Rabu, 12 Maret 2008

Manusia, Lingkungan dan Sastra*



Oleh: dr Robert Valentino Tarigan SPd**


Kapasitas Bumi
Kita bangsa manusia di belahan bumi mana saja: barat, timur, selatan, utara dan lainnya, haruslah sama menyadari bahwa bumi yang kita tempati ini punya batas kesanggupan memikul beban. Bumi yang tabah dan tak pernah mengeluh adalah milik satu-satunya yang harus dijaga demi kehidupan yang berkelanjutan.
Jika kapasitas bumi terlampauai – tidak bisa tidak – bencanalah yang harus kita terima. Bencana itu, tidak saja menimpa orang-orang yang selama ini memperlakukan alam dengan semena-mena. Bencana – bila itu datang – akan menghantam siapa saja. Bencana tidak mengenal si ‘raja hutan’ yang dengan perkasa membabat pohon, tidak mengenal si pemilik pabrik yang tidak mengindahkan dampak lingkungan dari limbah pabriknya, tidak mengenal si pemilik pukat harimau yang menguras habis ikan laut sampai ke benur-benurnya. Bencana itu, juga harus dirasakan si Tongat dan keluarganya yang tinggal di kaki gunung atau pinggiran sungai sekalipun.
Jumlah penduduk bumi yang kini melampaui lima miliar lebih merupakan peringatan bagi kita bangsa manusia. Menurut para ahli – termasuk Steven Hawking sang fisikawan kondang itu – bumi kita hanya mampu menampung penduduk tidak lebih dari 10 miliar saja. Jadi, andaikata kita tidak mampu menekan laju pertumbuhan manusia, niscaya kesempatan hidup di planet bumi ini perlu jadi perhatian serius.
Peradaban bangsa manusia yang menuju 6 miliar menghadapi risiko bagi kehidupan yang berkelanjutan. Pasalnya, kita telah memaksa bumi sampai ke batas kemampuannya. Sejak revolusi industri, jumlah penduduk meningkat sampai delapan kali lipat. Sementara itu, produk kegiatan industri telah naik lebih dari 100 kali lipat dibanding 100 tahun lampau.
Peningkatan jumlah penduduk serta kegiatan yang tak terduga ini menimbulkan dampak yang luar biasa pada lingkungan. Kemampuan bumi untuk mendukung kehidupan manusia dan kehidupan lain berkurang sekali. Dalam waktu kurang dari 200 tahun planet ini telah kehilangan enam juta kilometer persegi hutan; beban sedimen dari erosi tanah telah meningkat tiga kali lipat di palung-palung sungai yang dimanfaatkan secara intensif; pemakaian air telah berkembang dari 100 menjadi 3600 kilometer kubik pertahun.
Sitem-sistem atmosfer juga telah terganggu, dan mengancam tata iklim yang sejak lama sekali diadaptasi oleh manusia dan bentuk-bentuk kehidupan lain. Sejak pertengahan abad kedelapan belas, kegiatan manusia menghasilkan lebih dari dua kalilipat metana di atmosfer; meningkatkan kosentrasi karbondiaksida sebanyak 27 persen dan nyata-nyata merusak lapisan ozon di stratosfer. (Lengkapnya baca “Bumi Wahana” Gramedia Pustaka Utama halaman 4, 1993).






