-billboard berbunyi: polisi lagi tidur. Enjoy aja. Kapolri hanya melakukan somasi agar perusahaan rokok dimaksud tidak lagi menggunakan kalimat dan gambar dimaksud.Andai memang pemakaian logo yang dianggap milik Poldasu tersebut menyalahi ketentuan yang ada, seyogianya, pihak Poldasu terlebih dahulu melakukan somasi kepada BT/BS BIMA, bukan melakukan proses hukum. Pertanyaannya, apakah Poldasu bukan merupakan institusi vertikal yang pusatnya Mabes Polri?
Oleh karena itu, terlalu riskan, dan mengada-ada jika penyidik mengklaim mengalami kerugian moral. Sedangkan sumbangan material dan moral dalam bentuk persembahan hak intelektul sebagai sesuatu yang pantas dihargai, sudah saya lakukan untuk seleksi yang fair dalam ujian tulis Calon Bintara.Sebelum kasus pemakaian logo Poldasu tanpa izin ini, BT/BS BIMA bekerja sama dengan pihak Poldasu dalam pemeriksaan LJK (Lembar Jawaban Komputer) ujian tulis calon bintara.
Kerja sama itu berlangsung dari tahun 2002-2005. Karena itu saya (Valentino) menilai, tindakan penyidik atau termohon melakukan penyangkaan dikualifisir sangat lemah. Dengan pemaksaan kehendak Para Termohon melakukan penangkapan dan penahanan merupakan sesuatu yang absurd, terlalu dipaksakan dan dapat menjadi presedent negative dalam penegakan hukum di Polda Sumut. Termohon telah melakukan pelanggaran HAM, mengurung saya di rumah tahanan tanpa alasan yang kuat.
Berdasarkan keterangan saksi Mahadi: dia sudah bekerja selama 7 tahun di Bimbingan Test/Study “BIMA†Bagian Percetakan, mendapat perintah langsung dari Baginda Panuturi Aritonang SH, sebagai Manager di Bimbingan Test/Study “BIMA†untuk membuat 2 (dua) rim Logo Polda Sumut pada Brosur Program Super Intensif Seleksi Bintara Polri 2006.Mekanisme kerja mencetak brosur dan lain sebagainya di Bimbingan Test Bima, biasanya perintah Pimpinan dr Robert Valentino (saya) melalui Bagian Adminstrasi didukung dengan Buku Kendali.
Ternyata saat pencetakan brosor ber-Logo Polda tersebut tidak melalui mekanisme sebagaimana biasa. Mahadi langsung mendapat perintah dari Tersangka Utama (Baginda Panuturi Aritonang SH) sebagai Manager Bimbingan Test BIMA. Pembuatan Logo Poldasu pada Brosur tersebut di luar mekanisme dan ketentuan garis kebijakan yang ada di Bimbingan Test/Study “BIMAâ€.Karena itu, langkah yang dilakukan Para Termohon tidak/belum sesuai dengan Motto: “Buktikan dulu baru pegang, bukan pegang dulu baru buktiâ€. Dugaan yang disangkakan Para Termohon kepada saya (Valentino), belum sesuai atau tidak didasarkan dengan “bukti permulaan yang cukup†untuk menduga keras saya (pemohon) melakukan tindak pidana yang sedang disangkakan.
Legitimasi HakimPraperadilan seyogianya sebagai tempat untuk menguji sah tidaknya tersangka dalam status penangkapan dan penahanan. Berdasarkan bukti-bukti BAP yang dijadikan termohon justru secara faktual disangkal langsung oleh tersangka utama, yakni Baginda Panuturi Aritonang SH.Karena hakim masih dengan paradigma lama, tidak punya keberanian moral untuk melakukan terobosan hukum, maka gugatan itu pun ditolak. Artinya pelanggaran HAM yang dilakukan oknum-oknum Poldasu dilegitimasi oleh oknum hakim yang bernama Dewa Putu.***
Tertanda
Dr Robert Valentino Tariga SPd