Keseimbangan Terganggu
Majalah Jepang Bergambar Vol 13 No 2 Tahun 1990 mengatakan, keseimbangan yang diperlukan bagi pertukaran bahan-bahan kimia secara normal antara bumi dan atmosfer yang begitu vital bagi kehidupan bumi nampaknya telah terganggu dalam tahun-tahun belakangan ini. Salah satu sebabnya adalah penggundulan hutan-hutan yang menyediakan oksigen bagi kita. Bersamaan dengan itu, obat-obat semprot dan pupuk pertanian telah menyerap ke dalam air tanah, dengan demikian mengakibatkan pencemaran air dan rusaknya tanah.
Sementara itu, karbondioksida dan gas metana, produk bungan dari potreleum, batubara dan bahan bakar fosil lainnya telah meninggikan tempratur bumi. Sedangkan sulfurdioksida telah mengakibatkan hujan asam yang mengancam flora bumi. Kini produk baungan seperti gas-gas CFC (cloroflurocarbon) sedang merusak lapisan ozon yang melindungi kehidupan di bumi dari sinar-sinar ultraviolet yang membahayakan dipancarkan oleh matahari.
Kesadaran akan pentingnya hidup yang berkelanjutan adalah merupakan gagasan yang harus terus-menerus diaktualisasikan. Sebab, sumber daya yang ada di bumi sekarang ini sudah tidak memadai, dan tanpa bencana alam atau peperangan yang memakan banyak korban, penduduk dunia tidak dapat mencapai jumlah yang mantap, yaitu kurang dari 10 miliar jiwa. Tanpa adanya bencana, penduduk dunia sekarang ini mungkin telah mencapai 12 miliar yang tak mungkin ditampung oleh bumi, makanya dunia mencanangkan program keluarga berencana.
Sistem Pendukung
Sitem-sistem pendukung kehidupan adalah prses-proses ekologi yang membentuk iklim, membersihkan udara serta air, mengatur aliran air, mendaur ulang unsur-unsur esensial, menciptakan serta meregenerasi tanah dan menjaga agar planet tetap layak untuk kehidupan.
Sementara kegiatan manusia dewasa ini secara tidak tanggung-tanggung mengubah proses-proses ini melalui pencemaran global dan perusakan atau pengubahan ekosistem-ekosistem. Gas-gas rumah kaca, terutama yang dihasilkan oleh pembakaran bahan bakar fosil, pembakaran hutan, dan pertanian serta peternakan, terkumpul di atmosfer dan menyebabkan terperangkapnya gas bumi. Jika kenderungan ini serta jika model iklim bumi yang sekarang ini benar, tempratur rata-rata planet kita diduga akan meningkat 1 derajat celcius antara tahun 1990 dan 2025 dan 5 derajat celscius sebelum akhir abad mendatang.
Sepintas ini tidak banyak, tetapi ini perubahan yang lebih cepat dibanding perubahan selama 10.000 tahun terakhir. Jika ini terus berlangsung, daerah-daerah iklim akan bergewer, pola-pola persipitasi akan berubah, permukaan air laut akan naik, dan taufan serta badai akan makin sering terjadi serta dahsyat.
Lapisan ozon yang berfungsi sebagai pelindung di stratosfer, terutama akibat CFC yang juga termasuk gas rumah kaca, dan hanya diproduksi oleh kegiatan manusia modern. Lapisan ozon bertugas menyaring sinar-sinar ultraviolet dari matahari yang bila dibiarkan lewat akan mengurangi produktivitas laut, menghilangkan kekebalan tubuh manusia terhadap penyakit, serta menyebakan kerusakan pada mata dan menimbukan kanker kulit.







Kalpataru dan Chipko
Sebenarnya Indonesia pun sudah sadar akan bahaya dari rusaknya lingkungan. Ini dapat ditandai dengan pemberian hadiah kalpataru bagi penyelamat lingkungan hidup. Ini memperlihatkan suara dari pembela lingkungan hidup masih dihargai.
Di India, dengan semangat antikekerasannya, gerakan Chipko telah berhasil menyelamatkan hutan-hutan yang akan ditebang kontraktor. Dengan semangat antikekerasan penduduk Desa Kilari India, selalu memeluk pohon-pohon bila kontraktor datang akan menebangnya. Dengan demikian kontraktor gagal menebangi pohon karena bila memaksa, berarti orang-orang desa yang memeluk pohon itu akan tertebang. Akhirnya hutan itu selamat dan kontraktor meninggalkan niatnya.
Hadiah Kalpataru dan gerakan Chipko merupakan salah satu contoh dari penghargaan dan pembelaan tanpa kekerasan terhadap lingkungan hidup. Tetapi, semakin pesatnya kemajuan teknologi dan investasi, langkah kaum industrialis akan semakin gagah dan luas. Justru itu, hari ini dan ke depan, sangat diperlukan industri yang tidak merusak lingkungan. Ini memang menyangkut masalah kesadaran, mentalitas dari masyarakat luas, baik pemilik modal maupun pembela lingkungan hidup. Kalau tidak, bisa jadi pembangunan nantinya dapat menggiring bangsa manusia ke arah alienasi (keterasingan). Bahkan tidak mustahil pula pembangunan akan menggiring kepada proses pemusnahan bangsa manusia dari permukaan bumi. Suatu kondisi yang sangat paradoks.
Bila saja terjadi kaum pembela lingkungan hidup memusuhi industri, maka laju indistri akan terhambat. Bagaimana mungkin bangsa manusia akan maju? Demikian pula sebaliknya, jika sampai terjadi kaum industrialis menganggap sepi suara gerakan pembelaan terhadap lingkungan hidup, niscaya alam akan semakin compang-camping.

Lingkungan dan Sastra
Persoalan hidup yang berkelanjutan dikaitkan dengan sastra, saya pikir, bukanlah sesuatu yang dilekat-lekatkan begitu saja. Panitia memilih topik ini – masih menurut saya – adalah hal yang tepat. Mengapa tidak, sastra dapat menggarap persoalan apa pun menjadi menarik dan aktual dengan waktu yang panjang. Bahkan tidak menutup kemungkinan karya sastra yang baik dapat hidup di sepanjang zaman.
Masalah-masalah lingkungan hidup yang ditulis para wartawan, sungguh berbeda bila digarap oleh para sastrawan. Wartawan punya banyak sensor yang berkaitan dengan perbedaan kepentingan. Sensor pertama mungkin datang dari pemasang iklan yang perusahaannya terkena dalam pemberitaan dimaksud.
Sensor kedua mungkin datang dari redaktur yang berkecenderungan kepada sumber-sumber yang kapabel. Sensor ketiga juga mungkin datang dari bagian perusahaan yang berkaitan dengan tiras atau sirkulasi koran (majalah). Sensor keempat tidak menutup kemungkinan berkaitan dengan pencabutan SIUP (Surat Izin Usaha Penerbitan) yang cenderung berlaku pada masa Orde Baru dulu. Dan sensor-senor lainnya.
Ini bukan berarti bahwa peran sastrawan jauh lebih hebat dari wartawan. Tidak, bukan itu maksudnya.
Perbedaan fungsi (tugas) masing-masing media itu tidak terletak kepada hebat atau tidaknya, melainkan kepada cara penyampaian. Bila media elektronik dapat menyampaikan berita yang sedang terjadi secara langsung, media cetak hanya akan dapat menyajikan setelah berlangsung atau akan berlangsung. Sementara sastrawan dapat mengabadikan kisah-kisah aktual itu menjadi bacaan yang mungkin untuk sepanjang zaman.
Bagaimana kisah orang tua dan laut (The Old Man and The Sea) yang digarap Ernest Hemingwey puluhan tahun yang lampau, masih enak dibaca sekarang. Bagaimana kisah perlawanan Nyi Onto Soroh dan Minke dalam menentang kapitalisme ortodoks yang digambarkan Pramudya Ananta Toer, juga puluhan tahun lampau, masih juga menarik kita baca saat ini.
Begitu pula kisah kawin paksa yang digambarkan Marah Rusli dalam Siti Nurbaya, juga tak kalah menariknya untuk dinikmati. Perjuangan Multatuli dalam membela kaum tertindas pun tak jauh beda.
Kisah-kisah yang pernah terjadi, akan terjadi dan mungkin terjadi adalah sesuatu yang dapat menjadi sumber ilham bagi pengarang (sastrawan). Sepanjang penggarapan tidak artifisial dan dapat menyentuh hal-hal yang substansi, karya itu berkemungkinan akan tetap menarik dibaca kapan dan di mana saja. Sesungguhnya karya sastra yang baik tak mengenal batas waktu dan wilayah.
Konsep Horace dulce dan utile merupakan landasan sikap bagi sastrawan. Para pembaca tidak saja dapat menarik manfaat (utile) dari karya sastra yang dibacanya, juga dapat merasakan nikmat (dulce) – yang menurut saya – tidak sekadar profan. Nikmat di dalam karya sastra dapat mencapai puncak imanen karena ia telah melalui proses katarsis.
Karena itulah, persoalan-persoalan lingkungan hidup dapat menjadi tema yang menarik bagi karya sastra. Misalnya proses pendangkalan danau, pelurusan sungai, tercemarnya sungai, laut dan udara merupakan hal yang menarik untuk disajikan dalam karya sastera (puisi, cerpen, maupun novel).
Tidak hanya masalah kerusakan, juga bagaimana akrabnya seorang anak nelayan dengan laut, akrabnya seroang anak desa dengan lingkungannya dan persolan-persoalan lainnya. Semua merupakan bahan yang dapat diramu ke dalam karya sastra.
Hal yang terpenting, karya sastra dapat menulis banyak soal tanpa harus menghujat. Karya sastra, meskipun bersifat sosial kontrol, tetap saja dengan pendekatan yang humanistis, sehingga memungkinkannya jadi universal. Sebab sesungguhnyalah esensi sastra untuk membawa pembacanya kepada proses katarsis (penyucian diri).
Nah, 14 sastrawan Sumatera Utara: Afrion, Aishah Basar, Ali Yusran, Antilan Pruba, Harta Pinem, Hidayat Banjar, Indris Pasaribu, Jones Gultom, M Raudah Jambak, M Yunus Rangkuti, Rida HR, Siti Aisyah, S Ratman Suras, dan Suyadi San sudah bicara lewat puisi-puisi ekologinya. Apakah kelak puisi-puisi itu bermakna atau tidak bagi kehidupan, waktu jualah yang akan menjawabnya. Yang pasti, Jelajah – nama kumpuluan puisi yang menghimpun 115 puisi itu – telah menorehkan jejak bahwa di negeri ini telah dan mungkin terjadi krisis lingkungan sebagaimana yang digambarkan. ***




*Disampaikan pada acara
Peluncuran Buku Kumpulan Puisi Ekologis
di Taman Budaya Sumatera Utara (TBSU)
Medan, 14 Agustus 2006

**Direktur LSM Pelindung Bumimu
dan Pimpinan BT/BS BIMA Medan

Tidak ada komentar: